Rabu, 16 Januari 2013 - 23:47 |
0 komentar
Tahun 2013 diawali oleh satu peristiwa penting di sektor pendidikan
nasional. Pada sidang tanggal 8 Januari, Mahkamah Konstitusi (MK)
akhirnya memutuskan membatalkan Pasal 50 UU No.20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Ayat 3 dari Pasal 50 tersebut adalah landasan hukum
pelaksanaan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang kini
(sampai akhir 2012) sudah mencapai jumlah sekitar 1.300 di seluruh
Indonesia. Alasan utama keputusan MK adalah bahwa RSBI pada dasarnya
melanggar amanah konstitusi (UUD 1945) tentang kewajiban negara
(pemerintah) menyediakan pelayanan pendidikan dasar kepada warganya
tanpa perkecualian apapun. Kebijakan dan pelaksanaan RSBI justru
mengarah pada adanya diskriminasi tersebut.
Perdebatan tentang RSBI selama ini memang lebih berpusat pada
isu-isu hak asasi (pemenuhan hak dasar warga negara) versus liberalisasi
dan komodifikasi pendidikan. Sangat sedikit yang justru mempersoalkan
lebih jauh dan lebih dalam tentang hal yang lebih mendasar dari
kebijakan tersebut, yakni pertanyaan: Mengapa perlu bertaraf
internasional?
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, pernah menjelaskan
bahwa kebijakan itu adalah untuk memicu peningkatan mutu pendidikan
nasional agar lebih setara dan diakui oleh dunia internasional. Jawaban
ini jelas memperlihatkan bahwa kebijakan RSBI memang bertolak dari
anggapan dasar bahwa selama ini sistem pendidikan nasional kita memang
tidak atau kurang bermutu. Anggapan dasar itu sebenarnya tak terlalu
salah sebagai suatu kesimpulan umum. Semua kecaman terhadap sistem
pendidikan nasional selama ini memang pada akhirnya selalu tiba pada
kesimpulan umum tersebut. Tak ada yang tidak mengakui bahwa sistem
pendidikan nasional kita selama ini memang semakin 'amburadul'
mutunya. Masalahnya adalah jika anggapan dasar itu kemudian bertolak
dari anggapan dasar berikutnya lagi bahwa yang disebut 'bermutu' adalah
jika sesuai dengan 'tolok-ukur baku (kriteria standar) internasional'.
Dengan kata lain, pihak pemerintah menyerahkan diri untuk didikte oleh
semua tolok-ukur baku yang dibuat oleh orang lain di luar sana.
Pertanyaan lanjutannya adalah: Mengapa kita tidak mengembangkan
tolok-ukur baku mutu kita sendiri, yang memang lebih sesuai dengan
konteks, permasalahan, dan kebutuhan nasional kita sendiri? Mengapa kita
selalu harus tunduk dan patuh pada semua 'norma dan aturan
internasional' yang didiktekan dari luar sana?
Dalam kesaksiannya di depan Mahkamah Konstitusi, dua orang pakar,
Daoed Joesoef (mantan Menteri Pendidikan) dan H.A.R.Tilaar (gurubesar
ilmu pendidikan), menyebut kecenderungan untuk selalu tunduk dan merujuk
pada semua 'norma internasional' itu sebagai 'ketiadaan kemerdekaan
kebudayaan' sebagai suatu bangsa yang bermartabat untuk menentukan
haluan arah kebudayaan sendiri. Dalam pengertiannya yang lebih mendasar,
sikap semacam itu tiada lain semakin menegaskan warisan sejarah kelam
kita sebagai bekas bangsa jajahan, "bangsa gembel di permukaan bumi" (les damnes de la terre) --kata Franz Fanon, salah seorang perintis kajian-kajian pasca-jajah (post-colonial studies)--
yang selalu melihat segala sesuatu yang ada di negara bekas penjajahnya
sebagai "yang terbaik dan paling benar". Singkatnya, alam kesadaran
kolektif kita sebagai bangsa ternyata memang belum sepenuhnya merdeka,
meskipun secara politik sudah menjadi satu negara merdeka. Yang lebih
parah sebenarnya dari gejala ini adalah bahwa alam kesadaran kolektif
kita yang belum merdeka itu pun ternyata belum mampu 'memerdekakan diri
sendiri'. Yang sangat menggelisahkan adalah bahwa mental anak jajahan
itu sepertinya dibiarkan, tanpa usaha bersungguh-sungguh untuk
merumuskan dan menerapkan suatu strategi kebudayaan yang bermakna,
kepada generasi muda remaja kita (Lihat: 'Menjadi Diri Sendiri').
Padahal, wacana internasional di luar sana sudah mulai melangkah
cukup jauh untuk mempertanyakan kembali dan menggugat semua kemapanan
warisan zaman kolonialisme itu. Tak kurang dari badan dunia yang paling
berwenang dalam hal ini, yakni UNESCO, yang mulai gencar mengusulkan
perlunya 'pembebasan penuh dari pengaruh penjajahan' (dekolonisasi)
dalam pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Laporan-laporan
tahunan UNESCO, terutama dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial, paling
tidak sejak tahun 2010 lalu, sudah semakin tajam dan kritis
mempertanyakan keabsahan dan kegunaan dari pola produksi pengetahuan
yang selama ini sangat berorientasi dan ditentukan oleh cara-pandang
Barat, khususnya Eropa dan Amerika Utara. (Lihat: 'Membebaskan Ilmu Sosial dari Penjajahan Pengetahuan: Dekolonisasi Ilmu-ilmu Sosial Sedunia').
Laporan-laporan itu menyebutkan bahwa upaya-upaya alternatif
dekolonisasi ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu secara
bersungguh-sungguh sudah mulai dilaksanakan di beberapa negara Afrika,
Amerika Latin, dan Asia, misalnya di India dan Afrika Selatan (Lihat: 'Upaya Dekolonisasi Perguruan Tinggi di Dunia Ketiga').
Indonesia sama sekali tidak disebut-sebut. Dengan kata lain, dunia
pendidikan dan kebudayaan kita memang sudah tertinggal sedemikian jauh
dan masih berkubang dalam lumpur keterpurukan mental anak jajahan.
Padahal, ada cukup banyak upaya pembebasan kebudayaan dan ilmu
pengetahuan semacam itu pernah dilakukan di negeri ini, dan dengan hasil
yang justru 'diakui oleh dunia internasional'. Salah satunya yang
fenomenal adalah pengembangan 'Sekolah Lapang Petani', pada tahun
1980-90an, yang menemukan alternatif genuine dalam sistem
pertanian pangan berkelanjutan, terutama dalam hal pengendalian hama
terpadu dan intensifikasi tanaman padi berdasarkan kaidah-kaidah asas
permakultur. Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia (FAO) bahkan pernah
mengusulkannya untuk ditiru dan diterapkan di berbagai negara. Salah
satu tindak-lanjutnya adalah pemerintah Vietnam mengirim para pakar dan
bahkan pejabat tinggi (termasuk beberapa Direktur Jenderal dari
Kementerian Pertanian) mereka untuk belajar langsung dari para petani
Indonesia yang sudah terbukti berhasil mempraktikannya. Hasilnya, dua
puluh tahun kemudian, Vietnam berhasil swasembada beras, sementara kita
malah sudah mengimpor beras, termasuk dari mereka sebagai 'mantan
murid'.
Kita memang bangsa yang suka terpesona oleh semua yang berbau
Barat, lalu lupa pada kearifan budaya sendiri: "Bagai pungguk merindukan
bulan, punai di tangan dilepaskan"! Nah, berapa banyak anak bangsa ini
yang masih ingat, hafal, dan menghayati pepatah tua karya bangsa sendiri
itu? Bahkan, pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah kita
sekarang pun sudah tidak mengajarkan pepatah-petitih lagi... **(BETA PETTAWARANIE).
http://www.insist.or.id/news/internasionalisasi-atau-dekolonisasi-alternatif.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar