Jumat, 21 Juni 2013

Perlu Internasionalisasi atau Dekolonisasi?

Rabu, 16 Januari 2013 - 23:47 | 0 komentar
Tahun 2013 diawali oleh satu peristiwa penting di sektor pendidikan nasional. Pada sidang tanggal 8 Januari, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan membatalkan Pasal 50 UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ayat 3 dari Pasal 50 tersebut adalah landasan hukum pelaksanaan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang kini (sampai akhir 2012) sudah mencapai jumlah sekitar 1.300 di seluruh Indonesia. Alasan utama keputusan MK adalah bahwa RSBI pada dasarnya melanggar amanah konstitusi (UUD 1945) tentang kewajiban negara (pemerintah) menyediakan pelayanan pendidikan dasar kepada warganya tanpa perkecualian apapun. Kebijakan dan pelaksanaan RSBI justru mengarah pada adanya diskriminasi tersebut.
 
Perdebatan tentang RSBI selama ini memang lebih berpusat pada isu-isu hak asasi (pemenuhan hak dasar warga negara) versus liberalisasi dan komodifikasi pendidikan. Sangat sedikit yang justru mempersoalkan lebih jauh dan lebih dalam tentang hal yang lebih mendasar dari kebijakan tersebut, yakni pertanyaan: Mengapa perlu bertaraf internasional?
 
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, pernah menjelaskan bahwa kebijakan itu adalah untuk memicu peningkatan mutu pendidikan nasional agar lebih setara dan diakui oleh dunia internasional. Jawaban ini jelas memperlihatkan bahwa kebijakan RSBI memang bertolak dari anggapan dasar bahwa selama ini sistem pendidikan nasional kita memang tidak atau kurang bermutu. Anggapan dasar itu sebenarnya tak terlalu salah sebagai suatu kesimpulan umum. Semua kecaman terhadap sistem pendidikan nasional selama ini memang pada akhirnya selalu tiba pada kesimpulan umum tersebut. Tak ada yang tidak mengakui bahwa sistem pendidikan nasional kita selama ini memang semakin 'amburadul' mutunya. Masalahnya adalah jika anggapan dasar itu kemudian bertolak dari anggapan dasar berikutnya lagi bahwa yang disebut 'bermutu' adalah jika sesuai dengan 'tolok-ukur baku (kriteria standar) internasional'. Dengan kata lain, pihak pemerintah menyerahkan diri untuk didikte oleh semua tolok-ukur baku yang dibuat oleh orang lain di luar sana. Pertanyaan lanjutannya adalah: Mengapa kita tidak mengembangkan tolok-ukur baku mutu kita sendiri, yang memang lebih sesuai dengan konteks, permasalahan, dan kebutuhan nasional kita sendiri? Mengapa kita selalu harus tunduk dan patuh pada semua 'norma dan aturan internasional' yang didiktekan dari luar sana? 
 
Dalam kesaksiannya di depan Mahkamah Konstitusi, dua orang pakar, Daoed Joesoef (mantan Menteri Pendidikan) dan H.A.R.Tilaar (gurubesar ilmu pendidikan), menyebut kecenderungan untuk selalu tunduk dan merujuk pada semua 'norma internasional' itu sebagai 'ketiadaan kemerdekaan kebudayaan' sebagai suatu bangsa yang bermartabat untuk menentukan haluan arah kebudayaan sendiri. Dalam pengertiannya yang lebih mendasar, sikap semacam itu tiada lain semakin menegaskan warisan sejarah kelam kita sebagai bekas bangsa jajahan, "bangsa gembel di permukaan bumi" (les damnes de la terre) --kata Franz Fanon, salah seorang perintis kajian-kajian pasca-jajah (post-colonial studies)-- yang selalu melihat segala sesuatu yang ada di negara bekas penjajahnya sebagai "yang terbaik dan paling benar". Singkatnya, alam kesadaran kolektif kita sebagai bangsa ternyata memang belum sepenuhnya merdeka, meskipun secara politik sudah menjadi satu negara merdeka. Yang lebih parah sebenarnya dari gejala ini adalah bahwa alam kesadaran kolektif kita yang belum merdeka itu pun ternyata belum mampu 'memerdekakan diri sendiri'. Yang sangat menggelisahkan adalah bahwa mental anak jajahan itu sepertinya dibiarkan, tanpa usaha bersungguh-sungguh untuk merumuskan dan menerapkan suatu strategi kebudayaan yang bermakna, kepada generasi muda remaja kita (Lihat: 'Menjadi Diri Sendiri').
 
Padahal, wacana internasional di luar sana sudah mulai melangkah cukup jauh untuk mempertanyakan kembali dan menggugat semua kemapanan warisan zaman kolonialisme itu. Tak kurang dari badan dunia yang paling berwenang dalam hal ini, yakni UNESCO, yang mulai gencar mengusulkan perlunya 'pembebasan penuh dari pengaruh penjajahan' (dekolonisasi) dalam pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Laporan-laporan tahunan UNESCO, terutama dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial, paling tidak sejak tahun 2010 lalu, sudah semakin tajam dan kritis mempertanyakan keabsahan dan kegunaan dari pola produksi pengetahuan yang selama ini sangat berorientasi dan ditentukan oleh cara-pandang Barat, khususnya Eropa dan Amerika Utara. (Lihat: 'Membebaskan Ilmu Sosial dari Penjajahan Pengetahuan: Dekolonisasi Ilmu-ilmu Sosial Sedunia'). Laporan-laporan itu menyebutkan bahwa upaya-upaya alternatif dekolonisasi ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu secara bersungguh-sungguh sudah mulai dilaksanakan di beberapa negara Afrika, Amerika Latin, dan Asia, misalnya di India dan Afrika Selatan (Lihat: 'Upaya Dekolonisasi Perguruan Tinggi di Dunia Ketiga'). Indonesia sama sekali tidak disebut-sebut. Dengan kata lain, dunia pendidikan dan kebudayaan kita memang sudah tertinggal sedemikian jauh dan masih berkubang dalam lumpur keterpurukan mental anak jajahan.
 
Padahal, ada cukup banyak upaya pembebasan kebudayaan dan ilmu pengetahuan semacam itu pernah dilakukan di negeri ini, dan dengan hasil yang justru 'diakui oleh dunia internasional'. Salah satunya yang fenomenal adalah pengembangan 'Sekolah Lapang Petani', pada tahun 1980-90an, yang menemukan alternatif genuine dalam sistem pertanian pangan berkelanjutan, terutama dalam hal pengendalian hama terpadu dan intensifikasi tanaman padi berdasarkan kaidah-kaidah asas permakultur. Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia (FAO) bahkan pernah mengusulkannya untuk ditiru dan diterapkan di berbagai negara. Salah satu tindak-lanjutnya adalah pemerintah Vietnam mengirim para pakar dan bahkan pejabat tinggi (termasuk beberapa Direktur Jenderal dari Kementerian Pertanian) mereka untuk belajar langsung dari para petani Indonesia yang sudah terbukti berhasil mempraktikannya. Hasilnya, dua puluh tahun kemudian, Vietnam berhasil swasembada beras, sementara kita malah sudah mengimpor beras, termasuk dari mereka sebagai 'mantan murid'.
 
Kita memang bangsa yang suka terpesona oleh semua yang berbau Barat, lalu lupa pada kearifan budaya sendiri: "Bagai pungguk merindukan bulan, punai di tangan dilepaskan"! Nah, berapa banyak anak bangsa ini yang masih ingat, hafal, dan menghayati pepatah tua karya bangsa sendiri itu? Bahkan, pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah kita sekarang pun sudah tidak mengajarkan pepatah-petitih lagi... **(BETA PETTAWARANIE).
 
http://www.insist.or.id/news/internasionalisasi-atau-dekolonisasi-alternatif.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar