Jumat, 21 Juni 2013

Upaya Dekolonisasi Perguruan Tinggi di Dunia Ketiga

Beta Pettawaranie | Kamis, 17 Januari 2013 - 00:32 | 0 komentar
Sebenarnya, sudah cukup banyak upaya percobaan pendidikan alternatif yang pernah dilakukan di berbagai negara Dunia Ketiga (baca: negara-negara bukan Eropa dan Amerika Utara). Tetapi, dua contoh berikut menjadi menarik karena dua alasan pokok. Pertama, dan yang terpenting, adalah karena keduanya sejak awal memang secara sadar dan bersengaja dirintis sebagai bagian dari upaya membebaskan diri dari keterjajahan (dekolonisasi) ilmu pengetahuan yang Eurosentris. Kedua, karena dilakukan pada tingkat perguruan tinggi, sementara sebagian besar atau hampir semua upaya pendidikan alternatif selama ini lebih banyak diterapkan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Berikut adalah uraian singkat tentang dua contoh upaya tersebut, disadur, diterjemahkan bebas dan diringkas dari Third World Resurgence. No. 266/267, Oktober/November 2012. h.49-53 dan 54-55; Penang: Third World Network. Lalu, satu tinjauan singkat tentang kemungkinannya di Indonesia.

 
UNIVERSITAS SWARAJ, INDIA
 
Universitas Swaraj terilhami oleh tradisi guru-shishya India, gagasan nai taleem nya Mahatma Gandhi, perguruan Shantiniketan nya Rabindranath Tagore, dan tokoh Rancho dalam film drama-komedi '3 Idiot' nya Rajkumar Hirani. Mulai berkegiatan pada bulan April 2010, universitas ini menyediakan ruang bagi orang-orang muda (usia 16-30) untuk merancang sendiri proses pembelajaran mereka untuk menjadi pemimpin komunitas lokal dimana mereka hidup atau berasal dan sekaligus menjadi wirausaha yang berwawasan lingkungan (green entrepreneur). Di universitas ini, para mahasiswa disebut khoji (bahasa Hindi, artinya 'sang pencari atau penjelajah). Keterpaduan antara tangan, hati, otak, dan rumah adalah inti dari proses pendidikan mereka.
 
Universitas Swaraj memang dirancang sebagai suatu universitas rakyat di abad-21. Ini bukan menegakkan kembali satu menara gading baru dari lembaga pendidikan. "Sebaliknya," tutur Manish Jain, salah seorang pendirinya, "tujuan kami adalah menciptakan suatu lingkungan di mana para pelajar secara bersungguh-sungguh dan terbuka mengolah bakat, cita-cita dan nilai-nilai yang diyakininya, sekaligus bergelut dengan kenyataan-kenyataan hidup lokal, masalah-masalah nyata yang dihadapi oleh dunia dan berbagai kemungkinan-kemungkinan baru." Jain menjelaskan lebih lanjut bahwa rancangan pembelajaran mahasiwa di Swaraj adalah wawasan jangka-panjang ke suatu kehidupan masa depan berlandaskan budaya dan ekologi berkelanjutan, sekaligus memperkuat kemampuan daya-pulih (resilience) masyarakat-masyarakat lokal mereka. Hal yang paling penting adalah bahwa keseluruhan proses pembelajaran mereka sepenuhnya merupakan proses penemuan sendiri (self-discovery), proses 'tidak belajar' (unlearning), proses belajar bersama (co-learning), dan berdasarkan dorongan dari dalam diri sendiri (intrinsic motivation). Menyentuh semesta pedalaman batin setiap mahasiswa adalah hakiki untuk menemukan pilihan-pilihan yang lebih memiliki kekuatan dan dampak besar dalam jangka-panjang ke masa depan.
 
Universitas Swaraj didirikan dengan tiga dasar pemikiran utama yang sangat penad dengan diskursus  pembebasan dari keterjajahan (discourse of decolonisation):
 
1) Paradigma industri dan militer dari pembangunan yang telah menghasilkan kerusakan yang tak terbayangkan atas planet bumi ini, sembari terus menciptakan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati adalah keadaan yang paling berdampak pada dunia kita saat ini, menghasilkan berbagai bencana besar yang tak terhitung lagi jumlahnya. Terhadap keadaan tersebut, mulai tumbuh kepedulian mendalam tentang sediaan minyak bumi yang semakin menipis, pencemaran limbah beracun industri, semakin bertumpuknya sampah di jalan-jalan dan sekitar rumah kita, laju perusakan kawasan-kawasan hutan oleh kegiatan pertambangan dan industri lainnya, sistem-sistem pangan hasil rekayasa genetika dan beracun, dan semakin tidak pekanya banyak orang pada lingkungan hidup sekitarnya. Sayangnya, bentuk-bentuk pemecahan masalah yang berakar dari konteks masyarakat lokal dan kearifan akar-rumput pun semakin berkurang dan semakin menjauh dari alam pikiran sebagian besar orang di seluruh India. Karena itu, merupakan suatu kebutuhan untuk mengaitkan kembali semua persaoalan krisis ekologi saat ini dengan cara-cara pemecahannya yang berakar kuat dalam tradisi budaya dan kerohanian.
 
2) Perekonomian global kini justru menciptakan semakin banyak gangguan dan ketidakpastian bagi orang-orang muda di masyarakat-masyarakat lokal. Semakin kuat tekanan besar pada  mereka untuk secepatnya menghasilkan uang, seiring dengan semakin melonjaknya biaya hidup dan harga barang-barang konsumsi. Banyak orang muda kini semakin menjauh dari lapangan kerja tradisional mereka, berpindah ke kota-kota di mana justru mereka bekerja serabutan atau bahkan menganggur sama sekali. Sementara itu, orang-orang muda yang berpendidikan menjadi budak-budak yang disuapi oleh perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik besar. Orang muda dalam jumlah sangat besar kini tanpa peluang dan hak untuk menikmati penghidupan yang layak. Sistem pendidikan yang ada sekarang tidak menyiapkan mereka dengan pandangan dasar, nilai-nilai, dan ketrampilan untuk memulai perjalanan hidup yang benar-benar menjawab kebutuhan dan kenyataan di tengah masyarakat-masyarakat lokal mereka. Sebagian besar dari bentuk-bentuk kewirausahaan yang dirintis dan dikembangkan di India saat ini tidak mempertimbangkan sama sekali dampak yang akan mereka timbulkan pada masyarakat dan lingkungan sekitar. Karena itu, merupakan suatu kebutuhan untuk menempatkan kembali perekonomian dan kewirausahaan dalam kerangka besar kebudayaan dan lokalitasnya.
 
3) Krisis besar kini terjadi dalam sistem persekolahan dan perguruan tinggi yang berpusat pada etos persaingan, mental ijazah, pengetahuan yang terpilah-pilah (fragmented knowledfge), komodifikasi dan budaya konsumtif. Sistem perguruan tinggi lebih menekankan pada hafalan (kertas-kertas ujian dan buku-buku teks), mematikan daya-cipta, refleksi diri, kerjasama, prakarsa dan pembelajaran seumur hidup. Sistem itu tidak mengakui adanya cara-cara belajar atau berbagai epistemologi yang berbeda. Maka, mereka pun tetap sebagai lembaga menara gading yang terpisah dari kebutuhan-kebutuhan, pengetahuan, bahasa-bahasa dan pikiran warga masyarakat lokal. Semakin sering mahasiswa perguruan tinggi modern di kota-kota justru diajari menyangkali, bahkan memandang rendah, masyarakat lokal asal mereka sendiri. Maka, merupakan suatu kebutuhan untuk memberi lebih banyak peluang bagi para mahasiswa terlibat meneliti dan merancang program pembelajaran mereka berdasarkan keingin-tahuan, greget atau ghirah (passion) dan kebutuhan masyarakat mereka sendiri. Karena itu, juga menjadi suatu kebutuhan untuk menghargai beragam 'guru' yang ada di kalangan warga masyarakat lokal yang mungkin tidak memiliki gelar kesarjanaan resmi, tetapi sangat menguasai berbagai sistem pengetahuan kehidupan yang sangat kaya dan beragam. Proses pembelajaran berdasar pengalaman langsung dan kearifan tradisional perlu dihargai kembali dan dikaitkan dengan pengetahuan-pengetahuan tekstual yang ada.
 
Reva Dandage, salah seorang pendiri lainnya, menegaskan: "Universitas Swaraj adalah universitas pertama di India yang memang sengaja diabdikan untuk memperkuat berbagai kebudayaan, perekonomian dan ekologi lokal kami. Keberlanjutan ekologis, keadilan sosial, cara hidup sehat dan bersifat menyeluruh adalah kaidah inti dari cita-cita kami. Dalam konteks itulah kami ingin mendukung orang-orang muda mewujudkan impian-impian mereka dalam tindakan dan mengembangkan usaha-usaha penghidupan yang bersahabat dengan lingkungan yang akan menghasilkan sesuatu yang berharga bagi masyarakat mereka.
 
Beberapa Ciri Unik
 
Sebagai gambaran, berikut adalah beberapa contoh praktik pendidikan di Universitas Swaraj:
 
* Setiap khoji diberi kesempatan untuk merancang dan merusmuskan program pembelajaran mereka sendiri berdasarkan impian-impian dan cita-cita sosial mereka masing-masing. Mereka diberi kebebasan penuh dan tanggungjawab untuk memutuskan apa saja yang mereka ingin pelajari, bagaimana mereka mempelajarinya dan dari siapa mereka ingin mendapatkan pelajaran itu. Berbagai bentuk percobaan 'tidak belajar' (unlearning) dirancang untuk membangunkan kesadaran mereka tentang berbagai anggapan atau pemikiran konvesional tentang sekolah yang selama ini membebani mereka.
 
* Semua mahasiswa tinggal dan hidup dalam suatu lingkungan komunitas lokal dimana mereka setiap saat mengalami proses-proses demokrasi dan pengambilan keputusan bersama. Mereka disarankan untuk terlibat aktif dalam kehidupan sehari-hari komunitas lokal itu, terlibat menghadapi langsung berbagai masalah nyata menyangkut pilihan-pilihan bahan pangan, soal-soal limbah, pemukiman, energi, komunikasi, pengobatan, kesehatan, transportasi, dan sebagainya. Ini menciptakan banyak sekali peluang seketika untuk belajar memutuskan pilihan dan mengambil tindakan "disini-dan-sekarang", khususnya dalam dinamika kelompok.
 
* Berbagai 'tenaga pengajar' (faculty), termasuk mereka yang bukan sarjana, yang berasal dari  beragam tradisi pengetahuan dan kosmologi menjadi narasumber mahasiswa. Kaidah kesetaraan dan kebersamaan diutamakan dalam proses pembelajaran di mana setiap mahasiswa memilih sendiri guru-guru yang mereka inginkan, dan sebaliknya para guru itu juga memilih mahasiswanya. Semboyan 'semesta dunia ini adalah ruang kelas' merupakan semangat intinya. Setiap mahasiswa sangat disarankan untuk melakukan proses belajar bersama (co-learning) dengan rekan-rekannya. Selain pertukaran pengetahuan secara informal antar mereka, setiap mahasiswa juga menyelenggarakan seminar-seminar atau lokakarya tematik mereka sendiri kepada rekannya yang lain.
 
* Beberapa mekanisme diadakan, seperti Dewan Umpan-balik, Jaringan Kerja Mitra, Kelompok Telepon-Teman, dan bengkel-bengkel kerja khusus yang menyediakan ruang emosional bagi para mahasiswa. Orang muda seusia mereka biasanya selalu punya banyak masalah dengan keluarga, teman sebaya, pacar, dan semua itu ditampung dan diolah sebagai bagian dari proses pembelajaran juga. Semua mekanisme itu menjadi ruang aman dan bebas bagi mereka untuk mengungkapkan kemarahan, kekecewaan, kegembiraan, dan sebagainya, sebagai proses penyembuhan diri mereka sendiri.
 
* Keseluruhan unsur dalam universitas ini dirancang sebagai bagian dari 'budaya sebagai anugerah' (gift culture). Disepakati oleh semua warga kampus untuk menolak komodifikasi pengetahuan dan proses pembelajaran. Semua mahasiswa diajak untuk menyumbangkan apa saja yang mereka mampu untuk menutupi biaya penyelenggaraan sehari-hari kampus. Para pengajar (faculty) dan narasumber juga menyisihkan waktu luang mereka secara sukarela. Beberapa percobaan dan praktik seperti Copyleft (usaha tanpa hak cipta) dirintis untuk menanamkan pemahaman dasar tentang budaya sebagai anugerah alam tersebut.
 
* Perlu diketahui bahwa Universitas Swaraj tidak menyelenggarakan ujian apapun, tidak menyediakan gelar akademis dan ijazah apapun. Universitas ini secara sadar memang tidak ingin diakreditasi oleh lembaga resmi pemerintah atau badan-badan internasional manapun. Ini benar-benar 'Universitas Rakyat' yang sepenuhnya diakreditasi sendiri oleh para pemikir dan pelaku kehidupan, oleh komunitas dan organisasi masyarakat lokal dan oleh karya-karya nyata dalam kehidupan yang dihasilkan oleh para mahasiswanya.
 
Reva Dandage menjelaskan lanjut: "Kami ingin para mahasiswa memiliki pengetahuan dan ketrampilan nyata untuk melaksanakan proyek-proyek kehidupan di tengah masyarakat, jadi bukan hanya karya kosong di atas kertas. Selama dua tahun masa pendidikan mereka, setiap khoji merumuskan dan mengembangkan suatu portofolio pengalaman praktis, refeleksi-diri dan rujukan-rujukan mereka sendiri. Di akhir masa dua tahun itu, kami percaya bahwa mereka akan mampu, percaya diri dan punya visi untuk memulai usaha-usaha mandiri mereka yang berwawasan lingkungan." 
 
Di Balai Desa Jene Tallasa, Gowa, Sulawesi Selatan, pada bulan Agustus 2008, sekelompok mahasiswa pasca sarjana dari beberapa perguruan tinggi di Jepang, mendengarkan penjelasan salah seorang fasilitator mereka, Prof. Izumi, ketika membahas temuan-temuan lapangan mereka untuk mencoba memahami kehidupan masyarakat lokal disana. Program eksposur semacam ini memungkinkan mereka menemukan cara-pandang baru berdasarkan pengetahuan masyarakat lokal tentang diri mereka sendiri.
Sampai sekarang, sudah ada lebih dari 100 organisasi di seluruh India yang menyatakan berminat membiayai mahasiswa mereka belajar di universitas ini. Semuanya sepakat untuk memilih mereka berdasarkan pengalaman dan gagasan para calon mahasiswa itu sendiri melalui wawancara. Universitas Swaraj juga kini membangun hubungan kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi alternatif di berbagai tempat lain, seperti Universitas Gaia, Peer-to-Peer University and IGNOU yang menyediakan bahan-bahan kepustakaan dan sumber belajar, kursus-kursus jalur maya (on-line), dan pertukaran mahasiswa. Beberapa khoji Swaraj pernah ikut dalam berbagai seminar dan lokakarya di Deer Park Institute untuk Kajian Tradisi Kearifan Klasik India. Bahkan, Univesitas Swaraj mulai ditawari untuk merintis pola pendidikan serupa di penjara-penjara, menyediakan program-program khusus kepada warga masyarakat yang berminat untuk mengisi waktu luang mereka, dan menyelenggarakan pelatihan-pelatihan musim panas kepada para mahasiswa atau pelajar sekolah-sekolah selama masa liburan mereka. Meskipun demikian, lanjut Manish Jain, "Kami terus mencoba mencari bentuk-bentuk program yang benar-benar sesuai dalam berbagai keadaan dan tempat yang berbeda agar benar-benar penad dan sepenuhnya dimiliki oleh warga setempat."
 
Ada banyak sekali krisis yang dihadapi oleh perguruan tinggi di abad-21 kini. "Swaraj University", lanjut Manish Jain, "adalah suatu upaya kecil dan sederhana dalam keseluruhan wacana besar dekolonisasi perguruan tinggi, untuk menemukan kembali dan membangun ulang landasan dasar peran, nilai-nilai, dan ilmu ekonomi yang mendasarinya. Ini merupakan suatu uapaya awal memulihkan kembali kekuatan dan tanggunjawab para mahasiswa, pengajar dan komunitas lokal dalam rangka tranformasi pendidikan secara menyeluruh. Masih banyak masalah dan tantangan yang kami hadapi, menunut kami melakukan lebih banyak upaya dan kerja keras, tetapi paling tidak kami sudah mulai meletakkan satu langkah dan orang bisa melihat gambaran dari apa yang mereka impikan selama ini tentang suatu model perguruan tinggi sebagai alternatif bagi universitas konvensional."
 
 
IMPIAN SUATU UNIVERSITAS AFROSENTRIS DI AFRIKA SELATAN
 
Meskipun belum wujud secara fisik seperti Universitas Swaraj di India, tetapi gagasannya sudah lama terbentuk untuk membangun suatu universitas alternatif semacam itu di Afrika. Hal ini diuraikan oleh Molefi Kete Asante, seorang gurubesar kajian Afro-Amerika di Universitas Philadelphia, Amerika Serikat. Dalam tapakmaya pribadinya, <www.asante.net>, Profesor Asante menulis:
 
Apa yang dibutuhkan oleh Afrika Selatan adalah universitas-universitas yang Afrosentris di mana pengetahuan manusia disajikan berdasarkan titik-pandang orang Afrika sendiri. Pencapaian pengetahuan adalah suatu hal universal yang selalu diperoleh melalui pandangan seseorang atau melalui pandangan orang lain. Jadi, mengapa orang-orang Afrika selama ini dipersyaratkan untuk menguasai pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat orang-orang Eropa sebelum mereka sendiri mengetahui pemikiran-pemikiran dan pendapat orang-orang Afrika sendiri? Mengapa tidak ada pusat-pusat pendidikan dinamis yang menjelajahi seluruh persoalan masyarakat, kejiwaan, sejarah, matematika, filsafat hukum, juga berbagai ilmu dan seni lainnya dari titik-pandang orang Afrika?
 
Pusat-pusat pendidikan semacam itulah yang ingin dapat kami bangun di atas ranah universitas-universitas tinggalan masa apartheid, terbuka bag kaum kulit hitam maupun putih, terbuka bagi pengetahuan universal dan tidak boleh menjadi pabrik yang memuja-muja Afrika, sebagaimana mereka selama ini selalu memuja-muja kehebatan Eropa. Pusat-pusat pendidikan itu harus merupakan lembaga-lembaga yang mendapatkan inspirasinya dari tradisi-tradisi keilmuan dan budaya Afrika. Lembaga-lembaga itu perlu melancarkan kritik bahkan pada penggunaan nama-nama Barat dalam ilmu-ilmu sosial dan seni, pertama kali harus mempertanyakan makna dan peran dari istilah-istilah seperti peradaban, pendidikan, demokrasi, dan universalisme. Inilah sesungguhnya tugas para cendekia dari Afrika Selatan yang baru.
 
Sampai sekarang, sebagian besar universitas di Afrika Selatan masih merupakan keping yang diselipkan dalam kerangka besar yang mempertahankan sistem Eurosentris yang menguasai dunia. Inilah kebenaran itu, selain fakta bahwa semakin banyak orang-orang Afrika sendiri yang justru mulai memimpin universitas-universitas tersebut. Kurang-lebih sama halnya dengan perguruan-perguruan tinggi kaum kulit hitam (black colleges) di Amerika Serikat di mana penguasaan tentang kebudayaan Eropa merupakan pelajaran utama dibanding penguasaan tentang kebudayaan Afrika. Salah seorang pemikir besar tentang pendidikan dalam sejarah Amerika adalah Carter G. Woodson, dalam bukunya yang terbit pada tahun 1933, The Miseducation of the Negro, menyatakan bahwa kebanyakan sekolah-sekolah kaum kulit hitam mengajarkan tentang musik, seni, dan filsafat orang kulit putih, bukannya justru musik, seni dan filsafat Afrika. 
 
Meskipun universitas-universitas Afrika Selatan saat ini tidak lagi selamban seperti kolese-kolese orang hitam di Amerika saat Woodson menyampaikan kritiknya, namun tetap perlu mewaspadai dan khawatir melihat pendidikan sekarang yang tidak berakar dari bumi sendiri. Semua masyarakat yang matang dalam sejarah pertama sekali adalah mendidik anak-anak mereka tentang kebudayaan mereka sendiri. Berupaya memisahkan universitas-universitas Afrika Selatan dari kerangka besar sistem lama adalah tugas utama dan terpenting saat ini, karena banyak orang masih memiliki kepentingan pribadi pada keberlanjutan sistem lama tersebut.
 
WEB DuBois, ilmuwan keturunan Afrika dan mungkin juga adalah cendekiawan Amerika yang paling penting di abad-20, sangat ingin melihat adanya suatu universitas di mana kebudayaan Afrika sepenuhnya dikaji dan mewarnai proses pembelajarannya. Sebelum wafat pada tahun 1963, Presiden Ghana saat itu, Kwame Nkrumah, sempat berdiskusi dengan DuBois tentang kemungkinan membangun suatu universitas Afrika yang sepenuhnya mengajarkan dan mengembangkan berbagai budaya dan praktik-praktik hidup rakyat Afrika. Universitas semacam itu, jika dibangun di Afrika Selatan, harus didasarkan pada model Afrika, bukan Eropa. Rujukannya yang paling tepat adalah lebih pada lembaga-lembaga klasik pendidikan di Mesir dan Nubia, bukan Yunani atau Roma. Universitas alternatif Afrika ini harus berusaha mengembangkan konsep-konsep teoritik yang lahir dari konteks Afrika, lalu menerapkannya dalam cara-cara yang mudah difahami orang awam dalam rangka memperbaiki kehidupan rakyat Afrika sendiri. Terbuka peluang untuk mengembangkan gagasan ini yang memang memilih arah jalan yang berbeda dalam kajian-kajian tentang manusia.
 
Peluang itu kini tersedia di Afrika Selatan, tetapi membutuhkan suatu kepemimpinan dan para pemimpin yang benar-benar kuat dan tegar untuk memanfaatkan peluang tersebut agar benar-benar terwujud dalam kenyataan.
 
 
BAGAIMANA DENGAN INDONESIA?
 
Sebenarnya, peluang membangun perguruan-perguruan dekolonisasi di negeri ini cukup terbuka luas. Sama seperti India, tradisi budaya dan keilmuan lokal sangat beragam di Indonesia. Selain sejarah lisan dan artefak sejarah yang luar biasa kaya, juga tersedia cukup banyak warisan risalah-risalah atau naskah-naskah pengetahuan asli pra-kolonialisme yang  benar-benar bertolak dari wawasan yang berbeda sama sekali dengan paradigma kelimuan Barat yang Eurosentris. Risalah Bustan as-Salatin (Taman Raja-raja) nya Nuruddin ar-Raniri di Aceh pada abad-17, misalnya, telah menerapkan kaidah-kaidah dasar taksonomi tetumbuhan seperti yang dikenal dalam ilmu hayati (biologi) modern. Bahkan ada yang menjadi rujukan perumusan kajian ilmu pengetahuan modern, misalnya, jurnal atau kronik lontara Bugis, Ade' Alloping-loping Bicarana Pa'balue (Aturan Pelayaran Menurut Para Pedagang), yang ditulis oleh Ammana Gappa pada abad-16, kemudian menjadi salah satu sumber rujukan perumusan hukum laut internasional.
 
Selain itu, tradisi kritik ilmu pengetahuan pun pernah menghasilkan beberapa karya fenomenal oleh beberapa ilmuwan Indonesia. Misalnya, kritik penulisan sejarah (historiografi) nusantara oleh Profesor Sartono Kartodirjo; atau teori pembentukan negara berdasarkan perspektif politik dan budaya khas lokal Jawa oleh Soemarsaid Moertono. Lebih mutakhir,mulai banyak risalah-risalah ringkas etnografis yang ditulis oleh cendekia lokal tentang masyarakat mereka sendiri, juga sepenuhnya dengan cara-pandang mereka sendiri yang berbeda dari cara-pandang dominan ilmu pengetahuan Barat, misalnya, tentang hukum adat dan manajemen sumberdaya alam oleh tetua adat seperti Kepala Wilayah Adat (Raja) Maur Ohoiwut,  J.P. Rahail, di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. 
 
Pada tataran praktis, juga tersedia banyak contoh-contoh penerapan sistem pendidikan khas Timur. Misalnya, metoda pembelajaran 'khalaqah' dan 'sorogan' di pesantren-pesantren tradisional di pedalaman Jawa. Terlepas dari fakta terjadinya proses pemerosotan makna dan nilai dari metoda-metoda pembelajaran tradisional tersebut saat ini, namun pada hakikatnya, jika dikaji lebih dalam, metoda-metoda tersebut sebenarnya tak jauh beda dan tidak bernilai lebih rendah dari metoda-metoda pembelajaan modern Barat, antara lain, metoda 'pembelajaran tuntas' (mastery learning) atau 'pengajaran perseorangan' (hoofdelijk).
 
Beberapa orang tenaga pengajar ISIF berdiskusi di tengah jalan kampung di Desa Cigugur, Kuningan, dimana mereka sedang melakukan pengamatan terhadap penambangan pasir dan batu di bukit-bukit sekitar desa itu. Ini adalah bagian dari proses pelatihan Participatory Action Research (PAR) sebagai satu metodologi alternatif pengajaran dan produksi pengetahuan dalam kurikulum utama ISIF, suatu bidang kajian yang tidak ada dalam kurikuum resmi perguruan tinggi umumnya di Indonesia.
Semua khasanah pengetahuan lokal itu sesungguhnya layak untuk dijadikan bahan ramuan dasar sebagai titik-tolak gagasan suatu proses dekolonisasi ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan di negeri ini. Jika gagasan dan prakarsa ke arah itu belum juga muncul sampai saat ini, maka masalahnya memang adalah pada ada tidaknya keberanian untuk memulai dan menyebal dari kemapanan yang menguasai sistem pendidikan dan produksi pengetahuan kita selama ini. Memang tidak mudah, tetapi juga bukan tidak mungkin.
 
Misalnya, satu prakarsa menarik mulai dirintis oleh Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) di Cirebon, Jawa Barat, sejak tahun 2007. Meskipun tidak secara tersurat menyatakan diri melakukan proses dekolonisasi pengetahuan, namun tegas-tegas mereka menyatakan bertolak dari paradigma dasar produksi pengetahuan berdasarkan kenyataan kebudayaan dan ke-Islam-an lokal nusantara yang khas. Motto mereka adalah "Bersama Tradisi untuk Kemanusiaan dan Keadilan". Sampai taraf tertentu, ISIF telah melakukan beberapa terobosan penting dalam pemahaman keberagamaan (religiosity), antara lain, yang cukup fenomenal, adalah tafsiran ajaran tentang relasi-relasi gender yang membuatnya menjadi sumber rujukan utama dalam kajian tentang perspektif Islam terhadap isu-isu gender di Indonesia. Demikian pula halnya dalam tafsiran dan praxis keberagaman (pluralisme), sehingga memperoleh legitimasi kultural dari para pemeluk agama dan keyakinan lain yang berbeda sama sekali, termasuk para penganut kepercayaan asli lokal seperti ajaran Sunda Wiwitan. Sekat-sekat primordialisme dan sektarianisme mulai terkuak dan mencair.      
 
Masalahnya memang adalah fakta bahwa ISIF masih terjebak dalam dilema klasik: apakah akan melangkah sepenuhnya pada jalur pilihan dekolonisasi pengetahuan Eurosentris (dan juga Arabisentris!); atau masih merasa perlu menemukan kompromi 'jalan tengah' yang lebih aman. Walaupun, dalam praktiknya sudah cukup berani melakukan beberapa pembaharuan mikropedagogik seperti di Universitas Swaraj, misalnya dalam metoda dan proses-proses pembelajaran mahasiswanya yang tidak lagi sepenuhnya hanya mengikuti pakem konvensional perguruan tinggi warisan tradisi Barat, namun ISIF belum cukup berani melangkah lebih jauh dan lebih radikal seperti 'Universitas Rakyat' di Udaipur, India, itu, terutama dalam hal konsep dasar dekolonisasi pengetahuan dan kelembagaannya.
 
Nampaknya ini memang soal pilihan katimbang soal peluang atau waktu.**
 
http://www.insist.or.id/opinion/upaya-dekolonisasi-perguruan-tinggi-di-dunia-ketiga.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar