Sebenarnya, sudah cukup banyak upaya percobaan pendidikan alternatif yang pernah dilakukan di berbagai negara Dunia Ketiga (baca: negara-negara bukan Eropa dan Amerika Utara). Tetapi, dua contoh berikut menjadi menarik karena dua alasan pokok. Pertama, dan yang terpenting, adalah karena keduanya sejak awal memang secara sadar dan bersengaja dirintis sebagai bagian dari upaya membebaskan diri dari keterjajahan (dekolonisasi) ilmu pengetahuan yang Eurosentris. Kedua, karena dilakukan pada tingkat perguruan tinggi, sementara sebagian besar atau hampir semua upaya pendidikan alternatif selama ini lebih banyak diterapkan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Berikut adalah uraian singkat tentang dua contoh upaya tersebut, disadur, diterjemahkan bebas dan diringkas dari Third World Resurgence. No. 266/267, Oktober/November 2012. h.49-53 dan 54-55; Penang: Third World Network. Lalu, satu tinjauan singkat tentang kemungkinannya di Indonesia.
UNIVERSITAS SWARAJ, INDIA
Universitas Swaraj terilhami oleh tradisi guru-shishya India, gagasan nai taleem nya Mahatma Gandhi, perguruan Shantiniketan nya Rabindranath Tagore, dan tokoh Rancho dalam film drama-komedi '3 Idiot'
nya Rajkumar Hirani. Mulai berkegiatan pada bulan April 2010,
universitas ini menyediakan ruang bagi orang-orang muda (usia 16-30)
untuk merancang sendiri proses pembelajaran mereka untuk menjadi
pemimpin komunitas lokal dimana mereka hidup atau berasal dan sekaligus
menjadi wirausaha yang berwawasan lingkungan (green entrepreneur). Di universitas ini, para mahasiswa disebut khoji
(bahasa Hindi, artinya 'sang pencari atau penjelajah). Keterpaduan
antara tangan, hati, otak, dan rumah adalah inti dari proses pendidikan
mereka.
Universitas Swaraj memang dirancang sebagai suatu universitas
rakyat di abad-21. Ini bukan menegakkan kembali satu menara gading baru
dari lembaga pendidikan. "Sebaliknya," tutur Manish Jain,
salah seorang pendirinya, "tujuan kami adalah menciptakan suatu
lingkungan di mana para pelajar secara bersungguh-sungguh dan terbuka
mengolah bakat, cita-cita dan nilai-nilai yang diyakininya, sekaligus
bergelut dengan kenyataan-kenyataan hidup lokal, masalah-masalah nyata
yang dihadapi oleh dunia dan berbagai kemungkinan-kemungkinan baru."
Jain menjelaskan lebih lanjut bahwa rancangan pembelajaran mahasiwa di
Swaraj adalah wawasan jangka-panjang ke suatu kehidupan masa depan
berlandaskan budaya dan ekologi berkelanjutan, sekaligus memperkuat
kemampuan daya-pulih (resilience) masyarakat-masyarakat lokal
mereka. Hal yang paling penting adalah bahwa keseluruhan proses
pembelajaran mereka sepenuhnya merupakan proses penemuan sendiri (self-discovery), proses 'tidak belajar' (unlearning), proses belajar bersama (co-learning), dan berdasarkan dorongan dari dalam diri sendiri (intrinsic motivation).
Menyentuh semesta pedalaman batin setiap mahasiswa adalah hakiki untuk
menemukan pilihan-pilihan yang lebih memiliki kekuatan dan dampak besar
dalam jangka-panjang ke masa depan.
Universitas Swaraj didirikan dengan tiga dasar pemikiran utama yang
sangat penad dengan diskursus pembebasan dari keterjajahan (discourse of decolonisation):
1) Paradigma industri dan militer dari pembangunan yang telah
menghasilkan kerusakan yang tak terbayangkan atas planet bumi ini,
sembari terus menciptakan ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati adalah keadaan yang
paling berdampak pada dunia kita saat ini, menghasilkan berbagai bencana
besar yang tak terhitung lagi jumlahnya. Terhadap keadaan tersebut,
mulai tumbuh kepedulian mendalam tentang sediaan minyak bumi yang
semakin menipis, pencemaran limbah beracun industri, semakin
bertumpuknya sampah di jalan-jalan dan sekitar rumah kita, laju
perusakan kawasan-kawasan hutan oleh kegiatan pertambangan dan industri
lainnya, sistem-sistem pangan hasil rekayasa genetika dan beracun, dan
semakin tidak pekanya banyak orang pada lingkungan hidup sekitarnya.
Sayangnya, bentuk-bentuk pemecahan masalah yang berakar dari konteks
masyarakat lokal dan kearifan akar-rumput pun semakin berkurang dan
semakin menjauh dari alam pikiran sebagian besar orang di seluruh India.
Karena itu, merupakan suatu kebutuhan untuk mengaitkan kembali semua
persaoalan krisis ekologi saat ini dengan cara-cara pemecahannya yang
berakar kuat dalam tradisi budaya dan kerohanian.
2) Perekonomian global kini justru menciptakan semakin banyak
gangguan dan ketidakpastian bagi orang-orang muda di
masyarakat-masyarakat lokal. Semakin kuat tekanan besar pada mereka
untuk secepatnya menghasilkan uang, seiring dengan semakin melonjaknya
biaya hidup dan harga barang-barang konsumsi. Banyak orang muda kini
semakin menjauh dari lapangan kerja tradisional mereka, berpindah ke
kota-kota di mana justru mereka bekerja serabutan atau bahkan menganggur
sama sekali. Sementara itu, orang-orang muda yang berpendidikan menjadi
budak-budak yang disuapi oleh perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik
besar. Orang muda dalam jumlah sangat besar kini tanpa peluang dan hak
untuk menikmati penghidupan yang layak. Sistem pendidikan yang ada
sekarang tidak menyiapkan mereka dengan pandangan dasar, nilai-nilai,
dan ketrampilan untuk memulai perjalanan hidup yang benar-benar menjawab
kebutuhan dan kenyataan di tengah masyarakat-masyarakat lokal mereka.
Sebagian besar dari bentuk-bentuk kewirausahaan yang dirintis dan
dikembangkan di India saat ini tidak mempertimbangkan sama sekali dampak
yang akan mereka timbulkan pada masyarakat dan lingkungan sekitar.
Karena itu, merupakan suatu kebutuhan untuk menempatkan kembali
perekonomian dan kewirausahaan dalam kerangka besar kebudayaan dan
lokalitasnya.
3) Krisis besar kini terjadi dalam sistem persekolahan dan
perguruan tinggi yang berpusat pada etos persaingan, mental ijazah,
pengetahuan yang terpilah-pilah (fragmented knowledfge),
komodifikasi dan budaya konsumtif. Sistem perguruan tinggi lebih
menekankan pada hafalan (kertas-kertas ujian dan buku-buku teks),
mematikan daya-cipta, refleksi diri, kerjasama, prakarsa dan
pembelajaran seumur hidup. Sistem itu tidak mengakui adanya cara-cara
belajar atau berbagai epistemologi yang berbeda. Maka, mereka pun tetap
sebagai lembaga menara gading yang terpisah dari kebutuhan-kebutuhan,
pengetahuan, bahasa-bahasa dan pikiran warga masyarakat lokal. Semakin
sering mahasiswa perguruan tinggi modern di kota-kota justru diajari
menyangkali, bahkan memandang rendah, masyarakat lokal asal mereka
sendiri. Maka, merupakan suatu kebutuhan untuk memberi lebih banyak
peluang bagi para mahasiswa terlibat meneliti dan merancang program
pembelajaran mereka berdasarkan keingin-tahuan, greget atau ghirah (passion)
dan kebutuhan masyarakat mereka sendiri. Karena itu, juga menjadi suatu
kebutuhan untuk menghargai beragam 'guru' yang ada di kalangan warga
masyarakat lokal yang mungkin tidak memiliki gelar kesarjanaan resmi,
tetapi sangat menguasai berbagai sistem pengetahuan kehidupan yang
sangat kaya dan beragam. Proses pembelajaran berdasar pengalaman
langsung dan kearifan tradisional perlu dihargai kembali dan dikaitkan
dengan pengetahuan-pengetahuan tekstual yang ada.
Reva Dandage, salah seorang pendiri lainnya,
menegaskan: "Universitas Swaraj adalah universitas pertama di India yang
memang sengaja diabdikan untuk memperkuat berbagai kebudayaan,
perekonomian dan ekologi lokal kami. Keberlanjutan ekologis, keadilan
sosial, cara hidup sehat dan bersifat menyeluruh adalah kaidah inti dari
cita-cita kami. Dalam konteks itulah kami ingin mendukung orang-orang
muda mewujudkan impian-impian mereka dalam tindakan dan mengembangkan
usaha-usaha penghidupan yang bersahabat dengan lingkungan yang akan
menghasilkan sesuatu yang berharga bagi masyarakat mereka.
Beberapa Ciri Unik
Sebagai gambaran, berikut adalah beberapa contoh praktik pendidikan di Universitas Swaraj:
* Setiap khoji diberi kesempatan untuk merancang dan
merusmuskan program pembelajaran mereka sendiri berdasarkan
impian-impian dan cita-cita sosial mereka masing-masing. Mereka diberi
kebebasan penuh dan tanggungjawab untuk memutuskan apa saja yang mereka
ingin pelajari, bagaimana mereka mempelajarinya dan dari siapa mereka
ingin mendapatkan pelajaran itu. Berbagai bentuk percobaan 'tidak
belajar' (unlearning) dirancang untuk membangunkan kesadaran
mereka tentang berbagai anggapan atau pemikiran konvesional tentang
sekolah yang selama ini membebani mereka.
* Semua mahasiswa tinggal dan hidup dalam suatu lingkungan
komunitas lokal dimana mereka setiap saat mengalami proses-proses
demokrasi dan pengambilan keputusan bersama. Mereka disarankan untuk
terlibat aktif dalam kehidupan sehari-hari komunitas lokal itu, terlibat
menghadapi langsung berbagai masalah nyata menyangkut pilihan-pilihan
bahan pangan, soal-soal limbah, pemukiman, energi, komunikasi,
pengobatan, kesehatan, transportasi, dan sebagainya. Ini menciptakan
banyak sekali peluang seketika untuk belajar memutuskan pilihan dan
mengambil tindakan "disini-dan-sekarang", khususnya dalam dinamika
kelompok.
* Berbagai 'tenaga pengajar' (faculty), termasuk mereka
yang bukan sarjana, yang berasal dari beragam tradisi pengetahuan dan
kosmologi menjadi narasumber mahasiswa. Kaidah kesetaraan dan
kebersamaan diutamakan dalam proses pembelajaran di mana setiap
mahasiswa memilih sendiri guru-guru yang mereka inginkan, dan sebaliknya
para guru itu juga memilih mahasiswanya. Semboyan 'semesta dunia ini
adalah ruang kelas' merupakan semangat intinya. Setiap mahasiswa sangat
disarankan untuk melakukan proses belajar bersama (co-learning)
dengan rekan-rekannya. Selain pertukaran pengetahuan secara informal
antar mereka, setiap mahasiswa juga menyelenggarakan seminar-seminar
atau lokakarya tematik mereka sendiri kepada rekannya yang lain.
* Beberapa mekanisme diadakan, seperti Dewan Umpan-balik, Jaringan
Kerja Mitra, Kelompok Telepon-Teman, dan bengkel-bengkel kerja khusus
yang menyediakan ruang emosional bagi para mahasiswa. Orang muda seusia
mereka biasanya selalu punya banyak masalah dengan keluarga, teman
sebaya, pacar, dan semua itu ditampung dan diolah sebagai bagian dari
proses pembelajaran juga. Semua mekanisme itu menjadi ruang aman dan
bebas bagi mereka untuk mengungkapkan kemarahan, kekecewaan,
kegembiraan, dan sebagainya, sebagai proses penyembuhan diri mereka
sendiri.
* Keseluruhan unsur dalam universitas ini dirancang sebagai bagian dari 'budaya sebagai anugerah' (gift culture).
Disepakati oleh semua warga kampus untuk menolak komodifikasi
pengetahuan dan proses pembelajaran. Semua mahasiswa diajak untuk
menyumbangkan apa saja yang mereka mampu untuk menutupi biaya
penyelenggaraan sehari-hari kampus. Para pengajar (faculty) dan narasumber juga menyisihkan waktu luang mereka secara sukarela. Beberapa percobaan dan praktik seperti Copyleft (usaha tanpa hak cipta) dirintis untuk menanamkan pemahaman dasar tentang budaya sebagai anugerah alam tersebut.
* Perlu diketahui bahwa Universitas Swaraj tidak menyelenggarakan
ujian apapun, tidak menyediakan gelar akademis dan ijazah apapun.
Universitas ini secara sadar memang tidak ingin diakreditasi oleh
lembaga resmi pemerintah atau badan-badan internasional manapun. Ini
benar-benar 'Universitas Rakyat' yang sepenuhnya diakreditasi sendiri
oleh para pemikir dan pelaku kehidupan, oleh komunitas dan organisasi
masyarakat lokal dan oleh karya-karya nyata dalam kehidupan yang
dihasilkan oleh para mahasiswanya.
Reva Dandage menjelaskan lanjut: "Kami ingin para mahasiswa
memiliki pengetahuan dan ketrampilan nyata untuk melaksanakan
proyek-proyek kehidupan di tengah masyarakat, jadi bukan hanya karya
kosong di atas kertas. Selama dua tahun masa pendidikan mereka, setiap khoji
merumuskan dan mengembangkan suatu portofolio pengalaman praktis,
refeleksi-diri dan rujukan-rujukan mereka sendiri. Di akhir masa dua
tahun itu, kami percaya bahwa mereka akan mampu, percaya diri dan punya
visi untuk memulai usaha-usaha mandiri mereka yang berwawasan
lingkungan."
Sampai sekarang, sudah ada lebih dari 100 organisasi di seluruh
India yang menyatakan berminat membiayai mahasiswa mereka belajar di
universitas ini. Semuanya sepakat untuk memilih mereka berdasarkan
pengalaman dan gagasan para calon mahasiswa itu sendiri melalui
wawancara. Universitas Swaraj juga kini membangun hubungan kerjasama
dengan beberapa perguruan tinggi alternatif di berbagai tempat lain,
seperti Universitas Gaia, Peer-to-Peer University and IGNOU yang
menyediakan bahan-bahan kepustakaan dan sumber belajar, kursus-kursus
jalur maya (on-line), dan pertukaran mahasiswa. Beberapa khoji
Swaraj pernah ikut dalam berbagai seminar dan lokakarya di Deer Park
Institute untuk Kajian Tradisi Kearifan Klasik India. Bahkan, Univesitas
Swaraj mulai ditawari untuk merintis pola pendidikan serupa di
penjara-penjara, menyediakan program-program khusus kepada warga
masyarakat yang berminat untuk mengisi waktu luang mereka, dan
menyelenggarakan pelatihan-pelatihan musim panas kepada para mahasiswa
atau pelajar sekolah-sekolah selama masa liburan mereka. Meskipun
demikian, lanjut Manish Jain, "Kami terus mencoba mencari bentuk-bentuk
program yang benar-benar sesuai dalam berbagai keadaan dan tempat yang
berbeda agar benar-benar penad dan sepenuhnya dimiliki oleh warga
setempat."
Ada banyak sekali krisis yang dihadapi oleh perguruan tinggi di
abad-21 kini. "Swaraj University", lanjut Manish Jain, "adalah suatu
upaya kecil dan sederhana dalam keseluruhan wacana besar dekolonisasi
perguruan tinggi, untuk menemukan kembali dan membangun ulang landasan
dasar peran, nilai-nilai, dan ilmu ekonomi yang mendasarinya. Ini
merupakan suatu uapaya awal memulihkan kembali kekuatan dan tanggunjawab
para mahasiswa, pengajar dan komunitas lokal dalam rangka tranformasi
pendidikan secara menyeluruh. Masih banyak masalah dan tantangan yang
kami hadapi, menunut kami melakukan lebih banyak upaya dan kerja keras,
tetapi paling tidak kami sudah mulai meletakkan satu langkah dan orang
bisa melihat gambaran dari apa yang mereka impikan selama ini tentang
suatu model perguruan tinggi sebagai alternatif bagi universitas
konvensional."
IMPIAN SUATU UNIVERSITAS AFROSENTRIS DI AFRIKA SELATAN
Meskipun belum wujud secara fisik seperti Universitas Swaraj di
India, tetapi gagasannya sudah lama terbentuk untuk membangun suatu
universitas alternatif semacam itu di Afrika. Hal ini diuraikan oleh Molefi Kete Asante,
seorang gurubesar kajian Afro-Amerika di Universitas Philadelphia,
Amerika Serikat. Dalam tapakmaya pribadinya, <www.asante.net>,
Profesor Asante menulis:
Apa yang dibutuhkan oleh Afrika Selatan adalah
universitas-universitas yang Afrosentris di mana pengetahuan manusia
disajikan berdasarkan titik-pandang orang Afrika sendiri. Pencapaian
pengetahuan adalah suatu hal universal yang selalu diperoleh melalui
pandangan seseorang atau melalui pandangan orang lain. Jadi, mengapa
orang-orang Afrika selama ini dipersyaratkan untuk menguasai
pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat orang-orang Eropa sebelum
mereka sendiri mengetahui pemikiran-pemikiran dan pendapat orang-orang
Afrika sendiri? Mengapa tidak ada pusat-pusat pendidikan dinamis yang
menjelajahi seluruh persoalan masyarakat, kejiwaan, sejarah, matematika,
filsafat hukum, juga berbagai ilmu dan seni lainnya dari titik-pandang
orang Afrika?
Pusat-pusat pendidikan semacam itulah yang ingin dapat kami bangun di atas ranah universitas-universitas tinggalan masa apartheid,
terbuka bag kaum kulit hitam maupun putih, terbuka bagi pengetahuan
universal dan tidak boleh menjadi pabrik yang memuja-muja Afrika,
sebagaimana mereka selama ini selalu memuja-muja kehebatan Eropa.
Pusat-pusat pendidikan itu harus merupakan lembaga-lembaga yang
mendapatkan inspirasinya dari tradisi-tradisi keilmuan dan budaya
Afrika. Lembaga-lembaga itu perlu melancarkan kritik bahkan pada
penggunaan nama-nama Barat dalam ilmu-ilmu sosial dan seni, pertama kali
harus mempertanyakan makna dan peran dari istilah-istilah seperti
peradaban, pendidikan, demokrasi, dan universalisme. Inilah sesungguhnya
tugas para cendekia dari Afrika Selatan yang baru.
Sampai sekarang, sebagian besar universitas di Afrika Selatan masih
merupakan keping yang diselipkan dalam kerangka besar yang
mempertahankan sistem Eurosentris yang menguasai dunia. Inilah kebenaran
itu, selain fakta bahwa semakin banyak orang-orang Afrika sendiri yang
justru mulai memimpin universitas-universitas tersebut. Kurang-lebih
sama halnya dengan perguruan-perguruan tinggi kaum kulit hitam (black colleges)
di Amerika Serikat di mana penguasaan tentang kebudayaan Eropa
merupakan pelajaran utama dibanding penguasaan tentang kebudayaan
Afrika. Salah seorang pemikir besar tentang pendidikan dalam sejarah
Amerika adalah Carter G. Woodson, dalam bukunya yang terbit pada tahun
1933, The Miseducation of the Negro, menyatakan bahwa
kebanyakan sekolah-sekolah kaum kulit hitam mengajarkan tentang musik,
seni, dan filsafat orang kulit putih, bukannya justru musik, seni dan
filsafat Afrika.
Meskipun universitas-universitas Afrika Selatan saat ini tidak lagi
selamban seperti kolese-kolese orang hitam di Amerika saat Woodson
menyampaikan kritiknya, namun tetap perlu mewaspadai dan khawatir
melihat pendidikan sekarang yang tidak berakar dari bumi sendiri. Semua
masyarakat yang matang dalam sejarah pertama sekali adalah mendidik
anak-anak mereka tentang kebudayaan mereka sendiri. Berupaya memisahkan
universitas-universitas Afrika Selatan dari kerangka besar sistem lama
adalah tugas utama dan terpenting saat ini, karena banyak orang masih
memiliki kepentingan pribadi pada keberlanjutan sistem lama tersebut.
WEB DuBois, ilmuwan keturunan Afrika dan mungkin juga adalah
cendekiawan Amerika yang paling penting di abad-20, sangat ingin melihat
adanya suatu universitas di mana kebudayaan Afrika sepenuhnya dikaji
dan mewarnai proses pembelajarannya. Sebelum wafat pada tahun 1963,
Presiden Ghana saat itu, Kwame Nkrumah, sempat berdiskusi dengan DuBois
tentang kemungkinan membangun suatu universitas Afrika yang sepenuhnya
mengajarkan dan mengembangkan berbagai budaya dan praktik-praktik hidup
rakyat Afrika. Universitas semacam itu, jika dibangun di Afrika Selatan,
harus didasarkan pada model Afrika, bukan Eropa. Rujukannya yang paling
tepat adalah lebih pada lembaga-lembaga klasik pendidikan di Mesir dan
Nubia, bukan Yunani atau Roma. Universitas alternatif Afrika ini harus
berusaha mengembangkan konsep-konsep teoritik yang lahir dari konteks
Afrika, lalu menerapkannya dalam cara-cara yang mudah difahami orang
awam dalam rangka memperbaiki kehidupan rakyat Afrika sendiri. Terbuka
peluang untuk mengembangkan gagasan ini yang memang memilih arah jalan
yang berbeda dalam kajian-kajian tentang manusia.
Peluang itu kini tersedia di Afrika Selatan, tetapi membutuhkan
suatu kepemimpinan dan para pemimpin yang benar-benar kuat dan tegar
untuk memanfaatkan peluang tersebut agar benar-benar terwujud dalam
kenyataan.
BAGAIMANA DENGAN INDONESIA?
Sebenarnya, peluang membangun perguruan-perguruan dekolonisasi di
negeri ini cukup terbuka luas. Sama seperti India, tradisi budaya dan
keilmuan lokal sangat beragam di Indonesia. Selain sejarah lisan dan
artefak sejarah yang luar biasa kaya, juga tersedia cukup banyak warisan
risalah-risalah atau naskah-naskah pengetahuan asli pra-kolonialisme
yang benar-benar bertolak dari wawasan yang berbeda sama sekali dengan
paradigma kelimuan Barat yang Eurosentris. Risalah Bustan as-Salatin
(Taman Raja-raja) nya Nuruddin ar-Raniri di Aceh pada abad-17,
misalnya, telah menerapkan kaidah-kaidah dasar taksonomi tetumbuhan
seperti yang dikenal dalam ilmu hayati (biologi) modern. Bahkan ada yang
menjadi rujukan perumusan kajian ilmu pengetahuan modern, misalnya,
jurnal atau kronik lontara Bugis, Ade' Alloping-loping Bicarana Pa'balue
(Aturan Pelayaran Menurut Para Pedagang), yang ditulis oleh Ammana
Gappa pada abad-16, kemudian menjadi salah satu sumber rujukan perumusan
hukum laut internasional.
Selain itu, tradisi kritik ilmu pengetahuan pun pernah menghasilkan
beberapa karya fenomenal oleh beberapa ilmuwan Indonesia. Misalnya,
kritik penulisan sejarah (historiografi) nusantara oleh Profesor Sartono
Kartodirjo; atau teori pembentukan negara berdasarkan perspektif
politik dan budaya khas lokal Jawa oleh Soemarsaid Moertono. Lebih
mutakhir,mulai banyak risalah-risalah ringkas etnografis yang ditulis
oleh cendekia lokal tentang masyarakat mereka sendiri, juga sepenuhnya
dengan cara-pandang mereka sendiri yang berbeda dari cara-pandang
dominan ilmu pengetahuan Barat, misalnya, tentang hukum adat dan
manajemen sumberdaya alam oleh tetua adat seperti Kepala Wilayah Adat
(Raja) Maur Ohoiwut, J.P. Rahail, di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara.
Pada tataran praktis, juga tersedia banyak contoh-contoh penerapan sistem pendidikan khas Timur. Misalnya, metoda pembelajaran 'khalaqah' dan 'sorogan'
di pesantren-pesantren tradisional di pedalaman Jawa. Terlepas dari
fakta terjadinya proses pemerosotan makna dan nilai dari metoda-metoda
pembelajaran tradisional tersebut saat ini, namun pada hakikatnya, jika
dikaji lebih dalam, metoda-metoda tersebut sebenarnya tak jauh beda dan
tidak bernilai lebih rendah dari metoda-metoda pembelajaan modern Barat,
antara lain, metoda 'pembelajaran tuntas' (mastery learning) atau 'pengajaran perseorangan' (hoofdelijk).
Semua khasanah pengetahuan lokal itu sesungguhnya layak untuk
dijadikan bahan ramuan dasar sebagai titik-tolak gagasan suatu proses
dekolonisasi ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan di negeri ini. Jika
gagasan dan prakarsa ke arah itu belum juga muncul sampai saat ini,
maka masalahnya memang adalah pada ada tidaknya keberanian untuk memulai
dan menyebal dari kemapanan yang menguasai sistem pendidikan dan
produksi pengetahuan kita selama ini. Memang tidak mudah, tetapi juga
bukan tidak mungkin.
Misalnya, satu prakarsa menarik mulai dirintis oleh Institut Studi Islam Fahmina (ISIF)
di Cirebon, Jawa Barat, sejak tahun 2007. Meskipun tidak secara
tersurat menyatakan diri melakukan proses dekolonisasi pengetahuan,
namun tegas-tegas mereka menyatakan bertolak dari paradigma dasar produksi pengetahuan berdasarkan kenyataan kebudayaan dan ke-Islam-an lokal nusantara yang khas.
Motto mereka adalah "Bersama Tradisi untuk Kemanusiaan dan Keadilan".
Sampai taraf tertentu, ISIF telah melakukan beberapa terobosan penting
dalam pemahaman keberagamaan (religiosity), antara lain, yang
cukup fenomenal, adalah tafsiran ajaran tentang relasi-relasi gender
yang membuatnya menjadi sumber rujukan utama dalam kajian tentang
perspektif Islam terhadap isu-isu gender di Indonesia. Demikian pula
halnya dalam tafsiran dan praxis keberagaman (pluralisme),
sehingga memperoleh legitimasi kultural dari para pemeluk agama dan
keyakinan lain yang berbeda sama sekali, termasuk para penganut
kepercayaan asli lokal seperti ajaran Sunda Wiwitan. Sekat-sekat
primordialisme dan sektarianisme mulai terkuak dan mencair.
Masalahnya memang adalah fakta bahwa ISIF masih terjebak dalam
dilema klasik: apakah akan melangkah sepenuhnya pada jalur pilihan
dekolonisasi pengetahuan Eurosentris (dan juga Arabisentris!); atau
masih merasa perlu menemukan kompromi 'jalan tengah' yang lebih aman.
Walaupun, dalam praktiknya sudah cukup berani melakukan beberapa
pembaharuan mikropedagogik seperti di Universitas Swaraj, misalnya dalam
metoda dan proses-proses pembelajaran mahasiswanya yang tidak lagi
sepenuhnya hanya mengikuti pakem konvensional perguruan tinggi warisan
tradisi Barat, namun ISIF belum cukup berani melangkah lebih jauh dan
lebih radikal seperti 'Universitas Rakyat' di Udaipur, India, itu,
terutama dalam hal konsep dasar dekolonisasi pengetahuan dan
kelembagaannya.
Nampaknya ini memang soal pilihan katimbang soal peluang atau waktu.**
http://www.insist.or.id/opinion/upaya-dekolonisasi-perguruan-tinggi-di-dunia-ketiga.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar