Selasa, 31 Desember 2013

Kisah Seorang Pengajar Al Qur’an

# Kisah Seorang Pengajar Al Qur’an #

Kisah ini disampaikan oleh seorang pengajar Alqur’an al Karim di salah satu masjid di Makkah al Mukaramah. Ia berkata,”telah datang padaku seorang anak yang ingin mendaftarkan diri dalam
halaqah”. Maka aku bertanya
kepadanya,”Apakah engkau hafal sebagian dari Alqur’an?”. Ia berkata,”Ya”. Aku berkata kepadanya,
”Bacakan dari juz ‘amma!” Maka kemudian ia membacanya. Aku bertanya lagi ,”apakah kamu hafal
surat tabaarak (al Mulk)?” Ia
menjawab,”Ya”. Aku pun takjub dengan hafalannya di usia yang masih dini.

Minggu, 22 Desember 2013

Jejak Perjuangan K.H. Ahmad Dahlan Dalam Ruang Kauman Yogyakarta

http://www.andikasaputra.net/2013/12/jejak-perjuangan-kh-ahmad-dahlan-dalam.html
Lukisan K.H. Ahmad Dahlan pada masa mudanya saat mengawali pergerakan Muhammadiyah
Muhammadiyah tak dapat dijauhkan dari Kampung Kauman Yogyakarta, begitu pula sebaliknya. Paling tidak karena dua sebab musabab. Pertama, menurut salah satu riwayat disebutkan sang pendiri Muhammadiyah; K.H. Ahmad Dahlan, adalah putra kelahiran Kampung Kauman Yogyakarta. Sedangkan riwayat lain menyebutkan Kiai lahir di Nitikan dan barulah beberapa hari setelah kelahirannya dibawa ke Kauman. Kedua, ikrar berdirinya Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan sosial pendidikan berasaskan Islam terjadi di Kampung Kauman Yogyakarta. Karenanya antara Muhammadiyah dengan Kampung Kauman Yogyakarta memiliki ikatan historis, basis sosial, dan emosional yang tak mungkin dapat dipisahkan. 
Mempelajari perjuangan Islam di Nusantara akan kita temui Muhammadiyah. Mempelajari Muhammadiyah tepatnya dimulai dengan mempelajari kehidupan dan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan. Untuk memulai usaha mengenali sosok Kiai tepatnya diawali dari ruang-ruang Kauman; tempat di mana Kiai tumbuh besar, memulai perjuangan, dan kembali kehadirat Rabb-nya pada hari Jumat tanggal 7 Rajab 1341 Hijrah Nabi/23 Februari 1923. Walaupun kemudian jasad Kiai tidak dimakamkan di Kauman, namun jejak dan semangat perjuangannya masih membekas dalam ruang-ruang yang pernah merekam. 

Selasa, 19 November 2013

Sosiologi Gadget dan Dunia Zombie

Tikwan Raya Siregar
http://sumateraandbeyond.com/2013/11/sosiologi-gadget-dan-dunia-zombie/
 

 Bila Anda adalah mahasiswa angkatan 1994 dan meninggal sebelum tamat kuliah, maka inilah yang akan terjadi bila Anda dihidupkan kembali pada tahun 2013. Di tangan Anda ada pager yang tidak ada lagi operatornya, dan Anda takjub menyaksikan orang-orang di sekeliling Anda berbicara, menangis dan tertawa tanpa melihat siapa-siapa. Sebagian lainnya sibuk dengan telunjuk yang dengan lincah mengusap-usap layar selebar telapak tangan. Di depan layar itu, mereka juga menunjukkan ekspresi yang gila karena bercanda dengan sebidang monitor yang tak pernah Anda bayangkan sebelumnya.

Ketika Anda berada lebih dekat di tengah-tengah mereka, maka terdengarlah topik-topik yang sangat asing dan tidak dapat Anda mengerti. Mereka membicarakan fesbuk, instagram, google plus, twitter, tumblr, blog, dan sebagainya. Mereka menganggap Anda sudah mengerti, dan kalaupun tidak, maka Anda harus mengerti. Ini sudah menjadi dunia mereka, dan mereka tidak bisa memahami kalau itu bukan dunia Anda. Mereka hidup di dalam fesbuk dan twitter-twitter itu, dan mereka membangun masyarakat di sana. Bila ingin berinteraksi dengan mereka, maka dunia itu harus Anda tembus, atau Anda akan hidup dalam dunia yang lain.

Minggu, 17 November 2013

Bahaya Buku Andrea Hirata

Monday, February 11, 2013    37 comments
http://www.timur-angin.com/2013/02/bahaya-buku-andrea-hirata.html


SEORANG telah mengirimkan pesan yang berisi perkenalan serta permintaan agar saya membimbingnya hingga lulus program beasiswa. Ia mengirimkan surat panjang,dimilai dengan kata “Yang Bertandatangan di Bawah Ini”. Kemudian paragraf berikutnya adalah data diri. Lalu, informasi kalau orangtuanya telah meninggal, skill yang terbatas, serta keinginan untuk keluar dari belenggu kemiskinan.

Petisi UN

http://www.change.org/id/petisi/m-nuh-hapuskan-un-sebagai-syarat-kelulusan#share

Sudah 10 tahun lebih Ujian Nasional berjalan. Pemerintah menyatakan bahwa Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan diperlukan untuk memetakan, menjamin dan meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Kenyataannya berbagai tes pemetaan global seperti PISA, TIMSS, PIRLS dan Learning Curve menunjukkan Indonesia tetap tak bergerak dari posisi terbawah sejak tahun 2000. Anak-anak kita menjadi sangat kuat dalam kemampuan hapalan, namun jeblok di kemampuan pemahaman, aplikasi, analisa, evaluasi dan sintesa.

Kumpulan Liputan UN

Guru Besar Kecam Pelaksanaan Ujian Nasional, Tribun News >> http://id.berita.yahoo.com/guru-besar-kecam-pelaksanaan-un-114421408.html

17 Profesor Sepakat Ujian Nasional Dihapus, Rakyat Merdeka Online >>
http://polhukam.rmol.co/read/2012/11/25/86849/17-Profesor-Sepakat-Ujian-Nasional-Dihapus-

Petisi Reposisi Ujian Nasional demi Pendidikan Indonesia yang Lebih Baik! Ayo Tandatangan Sekarang!!

28 November 2012 pukul 7:19

Dua hari terakhir ini ramai pembahasan tentang posisi kualitas pendidikan Indonesia menduduki posisi tiga terbawah dari 40 negara yang dibandingkan. Sedih ya? Nah, kondisi inilah yang menjadi salah satu alasan para pendukung petisi reposisi Ujian Nasional utk minta Kemendikbud segera mengikuti permintaan semua pihak termasuk Mahkamah Agung! Kita butuh pemetaan, kembalikan Ujian Nasional ke fungsi awal yaitu pemetaan, kita butuh tahu aspek mana saja yang perlu diperbaiki. UN lebih fokus sebagai tes kelulusan dan ini tidak sesuai dgn filosofi pendidikan dan merusak karakter bangsa. Ayo ikut tandatangan petisinya (link ada di bagian bawah tulisan ini)! Percayalah ini bukan cuma petisi2an, tapi ini adalah awal dari perjuangan untuk bantu tingkatkan kualitas pendidikan Indonesia karena sudah melibatkan koordinasi dengan banyak pihak, hanya tinggal tundukkan tambengnya Kemdikbud ini lhoooo yang susahnya setengah mati.

Kerusakan Multidimensional Kebijakan UN

Oleh: Doni Koesoema A.
http://www.bincangedukasi.com/kerusakan-multidimensional-kebijakan-un.html

Kebijakan Ujian Nasional (UN) yang telah dimulai satu dasawarsa lalu ternyata telah terbukti tidak dapat meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Dampak-dampak merusak selama 10 tahun penyelenggaraan kebijakan Ujian Nasional telah menjadi bukti bahwa UN tidak efektif, melenceng dari tujuan semula, dan tidak membawa manfaat bagi kemajuan bangsa ini. Karena itu, Ujian Nasional harus dihentikan.
Artikel ini mengulas 13 dampak kerusakan multidimensional akibat kebijakan UN yang menghancurkan sendi-sendi pendidikan nasional, bukan hanya sampai level kebijakan di unit sekolah, melainkan juga sampai pada kehancuran moral, psikologis, pedagogis, finansial, para pemangku kepentingan pendidikan, terutama siswa, guru, orang tua, dan masyarakat pada umumnya. 13 dimensi kerusakan akibat kebijakan UN adalah sebagai berikut.

Kitalah yang menentukan sikap kita

ada kisah menarik dan sangat dalam ibrahnya..

 Suatu hari, dua orang sahabat menghampiri sebuah lapak untuk membeli buku dan majalah. Penjualnya ternyata melayani dengan buruk. Mukanya pun cemberut. 

Orang pertama jelas jengkel menerima layanan seperti itu. Yang mengherankan, orang kedua tetap enjoy, bahkan bersikap sopan kepada penjual itu. 

Sejak Revolusi Industri Rasa Air Laut Semakin Asam Hingga 26%

Jakarta - Laporan terbaru menunjukan lautan di dunia bertambah asam 26% sejak revolusi industri.

Laporan berjudul Ringkasan Pengasaman Lautan yang dirilis oleh Program Geosfer-Biosfer Internasional memperingatkan lautan bisa menjadi 170% lebih asam pada akhir abad ini dibandingkan sebelum era-industri.

Laporan ini yang merupakan bagian dari diskusi di Warsawa mengenai perubahan iklim dan dikumpulkan oleh 540 pakar dari 37 negara ini menyebutkan seperempat dari seluruh Karbon Dioksida yang dikeluarkan oleh manusia sejak dimulainya era industri telah terserap oleh lautan.

Karenanya para pakar dalam laporan ini memperingatkan kecuali emisi karbon dikurangi, maka akan ada resiko besar dalam jangka panjang terhadap ekosistem.

"Kondisi ini berpotensi mempengaruhi ketahanan pangan dan membatasi kapasitas lautan untuk menyerap CO2 dari emisi manusia. Dampak ekonomi dari pengasaman laut bisa sangat besar," kata laporan itu.

Temuan ini juga menyebutkan skala pengasaman lautan saat ini sepertinya terjadi lebih cepat dibanding era kapanpun dalam periode 300 juta tahun terakhir.

KIsah Manila di Filipina

Siapa yang nggak tahu ibu kota negeri Philipina?

Ya, itulah Manilla. Namun tahukah Anda apa makna "Manilla" itu? Maknanya adalah Fi Amanillah ( في أمان الله ), dalam penjagaan Allah 'Azza wa Jalla. Kenapa demikian? Karena dulu mayoritas penduduknya adalah muslim. Namun bagaimana dengan sekarang? Sekarang, realita berbalik. Muslim menjadi minoritas.

[Faidah dari Ustadz Muhammad bin Ahmad Al-Khathib, dosen mata kuliah tarikh di kelas kami]

Senin, 11 November 2013

Ini Dia Kota Ternyaman di Indonesia

Jakarta -Indonesia memiliki banyak kota-kota untuk dijadikan tempat tinggal. Dari sekian banyak kota di Indonesia, ada satu kota yang mendapatkan predikat 'The Most Liveable City' atau kota ternyaman untuk ditinggali, di mana?

Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak menyebutkan, dari survey yang dilakukan Ikatan Ahli Perencanaan, kota yang memiliki indikator sebagai kota ternyaman untuk ditinggali di Indonesia adalah Yogyakarta.

Jumat, 08 November 2013

Singa Besar Ini Masih Mengingat Penyelamatnya Saat Masih Bayi

Sirga, seekor bayi singa saat itu ditemukan terpisah dari kawanannya dan tersesat ketika diselamatkan oleh Valentin Gruener dan Mikkel Legarth. Binatang buas ini ditemukan dalam kondisi tidak bisa berdiri dan sekarat.

Makna Di Balik Perubahan Warna Langit Ketika Waktu Sholat Tiba

1. Waktu Sholat Subuh

Suka perhatiin ga, kalau waktu selepas subuh apalagi menjelang siang, warna langit itu (kalau cerah) berwatna biru yang diselingi dengan merah (orange) yang dihasilkan oleh sinar mentari yang mau terbit.

Setan Minta Pensiun

Setan: "Ya tuhan, saya mau pensiun aja!"
Tuhan: "Kenapa kamu minta pensiun padahal kamu yang meminta untuk slalu menggoda manusia?"
Setan: "Amit amit sekarang kelakuan manusia udah melebihi setan, hamba kuatir justru hamba yang tergoda oleh manusia. Makanya hamba minta pensiun aja"

ini alasannya :

Manusia BERZINA, yang enak dia, yang disalahkan SETAN.
Manusia KORUPSI yang menikmati dia, katanya digoda SETAN.
Manusia SELINGKUH dia keenakan, katanya dipengaruhi SETAN.
Manusia ke DISKOTIK dan karaoke disana bernyanyi nyanyi, senggol sana sini, katanya disuruh SETAN.
Manusia yang BERJUDI, katanya ajakan SETAN. Padahal hamba nggak bisa gunain duit.
Manusia BERBOHONG karna pengaruh SETAN, padahal untung ruginya gak ada buat SETAN.
Manusia MAKAN SIANG hari dibulan ramadhan katanya SETAN, padahal temen temen SETAN pada dipenjara.
Setan: "pokoknya hamba pengen pensiun aja. Manusia bener bener kebangetan deh"

BEBERAPA SEBAB SULIT NYA KETEMU JODOH

Umar Bin Khattab Rhadyallahu 'Anhu pernah mengatakan bahwa anak keturunan iblis itu ada 9, yaitu Zallaitun, Watsin, Laqus, A'war, Haffaf, Murroh, Masuth, Dasim dan Walhan..

Nah dia antara sekian banyak setan, ada setan yang tugasnya menghalang halangi kita untuk segera menikah..

Bila pun sampai menikah, pernikahan itu dijamin akan cerai-berai karena saat berjodoh dalam kondisi sama-sama rendah..

Siapa nama setan itu??

Logika perkalian minus dan plus

nyatakan”Benar”terhadap hal-hal yang”Benar”adalah suatu tindakan yang”Benar”ataubahasa matematikanya seperti ini”+ x + = +”

» Mengatakan/menyatakan”Benar”terhadap sesuatu yang”Salah”adalah suatu tindakan yang”Salah”ataudgn kata lain”+ x – = -”

» Mengatakan/menyatakan”Salah”terhadap sesuatu yang”Benar”adalah suatu tindakan yang”Salah”ataupenulisan logika matematikanya seperti ini”- x + = -”

» Terakhir, mengatakan/menyatakan”Salah”terhadap sesuatu yang”Salah”adalah suatu tindakan yang”Benar”atau”- x – = +”

Semua rumus matematika diatas merupakan. Ketetapan Allah & terangkum dalam kalimat:”Qullilhaqqo wa in kaana murron”(Katakanyang sebenarnya walau itu pahit rasanya).

Pak Wahyu Sukses Setelah Bangkrut 400 Kali

Sudah berapa kali Anda bangkrut dalam berbisnis? Sepuluh kali? Lima puluh kali? Seratus kali? Bangkrut dua ratus kali, bahkan tiga ratus kali, belum seberapa. Saya punya sahabat yang bangkrut lebih dari 400 kali!

Anda ingin tahu orangnya?

Panggilan sehari-harinya Pak Wahyu. Nama lengkapnya adalah Dr Ir H Wahyu Saidi MSc. Seorang alumni Institut Teknologi Bandung yang juga seorang pengusaha restoran dan dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Kamis, 19 September 2013

Kisah Sarjana IPB yang Memilih Jadi Petani

Rabu, 11 September 2013 | 13:07 WIB

Kisah Sarjana IPB yang Memilih Jadi Petani

Pewarta: Gatot Aribowo | Dibaca 17393 kali

Awalnya dicemooh. Lama-lama, pada berguru padanya. Pengabdiannya yang luar biasa untuk kampung halamannya patut dijadikan inspirasi.


Selasa, 17 September 2013

Inspirative Housewife Story

Tiga anaknya tidak sekolah di sekolah formal layaknya anak-anak pada umumnya. Tapi ketiganya mampu menjadi anak-anak teladan, dua di antaranya sudah kuliah di luar negeri di usia yang masih seangat muda. Saya cuma berdecak gemetar mendengarnya. Bagaimana bisa?
Minggu (21/ 7) lalu, saya mengikuti acara Forum Indonesia Muda (FIM) Ramadhan yang diadakan di UNPAD. Niat awalnya mau nabung ilmu dan inspirasi sebelum pulang kampung, selain juga memang karena pengisi acaranya inspiring. Eh, pembicara yang paling saya tunggu ternyata berhalangan hadir. But, that’s not the point. Semua pembicara yang hadir memang sangat inspiring, tapi saya benar-benar dikejutkan di sesi terakhir. Tentang parenting. Awalnya saya pikir sesi ini mau membicarakan apa gitu. Do you know actually? It talks about a success and inspiring housewife. Saya langsung melek. Lupa lapar. Like my dream becomes closer. Saya mencari seminar yang membahas tentang keiburumahtanggaan. Nggak tahunya nemu di sana. Lihatlah daftar mimpi besar saya nomor 1-4. Rasanya terbahas semua sore itu. (No offense nomor 2, gue juga kagak tahu kalau urusan itu :p ) Baiklah, mukadimah ini akan terlalu panjang kalau saya

Kisah ttg Istri Teladan


Pada Ramadan lalu saya ingat cinta seorang lelaki berkopiah kepada seorang perempuan muslimah mungkin perempuan terbaik dalam hidupnya.

Di masa sulit pemerintahan Soekarno, di suatu sore di bulan Ramadan, muslimah yang dicintai seorang lelaki berpeci itu menunggu kedatangan tukang susu murni.

Tukang susu langganannya biasa mengantar susu tiap sore pukul empat.

Jumat, 06 September 2013

Kontrakan sujud

alkisah, Ada seorang ulama fikih yang tinggal di sebuah rumah yang langit-langit rumahnya selalu berderit sepanjang waktu. Kemudia pemilik rumah datang menagih sewa rumahnya. Maka ulama itu berkata, “Perbaiki dahulu langit-langit rumah ini, karena ia selalu berderit!” Orang itu menjawab, “Jangan takut, ia sebenarnya sedang bertasbih kepada Allah.” Ulama itu berkata, “Saya khawatir jika dia hanyut dalam tasbihnya, tiba-tiba dia sujud…”

Melupakan Pacar

Seorang pemuda menelpon saat siaran live:
Pemuda: “Wahai Syeikh, saya sudah bertaubat alhamdulillah. Tapi saya belum bisa melupakan pacar saya.”
Syeikh: “Berdoalah dengan suatu doa kepada Allah Agar Anda bisa melupakannya.”
Pemuda: “Kalau begitu ajarilah saya sebuah doa wahai Syeikh
Syeikh : bacalah doa
(ya Allah, jadikanlah IMAN di hatiku, IMAN di pendengaranku, IMAN ada di pandangan mataku dan IMAN -selalu menyertai- jalanku)
Serta merta pemuda itu menyela: “Wahai Syeikh IMAN adalah nama pacarku!”
Ketika itu Syeikh tak mampu menahan tawa cukup lama, hingga shooting pun dihentikan sementara

HUkum uang kertas menurut islam

1. http://www.rumahfiqih.com/m/x.php?id=1356790082&=apakah-uang-kertas-haram.htm
at tukar yang berlaku pada emas dan perak adalah pendapat mayoritas sekaligus fatwa ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
 Tidak dipungkiri, penyebaran dan penggunaan uang kertas sudah merata dalam semua muamalat jual-beli sekarang ini. Sebagian kaum Muslimin memandang uang kertas sebagai penyebab kemunduran ekonomi umat sehingga harus kembali ke mata uang emas (Dinar) dan perak (Dirham). Bahkan ada yang mengharamkan mata uang kertas. Bagaimana sebenarnya masalah uang kertas dalam pandangan Islam dan apa hakekat mata uang dalam Islam, bagaimana bisa membuat orang menggunakan uang kertas dalam kehiduapan mereka. Semoga penjelasan ini memberi wacana dan pencerahan.
Hakekat Mata Uang
- See more at: http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/#sthash.hcR69bs8.dpuf
at tukar yang berlaku pada emas dan perak adalah pendapat mayoritas sekaligus fatwa ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
 Tidak dipungkiri, penyebaran dan penggunaan uang kertas sudah merata dalam semua muamalat jual-beli sekarang ini. Sebagian kaum Muslimin memandang uang kertas sebagai penyebab kemunduran ekonomi umat sehingga harus kembali ke mata uang emas (Dinar) dan perak (Dirham). Bahkan ada yang mengharamkan mata uang kertas. Bagaimana sebenarnya masalah uang kertas dalam pandangan Islam dan apa hakekat mata uang dalam Islam, bagaimana bisa membuat orang menggunakan uang kertas dalam kehiduapan mereka. Semoga penjelasan ini memberi wacana dan pencerahan.
Hakekat Mata Uang
- See more at: http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/#sthash.hcR69bs8.dpuf
at tukar yang berlaku pada emas dan perak adalah pendapat mayoritas sekaligus fatwa ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
 Tidak dipungkiri, penyebaran dan penggunaan uang kertas sudah merata dalam semua muamalat jual-beli sekarang ini. Sebagian kaum Muslimin memandang uang kertas sebagai penyebab kemunduran ekonomi umat sehingga harus kembali ke mata uang emas (Dinar) dan perak (Dirham). Bahkan ada yang mengharamkan mata uang kertas. Bagaimana sebenarnya masalah uang kertas dalam pandangan Islam dan apa hakekat mata uang dalam Islam, bagaimana bisa membuat orang menggunakan uang kertas dalam kehiduapan mereka. Semoga penjelasan ini memberi wacana dan pencerahan.
Hakekat Mata Uang
- See more at: http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/#sthash.hcR69bs8.dpuf

Apakah Uang Kertas Haram?
Asslamualaikum

Pak ustad, apakah uang kertas yang kita gunakan sehari-hari itu haram ? Seberapa pentingkah kita menggunakan kembali uang dinar dan dirham ?

Terima kasih

Wassalamualaikum

Jawaban
Asslamualaikum warahmatullahi wabarakatuhSebenarnya yang lebih tepat kita katakan bahwa uang kertas itu tidak haram. Karena memang tidak ada dalil atau alasan syar'i untuk mengharamkan uang kertas.

Kalau kita keluarkan fatwa bahwa uang kertas itu tiba-tiba hukumnya haram, terus bagaimana kita bisa bertransaksi dan ekonomi sekarang ini? Apa kita harus kembali ke masa lalu dengan cara barter, yaitu tukar menukar barang dengan barang? Tentu tidak mungkin, bukan?

Kalau pun sekarang ini tiba-tiba kita harus pakai logam mulia seperti emas dan perak, juga ada banyak masalah. Salah satunya saat ini cadangan emas dunia tidak cukup untuk digunakan sebagai alat transaksi, selain juga sangat tidak praktis.

Bayangkan kalau kita mau beli es cendol di pinggir jalan, dan tidak boleh bayar pakai duit kertas lima ribuan karena  harus bayar pakai emas, bagaimana cara membayarnya?

Masak tukang bakso, tukang somay, tukang ojek, tukang mie ayam, joki tri-in-one harus dibayar pakai emas? Bagaimana caranya?

Ini hanya sekedar contoh, bahwa kembali kepada alat tukar emas dan perak bukan berarti selesai masalah. Sebab kedua alat tukar itu juga punya kelemahan, selain tentu juga punya kelebihan.

Di Balik Tragedi Uang Kertas
Namun saya sepakat bahwa uang kertas yang kita gunakan ini memang mengandung banyak masalah. Saya rasa semua kita tentu sepakat akan hal ini. Kita juga sepakat bahwa kalau mau yang lebih baik, ke depan kita perlu kembali lagi memikirkan agar alat pembayaran dalam jual-beli itu kembali menggunakan emas dan perak, sebagaimana asalnya.

Namun perlu diberi catatan, bahwa uang dinar dan dirham itu bukan mata uang Islam. Sebab jauh sebelum Rasulullah SAW diangkat menjadi utusan Allah, orang Arab Jahiliyah dan juga hampir semua bangsa non muslim di dunia saat itu juga sudah menggunakan kedua logam mulia itu untuk saling bertransaksi jual-beli.

Jadi tidak tepat kalau kita katakan bahwa uang dirham dan dinar itu adalah mata uang Islam. Yang benar adalah bahwa dinar dan dirham adalah alat tukar yang baik dan telah diakui penggunaannya oleh peradaban manusia sepanjang sejarah.

Rasulullah SAW sendiri tidak pernah menerbitkan mata uang atau logam coin emas dinar atau coin perak dirham. Beliau SAW tidak punya peninggalan dinar atau dirham. Namun beliau SAW sejak kecil sudah menggunakan keduanya, karena beliau SAW adalah pedagang, selain juga sebagai warga masyarakat dunia yang secara bersama-sama menggunakan dinar dan dirham.

Uang di Masa Rasulullah SAW

Di masa Rasulullah SAW dan berabad-abad kemudian, emas dan perak masih berlaku sebagai alat tukar yang sah dan diakui di semua negara dan berbagai peradaban dunia, tanpa harus menunggu keputusan dan nilai kurs yang berlaku.
Sebab emas dan perak adalah alat tukar yang bersifat universal, tidak terikat dengan keadaan politik, sentimen pasar dan masalah lainnya.
Pengganti Dinar dan Dirham
Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan bukti-bukti pemilikan emas dan perak sebagai alat atau perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat itu merupakan uang yang dijamin 100% dengan emas atau perak yang disimpan di pandai emas atau perak dan sewaktu-waktu dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya.
Tragedi Uang Fiat
Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan 'kertas-bukti' tersebut sebagai alat tukar.
Pada zaman koin emas masih digunakan, terdapat kesulitan yang ditimbulkan yaitu kebutuhan atas tempat penyimpanan emas yang cukup besar. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, bermunculan jasa titipan koin emas (gudang uang) yang dilakukan oleh tukang emas.
Masyarakat menitipkan koin mereka ke gudang uang, dan pemilik gudang uang menerbitkan "kuitansi titipan (nota)" yang menyatakan bahwa mereka menyimpan sekian koin emas dan koin tersebut dapat diambil sewaktu-waktu. Tentu saja jasa tersebut ada biayanya.
Dengan berlalunya waktu dan semakin banyak nota titipan beredar, masyarakat menyadari bahwa mereka dapat melakukan transaksi jual beli hanya dengan menggunakan nota tersebut. Hal ini disebabkan karena mereka, para pemilik nota dan pedagang percaya bahwa mereka dapat mengambil koin emas di gudang uang sesuai jumlah yang tertera di nota titipan. Mereka percaya bahwa nota tersebut dijamin oleh koin emas yang benar.
Sampai titik ini, mungkin bisa dianggap "tidak ada masalah" karena jumlah nota beredar, dibackup sesuai dengan jumlah koin emas yang ada di gudang uang.
Ketamakan
Tapi, semua mulai berubah saat ketamakan itu datang. Seiring berjalannya waktu, pemilik gudang uang menyadari secara empiris bahwa, tidak semua orang akan mengambil seluruh simpanannya dalam jangka waktu yang sama.
Katakanlah, dalam suatu waktu, hanya 10% dari total koin yang diambil oleh pemiliknya. Sisanya 90%, menumpuk, menganggur, menunggu bisikan untuk dipergunakan.
Berdasarkan kondisi tersebut, pemilik gudang uang mulai -secara diam-diam meminjamkan koin emas yang menumpuk tersebut kepada orang-orang yang membutuhkan modal dengan cara menerbitkan nota kosong, seolah-olah dijamin oleh emas, padahal tidak sama sekali, karena yang digunakan adalah koin emas para nasabah yang menitipkan emasnya.
Inilah awal dari istilah "menciptakan uang dari udara kosong". Selain meminjamkan, tentu mereka menarik bunga atas pinjaman tersebut.
Bank Fractional
Nota kosong pun beredar layaknya nota asli. Karena pemilik gudang mengatur sedemikian rupa supaya jumlah total nota kosong yang beredar tidak melebihi jumlah koin emas yang diambil oleh pemilik koin emas dari cadangan emas di gudang, sistem ini berlangsung terus menerus tanpa disadari. Inilah cikal bakal Bank Fractional.
Namun, karena jumlah total nota, baik yang asli ditambah yang palsu beredar sebenarnya melebihi jumlah emas sesungguhnya yang tersimpan di gudang uang, efek inflasi terjadi dan harga-harga merangkak naik secara tidak wajar.
Masyarakat mulai resah dan ada yang mulai menyadari sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Mereka pun mulai mengambil simpanan emas mereka dari gudang berdasarkan nota yang mereka miliki.
Namun apa yang terjadi?
Karena nota asli dan palsu sama sekali tidak dapat dibedakan, hanya mereka yang datang di awal-awal saja yang dapat mengklaim emasnya. Sementara mereka yang datang terlambat, sama sekali tidak dapat mengklaim emasnya karena memang sudah tidak ada atau sudahhabis. Inilah contoh awal dari kolapsnya Bank.
Sampai tahun 1971, seluruh negara di dunia sebenarnya masih menggunakan sistem uang kertas berbasis emas (atau dolar, karena dolar menjadi mata uang kunci yang dikaitkan kepada emas).
Tetapi setelah tahun 1971, hal yang jauh lebih buruk terjadi. Sistem uang kertas dilepas dari emas sehingga menjadi benar-benar uang kertas dalam arti kertas sesungguhnya, yaitu kertas yang dicetak begitu saja lalu dianggap sebagai uang dan tidak dijaminkan dengan emas apapun. Inilah yang disebut dengan uang fiat (fiat money).
Semua bermula dari dibatalkannya perjanjian Bretton Wood oleh Amerika. Perjanjian Bretton Wood dimulai tahun 1945. Perjanjian ekonomi ini dilakukan setelah Perang Dunia kedua. Pada masa itu, akibat perang, negara-negara di Eropa mengalami kebangkrutan (defisit) finansial akibat pembiayaan perang. Sebaliknya Amerika Serikat (AS) memiliki cadangan emas yang luar biasa melimpah, senilai $25 Milyar.
Karena kekayaan melimpah tersebut, Amerika dengan leluasa membuat perjanjian Bretton Wood yang pada intinya adalah mengkaitkan nilai dolar senilai $1=1/35 ons emas, serta menjadikan dollar sebagai mata uang kunci di dunia, sehingga semua negara wajib menggunakan dollar atau emas sebagai devisa.
Sebagai tambahan, dalam masa ini, rakyat Amerika dilarang mengklaim (menukarkan) dolarnya dengan emas. Emas dari klaim dolar hanya boleh beredar antara bank central dan pemerintah negara. Emas kini menjadi uang antar pemerintahan.
Selama beberapa waktu sistem ini bertahan dan berjalan lancar. Amerika yang kaya raya memiliki ruang untuk melakukan kebijakan yang inflatif, mulai mencetak dolar melebihi jumlah cadangan emasnya.
Selama beberapa waktu, hal ini terjadi, efek inflasi yang dihasilkannya membuat beberapa negara Eropa khawatir apakah Amerika dapat membayar emas-nya. Dimulai oleh Perancis yang mulai mengklaim emas atas cadangan dollar yang dimilikinya, negara-negara lain pun mulai ikut mengklaim emas mereka sehingga emas pun mengalir dari Amerika ke negara-negara lain.
Selama beberapa tahun, kejadian ini membuat stok emas AS menipis hingga tersisa sekitar $ 9 Milyar. Dengan cadangan yang berkurang jauh tersebut, Amerika khawatir mereka tidak dapat lagi memenuhi janjinya untuk membayar 1 ons emas dengan harga $35, karena banyaknya jumlah dollar yang beredar. Apalagi negara-negara lain terus mengklaim emas mereka.
Akhirnya, pada tahun 1971 AS secara sepihak membatalkan perjanjian Bretton Wood dan mulai menetapkan kebijakan uang fiat. Uang fiat ini, karena sejatinya tidak bernilai dan tidak ada yang mau menggunakannya, maka dibuatlah undang-undang yang disebut Legal Tender. Sebuah undang-unang yang memaksa rakyat suatu negara untuk menerima penggunaan uang fiat.
Kebijakan uang fiat tersebut akhirnya diikuti pula oleh seluruh negara di dunia. Seluruh mata uang resmi negara di dunia sekarang ini adalah uang fiat yang sama sekali tidak dibackup berdasarkan apa pun, kecuali kekuatan politik dan militer negara tersebut.
KesimpulanJadi kesimpulannya, kita sepakat bahwa uang kertas yang berlaku sekarang ini memang didesain oleh kekuatan raksasa yahudi demi mengusai dunia. Dan kita punya tanggung jawab untuk mengembalikan kembali uang kertas ini menjadi seperti semula, yaitu emas dan perak.

Namun caranya bukan berarti kita membuat hukum sembarangan dengan memvonis uang kertas itu haram. Karena cara itu tidak menyelesaikan masalah. Sama saja dengan kita bilang bahwa haram punya uang dolar atau haram bertransaksi dengan dolar.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ahmad Sarwat, Lc., MA

2. http://wakalanusantara.com/detilurl/Hukum.Syariat.tentang.Mata.Uang.Kertas./1374

Kuala Lumpur, 28 Januari 2013
Hukum Syariat tentang Mata Uang Kertas
Syaeful Rochman Subandi - Mahasiswa Indonesia di Kuala Lumpur
Pada 1985 keluar fatwa dihalalkannya uang kertas dengan dasar qiyas. Pada tahun yang sama fatwa ini disanggah oleh ulama Al Azhar.

Untuk membuka tulisan ini disarikan fatwa yang acap digunakan oleh mereka yang mempertahankan 'kehalalan' uang kertas. Yaitu berdasarkan keputusan ke-enam al-Majma' al-Fiqhi al-Islami pada daurahnya yang kelima di kota Makkah Al Mukarramah dari tanggal 8 sampai 16 Rabi'ul awal 1402 H. Berikut adalah sarinya:


Segala puji bagi Allah saja dan semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi terakhir yang tidak ada nabi setelahnya Sayyid kita dan Nabi kita Muhammad saw dan keluarga serta sahabatnya.


Amma Ba'du:


Sungguh Majlis al-Majma' al-Fiqhi al-Islami telah meneliti sebuah riset yang diajukan terkait masalah mata uang kertas dan hukum-hukum syar'i nya. Setelah didikusikan di antara anggota majlis maka diputuskan hal-hal sebagai berikut:


Pertama, berpijak pada:

Bahan awal alat pembayaran (an-naqd) adalah emas dan perak Illat (sebab hukum-pent) berlakunya hukum riba pada emas dan perak adalah tsamaniyah (standar alat pembayaran) menurut pendapat yang paling shahih di kalangan para pakar ilmu fikih.

Kriteria tsamaniyah ini menurut fuqaha tidak hanya terbatas pada emas dan perak,sekalipun asal mata uang adalah emas dan perak. Mata uang kertas telah menjadi sebuah alat pembayaran yang memiliki harga dan berperan layaknya emas dan perak dalam penggunaannya. Uang kertas telah menjadi standar ukur nilai pada barang-barang yang ada di zaman ini, karena penggunaan emas dan perak (sebagai alat tukar) tidak lagi tampak dalam interaksi dan jiwa, Masyarakat merasa tenang dengan menganggap uang kertas sebagai alat tukar (Tamawwul) dan menyimpannya. Penunaian pembayaran yang sah terwujud dengannya dalam skala umum. Sekalipun nilainya bukan pada dzatnya, akan tetapi karena faktor luar, yaitu terwujudnya kepercayaan masyarakat terhadapnya sebagai sarana pembayaran dan pertukaran. Inilah titik pertimbangan kuat bagi sisi tsamaniyah padanya.

Kesimpulan tentang illat berlakunya hukum riba pada emas dan perak adalah tsamaniyah dan illat ini juga terwujud pada uang kertas.

Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, Majlis al-Majma' al-Fiqhi al-Islami menetapkan bahwa mata uang kertas merupakan alat pembayaran yang berdiri sendiri dan mengambil hukum emas dan perak, sehingga zakat menjadi wajib padanya dan dua jenis riba, fadhl dan nasi'ah berlaku pada uang kertas ini, sebagaimana hal itu berlaku pada mata uang emas dan perak secara sempurna dengan mempertimbangkan kriteria tsamaniyah pada mata uang kertas, sehingga ia diqiyaskan kepada emas dan perak. Dengan demikian:
Pertama, mata uang kertas memiliki kesamaan hukum dengan uang emas dan perak (nuquud) dalam segala konsekuensi yang telah ditetapkan syariat.
Kedua, uang kertas dianggap sebagai alat bayar independen sebagaimana fungsi emas, perak dan benda-benda berharga lainnya. Demikian juga, uang kertas diklasifikasikan sebagai jenis-jenis yang berbeda-beda dan beraneka-ragam sesuai dengan pihak penerbitnya di negara-negara yang berbeda-beda pula. Artinya uang kertas Saudi Arabia adalah satu jenis dan uang kertas Amerika adalah satu jenis. Begitulah setiap uang kertas adalah satu jenis independen secara dzatnya. Dengan demikian, hukum riba dengan kedua macamnya, riba fadhl dan riba nasi'ah berlaku padanya, sebagaimana kedua riba ini berlaku pada emas dan perak serta barang berharga lainnya. Semua ini berkonsekuensi sebagai berikut:

Tidak boleh menjual mata uang sebagian dengan sebagian yang lain atau dengan mata uang yang berbeda dari jenis-jenis alat pembayaran lainnya berupa emas atau perak atau selain keduanya secara nasi'ah (tunda) secara mutlak, tidak boleh misalnya menjual sepuluh riyal Saudi dengan mata uang lain dengan selisih harga secara tempo (hutang).

Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenisnya sendiri di mana salah satunya lebih banyak dari yang lain, baik hal itu dilakukan secara kontan maupun tunda. Tidak boleh - sebagai contoh - menjual sepuluh riyal Saudi kertas dengan sebelas riyal Saudi kertas secara kontan maupun tempo. Boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis lain yang berbeda bila hal itu dilakukan�secara kontan. Diperbolehkan menjual Lira Suriah atau Lebanon dengan riyal Saudi, baik berupa uang kertas atau perak dalam jumlah yang sama atau lebih murah atau lebih tinggi.

Juga diperbolehkan menjual dolar Amerika dengan tiga riyal Saudi atau lebih rendah dari itu atau lebih tinggi bila hal itu terjadi secara kontan. Seperti ini juga pembolehan menjual riyal Saudi perak dengan tiga riyal Saudi kertas atau kurang atau lebih tinggi dari itu, bila hal itu dilakukan secara kontan. Karena dalam kasus ini dianggap menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang lain, sekedar kesamaan nama tidak berpengaruh karena hakekat keduanya tidak sama.

Ketiga , kewajiban zakat pada uang kertas bila nilainya sudah mencapai nishab terendah dari nishab emas atau perak atau nishabnya terwujud dengan menggabungkannya dengan harta berharga lainnya dan harga barang yang disiapkan untuk diperdagangkan.

Keempat, boleh menjadikan mata uang kertas sebagai modal dalam jual beli salam dan serikat kerja sama.

Wallahu a'lam dan taufik hanya dariNya. Shalawat dan salam kepada Sayyidina Muhammad, keluarga dan para Sahabatnya.
[Fatwa yang serupa juga dikeluarkan dalam majalah "al-Buhuts al-Islamiyah" saudi arabia thn 1395 H. Dan juga bisa dirujuk dalam kitab "al-Mabadi' al-Iqtishodiyyah fil Islam".]

Tanggapan:

SANGGAHAN ATAS FATWA UANG KERTAS
(SATU KAJIAN MENGGUNAKAN METODOLOGI QIYAS)



Uang kertas sebenarnya adalah benda baru, karena uang kertas belum pernah dibicarakan sedikitpun pada zaman tasyrie (zaman Nabi, sallalahu alayhi wa sallam, Sahabat, Tabiin, Tabiit Tabiin dan juga Imam Mazhab yang empat). Umat Islam mengenal uang kertas ini (fiat money) setelah jatuhnya Khilafah Islamiyah. Oleh karenanya tidak akan dijumpai satu pun nash dalil dari al-Quran, hadits dan ijma mengenainya. Disebabkan hal itulah ulama menggunakan metodologi qiyas, sebuah metode dalam ilmu ushul fiqh untuk melegitimasi uang kertas. Hal ini dilakukan karena ketidakberdayaan umat Islam dan ketidakmampuan pemimpin-pemimpin Islam untuk mencetak kembali Dinar dan Dirham pada waktu itu.

Metodologi qiyas uang kertas dengan dinar dan dirham dikaji oleh Dr. Yusuf al-Qordhowi, DR. Ali' Abdul Rasul, Muhammad Baqir as-Shadr, Dr. Syauqi Ismail Syahatah, DR. Sami Hamud, Prof. Abdullah Sulaiman Munie', serta Fatwa serupa yang dikeluarkan oleh majalah "al-Buhuts al-islamiyah" Saudi Arabia 1395 H dan kitab "al-Mabadi' al-Iqtishodiyyah fil Islam". Sebagaimana diurikan di atas disanggah dengan tegas oleh DR. Mahmud Al-Khalidi seorang alumni dari Universitas al-Azhar bidang syariah wal qanun (syariah dan perundang-undangan), dalam buku beliau yang berjudul "Zakat an-Nuqud al-Waraqiyyah al-Mua'shirah" (Zakat Uang Kertas) pada 1985. Poin-poin penting sanggahan tersebut adalah sebagai berikut :
Fatwa di atas menyalahi yang telah ditetapkan oleh Allah ta'la dalam Al-Quran, sunnah nabi Muhammad sallallahu a'laihi wasallam, dan ijma (konsensus) Sahabat karena dalam Islam yang dinamakan nuqud adalah emas dan perak dan bukannya uang kertas.

Metodologi qiyas yg dijadikan dalil syara' seharusnya memiliki 'illah (alasan/argument) dan illah itu harus diambil dari Al-Quran dan as-Sunnah. Sedangkan "tsamaniyah" (nilai tukar) yang dijadikan 'illah tidak ada satupun dalil daripada al-Quran dan as-Sunnah.

Berlakunya hukum riba pada emas dan perak adalah pada tsamaniyah atau nilai tukar, ini pun tidak ada dalil syara' yang menunjukkan hal tersebut. Pengharaman riba haruslah berdasarkan dalil atau nash yang syar'i.

Kepercayaan masyarakat bukan menjadi tolak ukur dalam melegitimasi uang kertas menjadi nuqud syar'i (mata uang sunnah), sekiranya berdiri Daulah Islamiyah maka pemimpinnya harus menerapkan hukum Allah Ta'ala termasuk mencetak nuqud syar'i.

Pandangan para pakar ekonomi tentang uang tidak dapat dijadikan hujjah dalam melegitimasi uang kertas sebagai nuqud syar'i, karena hujjah mesti berasal daripada Allah dan Rasulnya yaitu Al Quran dan as sunnah.

Rasulullah sallallahu a'laihi wasallam menentukan ukuran berat atau timbangan pada nuqud syar'i seperti uqiyah, dirham, daniq, qiraath, mithqaal dan dinar. Semua ini tidak terdapat pada uang kertas. Berdasarkan beberapa hal di atas Dr Makhmud al Khalidi menyimpulkan bahwa qiyas dinar dirham dengan uang kertas adalah batil, dengan perkataan lain qiyas ma'al faariq (qiyas yang tidak tepat).

Walaupun demikian, beliau menggunakan kaedah ushul fiqh "maalaa yatimmul waajib illa bihi fahuwal waajib " (suatu perkara yang wajib tidak dapat dilaksanakan kecuali hanya dengannya [perkara itu] maka ia menjadi wajib), karena ketiadaan dinar dirham di muka bumi ini, sehingga hukum uang kertas disamakan dengan dinar dirham.
Tetapi, sanggahan itu dibuat juga pada 1985, ketika Dinar dan Dirham memang belum dicetak. Sekarang Dinar Dirham sudah dicetak kembali dan berada di tangan masyarakat, maka wajib umat Islam menggunakan Dinar dan Dirham untuk muamalah dan pembayaran zakat, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Ta'ala dan Rasulnya, sallallahu a'layhi wasallam. Wallahu A'lam.
3. http://pengusahamuslim.com/mengenal-hukum-uang-kertas-12#.UiiAuX-sOSo
dan 
Ulama ahli fiqih berbeda persepsi dan sikap menghadapi uang kertas setelah masyarakat secara umum menggunakannya sebagai alat jual beli, berikut saya akan menyebutkan secara global pendapat mereka:
Pendapat pertama: Uang kertas adalah surat piutang yang dikeluarkan oleh suatu negara, atau instansi yang ditunjuk. Di antara ulama yang berpendapat dengan pendapat ini ialah syeikh Muhammad Amin As Syanqithy rahimahullah, Ahmad Husaini dan penulis kitab Al Fiqhu ‘Ala Al Mazahib Al Arba’ah (baca Adwa’ul Bayan oleh asy-Syinqithy 8/500, Bahjatul Musytaaq Fi Hukmi Zakaat al-Auraaq, dan al-Fiqhu ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah 1/605).
Pendapat ini lemah atau kurang kuat, dikarenakan bila pendapat ini benar-benar diterapkan, berarti tidak dibenarkan membeli sesuatu yang belum ada atau yang disebut dengan pemesanan atau salam, karena menurut pendapat ini akad tersebut menjadi jual-beli piutang dengan dibayar piutang, dan itu dilarang dalam syari’at Islam.
عن ابن عمر رضي الله عنهما : عن النبي صلّى الله عليه وسلّم : (أنه نهى عن بيع الكالئ بالكالئ). رواه الحاكم والدَّارقطني
“Dari sahabat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannnya beliau melarang jual-beli piutang dengan dibayar piutang.” (HR. al-Hakim, ad-Daraquthny dan didhaifkan oleh al-Albany).
Walaupun hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama, akan tetapi larangan jual-beli piutang dengan pembayaran dihutang telah disepakati oleh para ulama (baca Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 30/264, I’ilamul Muwaqi’in oleh Ibnul Qayyim 3/340, Talkhishul Habir oleh Ibnu Hajar al-Asqalany 3/26).
Pendapat kedua: Uang kertas adalah salah satu bentuk barang dagangan. Pendapat ini dianut oleh banyak ulama madzhab Maliky, sebagaimana ditegaskan dalam kitab al-Hawi ‘Ala ash-Showy (Al-Hawi ‘Ala ash-Showy Bi Hasyiyati asy-Syarh ash-Shaghir, 4/42-86). Dan di antara yang menguatkan pendapat ini ialah Syaikh Abdurrahman as-Sa’dy rahimahullah (sebagaimana beliau nyatakan dalam kitab Fatawa as-Sa’diyyah, hal. 319-324).
Sebagaimana pendapat sebelumnya, pendapat ini ketika diterapkan dan dicermati dengan seksama akan nampak berbagai sisi kelemahannya, di antaranya ialah pendapat ini akan membuka lebar-lebar berbagai praktik riba dan menggugurkan kewajiban zakat dari kebanyakan umat manusia. Hal ini dikarenakan uang yang berlaku pada zaman sekarang terbuat dari kertas, sehingga -konsekuensinya- tidak dapat di-qiyas-kan dengan keenam komoditi riba di atas. Sebagaimana halnya zakat mal tidak dapat dipungut dari orang yang kekayaannya terwujud dalam uang kertas, berapapun jumlahnya, karena kertas bukan termasuk harta yang dikenai zakat, bila tidak dijadikan sebagai barang perniagaan.
Pendapat ketiga: Uang kertas disamakan dengan fulus (yaitu alat jual beli yang terbuat dari selain emas dan perak, dan digunakan untuk membeli kebutuhan yang ringan. Biasanya terbuat dari tembaga atau yang serupa. Dan biasanya fulus semacam ini pada masyarakat zaman dahulu, berubah-rubah pengunaannya, kadang kala berlaku, dan kadang kala tidak), dan pendapat ini walaupun sekilas terlihat kuat, akan tetapi perbedaan fungsinya dengan uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang menjadikannya pendapat yang lemah. Sebab, fulus digunakan untuk membeli barang-barang yang sepele, berbeda halnya dengan uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang.
Pendapat ketiga ini tidak jauh beda dengan dua pendapat sebelumnya, yaitu memiliki banyak kelemahan, di antaranya: pendapat ini tidak selaras dengan kenyataan, sebab uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang ini berfungsi sebagai alat jual-beli, bukan hanya dalam hal-hal yang remeh dan murah, akan tetapi dalam segala hal, sampaipun barang yang termahal dapat dibeli dengannya. Tentu fenomena ini menyelisihi fenomena fulus pada zaman dahulu, yang hanya digunakan sebagai alat jual-beli barang-barang yang remeh.
Pendapat keempat: Uang kertas merupakan pengganti uang emas dan perak. Dengan demikian, uang kertas yang beredar di dunia sekarang hanya terbagi menjadi dua jenis, yaitu uang kertas sebagai pengganti emas atau perak. Pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama fiqih pada zaman sekarang.
Walau demikian, pendapat ini tidak sejalan dengan kenyataan, sebab uang kertas yang beredar di dunia sekarang ini tidak sebagai pengganti emas dan perak, dan juga tidak ada jaminannya dalam wujud emas atau perak. Uang kertas berlaku hanya semata-mata diberlakukan oleh pemerintah setempat, bukan karena ada jaminannya berupa emas atau perak.
Ditambah lagi, pendapat ini tidak mungkin untuk diterapkan, terutama pada saat kita hendak tukar menukar mata uang, karena -menurut pendapat ini- kita harus terlebih dahulu menyelidiki, apakah asal-usul mata uang yang hendak kita tukarkan, bila sama-sama berasalkan dari uang perak, maka tidak dibenarkan untuk melebihkan nilai tukar salah satunya, dan bila berbeda asal-usulnya, maka boleh membedakan nilai tukarnya, walau harus dengan cara kontan.
Pendapat kelima: Uang kertas adalah mata uang tersendiri sebagaimana halnya uang emas dan perak, sehingga uang kertas yang beredar di dunia sekarang ini berbeda-beda jenisnya selaras dengan perbedaan negara yang mengeluarkannya.
Pendapat kelima inilah yang terbukti selaras dengan fakta dan mungkin untuk diterapkan pada kehidupan umat manusia sekarang ini (bagi yang ingin mendapatkan pembahasan panjang lebar tentang permasalahan hukum uang kertas, silakan membaca kitab: Al-Waraq an-Naqdy oleh Syaikh Abdullah bin Sulaiman al-Mani’, Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi 1 dan 39, dan Zakaat al-Ashum wa al-Waraq an-Naqdy oleh Syaikh Shaleh bin Ghanim as-Sadlaan).

==00O00==

Bila hal ini telah jelas, maka berikut beberapa fatwa Komite Tetap untuk Riset Ilmiyyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, seputar permasalahan jual beli valuta asing:
Pertanyaan:
Apakah hukum riba berlaku pada fulus, dan pada mata uang lira Turky yang bergambarkan/berlogokan dengan gambar tertentu, baik yang terbuat dari kertas atau perunggu, demikian juga halnya dengan mata uang reyal Saudi Arabia, atau tidak berlaku? Sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab syariat (kitab fiqih): uang fulus (uang logam) tidak berlaku padanya hukum riba. Dan sebagaimana dinyatakan oleh Imam asy-Syafi’i dalam kitab (Al-Umm), “Dan bahwasannya fulus bukanlah sebagai alat untuk menghargai barang-barang yang dirusakkan (oleh orang lain), karena fulus tidak wajib dizakati, dan tidak berlaku padanya hukum riba.”
Jawaban:
Pada pertemuan yang telah lalu, Komite Kibarul Ulama telah mengkaji permasalahan uang kertas, dan telah menetapkan suatu keputusan dengan cara suara terbanyak, di antara point keputusan tersebut ialah:
Pertama: Kedua macam riba dapat berlaku pada uang kertas, sebagaimana kedua macam riba berlaku pada emas dan perak, dan alat jual beli lainnya, seperti fulus. Keputusan ini berartikan sebagai berikut:
A. Tidak dibolehkan sama sekali untuk memperjual-belikan uang kertas yang sama atau dengan uang kertas jenis lainnya dengan cara pembayaran dihutang, misalnya: menjual uang dolar Amerika dengan harga lima reyal Saudi atau lebih atau kurang dengan pembayaran dihutang.
B. Tidak boleh menjual-belikan mata uang yang sama dengan cara melebihkan sebagiannya di atas sebagian yang lain, baik dengan pembayaran dihutang atau kontan, sehingga tidak dibolehkan -misalnya- menjual sepuluh reyal uang kertas Saudi dengan harga sebelas reyal uang kertas Saudi.
C. Boleh memperjual-belikan sebagian uang kertas dengan sebagian uang kertas jenis lain dengan cara apapun, asalkan pembayaran dengan cara kontan. Sehingga, boleh menjual uang satu lira Suria atau Lebanon dengan uang satu reyal Saudi, baik yang terbuat dari logam atau kertas, atau dengan harga lebih murah atau lebih mahal. Dan boleh menjual satu dolar Amerika dengan tiga reyal Saudi atau lebih murah atau dengan lebih mahal, selama jual-beli tersebut dilakukan dengan cara kontan. Demikian juga boleh menjual satu reyal Saudi perak dengan harga tiga reyal Saudi kertas, atau lebih mahal atau lebih murah, bila itu dilakukan dengan cara kontan. Karena, yang demikian itu dianggap menjual satu jenis uang dengan uang jenis lainnya, dan kesamaan dalam nama akan tetapi berbeda hakikat tidak ada pengaruhnya.
Kedua: Wajib menzakati uang kertas bila nominasinya telah mencapai nishab termurah, baik nishab emas atau perak, atau nishab digenapkan dengan uang lainnya atau dengan barang perniagaan, selama barang tersebut adalah milik penjualnya.
Ketiga: Boleh menjadikan uang kertas sebagai modal dalam akad salam/pemesanan dan juga dalam serikat dagang.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya (Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah 13/442, fatwa no. 3291).
Pertanyaan:
Sebagaimana yang Anda ketahui, bahwa di antara bentuk perniagaan yang ada di masyarakat, terutama yang terjadi sesama mereka sekarang ialah memperjual-belikan berbagai mata uang sebagiannya dengan sebagian yang lain. Misalnya, uang dolar dijual dengan uang reyal, reyal dijual dengan poundsterling, dan poundsterling dibeli dengan dinar Kuwait, dan demikian seterusnya. Sebagaimana diketahui, bahwa masing-masing mata uang memiliki harga jual dan harga beli dengan mata uang lokal, yaitu reyal bagi masyarakat Saudi Arabia. Seandainya kita -misalnya- menginginkan menjual uang dolar yang kita miliki ke salah seorang pedagang falas, maka ia akan membelinya dengan harga 3,25 (tiga reyal koma dua puluh halalah/sen). Akan tetapi, bila kita hendak membeli darinya uang dolar, niscaya ia akan menjualnya kepada kita dengan harga 3,30 (tiga reyal koma tiga puluh halalah/sen). Yaitu, antara harga jual dan beli terpaut lima halalah/sen. Melihat transaksi yang berjalan semacam ini, kami hendak bertanya kepada Anda tetang beberapa pertanyaan berikut:
A. Apakah transaksi di atas benar dan boleh menurut syariat, dan apakah kita dapat menamakannya dengan jual-beli?
B. Bila transaksi tersebut boleh, maka apa dalil yang membedakan antara mata uang dengan komoditi riba yang -sebagaimana yang Anda ketahui- tidak dibolehkan untuk melebihkan salah satunya ketika dibarterkan?
Jawaban:
Jawaban pertanyaan A: Transaksi tersebut merupakan transaksi antara dua komoditi riba, dan transaksi itu dibolehkan asalkan dilakukan dengan cara kontan, walaupun terjadi perbedaan antara keduanya; dikarenakan perbedaan jenis antara keduanya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لا تبيعوا الذهب بالذهب إلا مثلا بمثل، ولا تشفوا بعضها على بعض، ولا تبيعوا الورق بالورق إلا مثلا بمثل، ولا تشفوا بعضها على بعض، ولا تبيعوا منها غائبا بناجز. رواه البخاري ومسلم
“Janganlah engkau jual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau lebihkan sebagiannya di atas sebaian lainnya. Janganlah engkau jual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau lebihkan sebagiannya di atas sebaian lainnya. Dan janganlah engkau jual sebagiannya yang diserahkan dengan kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan dengan kontan.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).
Dan uang kertas dihukumi sama dengan kedua mata uang: emas dan perak. Dan uang kertas yang disebutkan dalam pertanyaan berbeda jenisnya, sehingga boleh untuk dilebihkan sebagian dari sebagian lainnya. Karena, setiap mata uang kertas dianggap sebagai satu jenis tersendiri selaras dengan negara yang mengeluarkannya. Akan tetapi, transaksi tersebut harus dilakukan dengan cara kontan; dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari memperjual-belikan sebagiannya yang tidak hadir ketika transaksi dengan sebagian lainnya yang telah hadir pada saat transaksi berlangsung. Dan transaksi ini disebut dengan Ash-Sharfu (tukar-menukar), dan itu adalah salah satu bentuk akad jual-beli.
Jawaban pertanyaan B: Demikian juga halnya dengan komoditi riba lainnya, seperti gandum, sya’iir, kurma, dan kismis, boleh untuk menukarkan di antaranya walau sama jenisnya dengan syarat sama timbangannya dan dengan cara kontan pada waktu akad berlangsung. Dan boleh melebihkan sebagiannya bila berbeda jenis, asalkan transaksi dengan cara kontan, tidak ada yang ditunda dari saat transaksi berlangsung. Dan diharamkan untuk melebihkan sebagiannya, baik akad dilakukan dengan kontan atau dihutang bila jenis kedua barang adalah sama, dan haram menunda salah satu barang (yang dibarterkan), baik kedua barang sama jenis atau berbeda, demikian juga haram menunda salah satunya, kecuali bila salah satu komoditi riba tersebut berupa uang, sedangkan barang lainnya berupa selain uang, sebagaimana halnya yang terjadi pada transaksi salam (pemesanan) atau penjualan yang denganbayaran dihutang.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya (Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah 13/439, fatwa no. 3037).
Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri
Artikel: www.pengusahamuslim.com

4. http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/
Berikut penjelasan mengenai uang kertas menurut bahasa, definisi Ilmu Ekonomi dan menurut ulama fikih. Bahwa uang kertas alat pembayaran independen, berlaku padanya semua hukum alat tukar yang berlaku pada emas dan perak adalah pendapat mayoritas sekaligus fatwa ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
 Tidak dipungkiri, penyebaran dan penggunaan uang kertas sudah merata dalam semua muamalat jual-beli sekarang ini. Sebagian kaum Muslimin memandang uang kertas sebagai penyebab kemunduran ekonomi umat sehingga harus kembali ke mata uang emas (Dinar) dan perak (Dirham). Bahkan ada yang mengharamkan mata uang kertas. Bagaimana sebenarnya masalah uang kertas dalam pandangan Islam dan apa hakekat mata uang dalam Islam, bagaimana bisa membuat orang menggunakan uang kertas dalam kehiduapan mereka. Semoga penjelasan ini memberi wacana dan pencerahan.
Hakekat Mata Uang
Sudah dimaklumi, sumber hukum Islam berbahasa Arab dan para ulama Islam seluruhnya selalu menyertakan pengertian sebuah istilah kepada istilah yang berlaku dalam syariat yang umumnya berbahasa Arab. Demikian juga mata uang yang memang sudah ada dan berlaku di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan setelahnya. Oleh karena itu perlu sekali melihat istilah mata uang menurut bahasa Arab dan terminologi ulama syariat.
Mata uang dalam bahasa Arabnya adalah النقد (an-naqd). Kata an-naqd dalam bahasa Arab memiliki beberapa pengertian. Di antaranya, petunjuk atas menonjolnya sesuatu dan penonjolannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Faris. Juga bermakna pembuktian, seperti dalam pernyataan orang Arab: نقد الدراهم , yang berarti membuktikan keadaan Dirham dan membuang bagian yang palsu di dalamnya. Kata النقد juga bermakna memberi atau menerima secara tunai, lawan dari kata النسيئة (tunda). Anda berkata, نقدت الدراهم , yang artinya, “Aku membayarnya dengan Dirham secara kontan.” (Lihat Mu’jam Maqayis al-Lughah kata  ن ق د. )
Adapun secara istilah, kata النقد , menurut pakar fikih, digunakan untuk menyebut emas, perak atau benda lainnya yang dipakai oleh masyarakat dalam muamalat mereka. (Lihat al-Qamus al-Muhith kata ن ق د hal. 412). Adapun menurut ahli ekonomi zaman ini, didefinisikanc dengan, “Segala sesuatu yang diterima secara luas sebagai perantara barter di antara masyarakat. Hal ini berarti an-naqd merupakan tolok ukur bagi harga, alat pembayaran dan bisa disimpan dan ini adalah fungsi dari uang.
Mata Uang didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar dapat berupa benda apa pun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam Ilmu Ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lain, serta untuk pembayaran hutang. Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
Keberadaan uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter yang lebih kompleks, tidak efisien, dan kurang cocok digunakan dalam sistem ekonomi modern, karena membutuhkan orang yang memiliki keinginan yang sama untuk melakukan pertukaran dan juga kesulitan dalam penentuan nilai. Efisiensi yang didapatkan dengan menggunakan uang pada akhirnya mendorong perdagangan dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan meningkatkan produktivitas dan kemakmuran.
Tidak Semua Benda Bisa Menjadi uang?
Dengan demikian dapat disimpulkan suatu benda dapat dijadikan sebagai “mata uang” jika benda tersebut bisa diterima secara umum (acceptability) sebagai alat tukar dan harus ada jaminan keberadaannya oleh pemerintah yang berkuasa atau badan yang diakui dunia serta menjadi tolok ukur harga barang dan dapat disimpan lama sehingga bahan yang dijadikan uang harus tahan lama (durability).
Perkembangan Uang Kertas
Manusia di awal kehidupannya melakukan jual-beli melalui barter, kemudian tidak lagi menggunakannya karena mengandung banyak kesulitan. Mereka pun memilih sebagian barang sebagai alat pembayaran untuk tukar-menukar terkait dengan barang yang mereka perlukan, seperti bahan makanan pokok dan kulit. Kemudian mereka meninggalkan cara ini karena cara ini membutuhkan pemindahan dan dipanggul. Lalu manusia mencari sesuatu yang lebih ringan daripada barang. Hasilnya, mereka menemukan emas dan perak. Mereka pun menggunakan keduanya sebagai alat tukar barang-barang. Berkembang emas dan perak dicetak sehingga ia menjadi potongan-potongan yang sama dari sisi bentuk dan beratnya dan ditandai dengan sesuatu yang menetapkan keasliannya.
Kemudian masyarakat – apalagi para pedagang – mulai menitipkan uang emas dan perak mereka kepada para bandar uang dan pembuatnya karena takut dari pencurian. Sebagai bukti penitipan mereka menerima surat bukti penitipan. Manakala kepercayaan masyarakat kepada para bandar uang semakin meningkat, surat bukti penitipan berubah menjadi alat pembayaran atas transaksi jual-beli suatu barang. Inilah awal-mula penggunaan uang kertas, sekalipun saat itu belum memiliki bentuk resmi dan belum ada kekuasaan yang memaksa masyarakat untuk menerimannya.
Manakala peredaran surat bukti penitipan semakin meluas, kertas-kertas tersebut berubah menjadi bentuk yang resmi yang dikenal dengan nama banknote yang menggantikan peran emas secara sempurna. Bank sendiri berpegang dengan tidak menerbitkan kertas-kertas tersebut kecuali berdasarkan emas yang dimilikinya, sebagaimana negara-negara mulai menjadikannya sebagai harga secara undang-undang dan memaksa masyarakat untuk menerimanya pada 1254 H (1833 M).
Kemudian, ketika negara-negara tersebut memerlukan uang, mereka pun mencetaknya dalam jumlah besar yang mengungguli emas yang dimiliknya. Ini pun laku keras di kalangan manusia, karena mereka percaya sumber yang mengeluarkannya bisa merubahnya kepada emas. Tetapi kenyataannya, kertas-kertas tersebut semakin meningkat sehingga mengungguli emas yang dimiliki negara secara berlipat-lipat. Pemerintah mulai menerapkan syarat-syarat yang sangat ketat terhadap siapa yang hendak merubah kertas-kertas tersebut kepada emas.
Pada 1325 H, bertepatan dengan 1931 M, pemerintah Inggris melarang kertas-kertas tersebut dirubah menjadi emas secara mutlak dan memaksa masyarakat menerima kertas-kertas tersebut sebagai ganti emas. Langkah ini diikuti pemerintah Amerika Serikat pada 1355 H (1934 M). Sekalipun demikian, negara-negara tersebut tetap memegang perinsip pensetaraan mata uangnya kepada emas saat ia bertransaksi dengan negara lain. Iinilah yang dikenal dengan Qaidah at-Ta’amul bidz Dzahab (Kaidah Muamalat dengan Emas). Kaidah ini terus dipraktikkan sampai 1392 H (1971 M), ketika Amerika Serikat terpaksa menghentikan hal itu karena minimnya emas dalam negeri. Dengan ini matilah bentuk terakhir dari bentuk-bentuk dukungan emas kepada mata uang kertas. (Lihat Ahkam al-Auraq an-Nuqud wal Umlat karya al-Qadhi al-Utsmani, salah satu makalah majalah Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami No. 3 juz 3 1685, Mudzakkirat fi an-Nuqud wal Bunuk hal. 18, al-Waraq an-Naqdi, Haqiqatuhu, Tarikhuhu, Qimatuhu, Hukmuhu hal. 23)
Uang Kertas menurut Ulama Fikih
Dari perkembangan perubahan fase uang kertas, lahirlah khilaf di kalangan para fuqaha zaman ini terkait hakikatnya dari sudut pandang fikih menjadi lima pendapat.
Pendapat pertama, uang kertas adalah bukti utang yang ditanggung oleh penerbitnya. Utang ini diwujudkan dalam bentuk nominal yang ditulis di secarik kertas tersebut. Inilah pendapat Ahmad al-Husaini, Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dan lainnya. (Lihat Bahjah al-Musytaq fi Bayan Zakati Amwalil Auraq hal. 22 dan Adhwa`ul Bayan 1/225)
Pendapat kedua, uang kertas adalah barang perniagaan yang memiliki hukum-hukum barang perniagaan. Uang kertas tidak memiliki kriteria sebagai alat pembayaran, tetapi sama dengan barang perniagaan lainnya. Inilah pendapat Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dan Syaikh Hasan Ayyub. (Lihat Al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 315, Al-Auraq an-Naqdiyah fil Iqtishad al-Islami, Qimatuha wa Ahakmuha hal. 173, Al-Waraq an-Naqdi hal. 55)
Pendapat ketiga, uang kertas sama dengan fulus dalam statusnya sebagai alat pembayaran. Fulus (الفلوس) adalah jamak dari  فلس. Yaitu barang tambang selain emas dan perak yang dicetak dalam bentuk koin (keping) sebagai alat pembayaran yang digunakan dalam alat transaksi menurut kesepakatan dan kebiasaan masyarakat. (Lihat al-Misbah al-Munir hal. 481, Mu’jam al-Mushthalahat al-Iqtishadiyah fi Lughatil Fuqaha` hal. 270). Ini pendapat Syaikh Ahmad al-Khathib, Syaikh Ahmad az-Zarqa, Syaikh Abdullah al-Bassam, Dr Mahmud al-Khalidi, Qadhi Muhammad Taqi al-Utsmani dan lainnya. (simak: Al-Waraq an-Naqdi karya Ibnu Mani’ hal. 65, Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah hal. 174, Zakah an-Nuqud al-Waraqiyah al-Muashirah hal. 90 dalam majalah al-Buhuts al-Islamiyyah No. 3/3/1697, 1941, 1955)
Pendapat keempat, uang kertas adalah pengganti emas dan perak dan mengambil fungsi keduanya. Ini adalah pendapat Syaikh Abdurrazzaq Afifi. (Al-Auraq an-Naqdiyyah fil Iqtishad al-Islami hal. 204)
Pendapat kelima, uang kertas adalah alat pembayaran independen yang berdiri sendiri, berlaku padanya semua hukum alat tukar yang berlaku pada emas dan perak. Setiap mata uang dianggap sebagai satu jenis yang independen. Ini adalah pendapat mayoritas ulama sekaligus merupakan fatwa Hai`ah Kibar Ulama di Kerajaan Saudi Arabia, Al-Majma’ al-Fiqhi di Makkah, yang berafiliasi kepada Kongres Muktamar Islam (OKI). (simak majalah al-Buhuts al-Islamiyyah no. 31 hal. 376, keputusan No. 10, majalah Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami No. 3 juz 3, keputusan keenam Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami di Makkah hal. 1893 dan keputusan No. 9 Mujamma’ al-Fiqh al-Islami dalam daurah-nya yang ketiga di Oman hal. 1965 dan lihat juga hal. 1935, 1939 dan 1955)
Dalil pendapat kelima: uang kertas telah mengambil peranan sebagai uang (alat pembayaran), karena ia telah menjadi standar nilai harga dan penyebab pelunasan pembayaran serta simpanan kekayaan yang mungkin ditabung saat diperlukan. Juga tingkat kepercayaan masyarakat kepadanya sangat kuat dalam bertransaksi dengannya karena adanya undang-undang dan perlindungan negara. Kriteria alat pembayaran bukan monopoli emas dan perak. Tetapi bisa dimiliki oleh selain emas dan perak yang dijadikan oleh masyarakat sebagai uang yang memegang peranan dan fungsi uang, termasuk dalam hal ini adalah kertas-kertas tersebut. (Al-Waraq an-Naqdi hal. 113)
Pendapat kelima-lah yang rajih (kuat), karena keakuratan dalilnya, ditambah bebasnya dari celah untuk disanggah dan konsekuensi-konsekuensi (yang melemahkannya). Inilah keputusan Al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami di Makkah. Teks keputusan tersebut adalah:
Pertama, berpijak kepada hukum asal alat pembayaran adalah emas dan perak dan berpijak kepada illat (sebab hukum) berlakunya hukum riba pada keduanya adalah tsamaniyah (standar alat pembayaran) menurut pendapat yang paling shahih di kalangan fuqaha syariat. Dengan dasar Kriteria tsamaniyah ini menurut para fuqaha tidak hanya terbatas pada emas dan perak sekalipun tambang emas dan perak ini merupakan asal. Ditambah mata uang kertas telah menjadi sebuah alat pembayaran yang memiliki harga dan berperan layaknya emas dan perak dalam penggunaannya. Uang kertas telah menjadi standar ukuran nilai barang-barang di zaman ini, karena penggunaan emas dan perak telah mundur dari peredaran dan jiwa masyarakat merasa tenang dengan menyimpannya dan menganggapnya sebagai uang. Penunaian pembayaran yang sah terwujud dengannya dalam skala umum. Sekalipun harganya bukan pada dzat-nya, akan tetapi karena faktor luar, yaitu terwujudnya kepercayaan masyarakat terhadapnya sebagai sarana pembayaran dan pertukaran. Inilah titik pertimbangan kuat bagi sisi tsamaniyah padanya.
Karena kesimpulan tentang illat berlakunya hukum riba pada emas dan perak adalah tsamaniyah dan illat ini juga terwujud pada uang kertas. Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas seluruhnya, Majlis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami menetapkan bahwa mata uang kertas merupakan alat pembayaran yang berdiri sendiri dan mengambil hukum emas dan perak, sehingga zakat wajib padanya dan berlaku riba dengan kedua macamnya pada uang kertas ini, baik riba nasiah maupun riba fadhl. Sebagaimana hal itu berlaku pada emas dan perak secara sempurna dengan mempertimbangkan kriteria tsamaniyah pada mata uang kertas, sehingga ia diqiyaskan kepada emas dan perak.  Dengan demikian mata uang kertas mengambil hukum-hukum uang dalam segala keterkaitan yang ditetapkan syariat.
Kedua, uang kertas dianggap sebagai alat bayar independen sebagaimana berlaku nya fungsi ini pada emas, perak dan benda-benda berharga lainnya. Demikian juga uang kertas diklasifikasikan sebagai jenis-jenis yang berbeda-beda dan beraneka-ragam sesuai dengan pihak penerbitnya di negara-negara yang berbeda-beda pula. Artinya uang kertas Saudi Arabia adalah satu jenis dan uang kertas Amerika adalah satu jenis. Begitulah setiap uang kertas adalah satu jenis independen secara dzat-nya. Dengan demikian hukum riba dengan kedua macamnya, riba fadhl dan riba nasiah, berlaku padanya, sebagaimana kedua riba ini berlaku pada emas dan perak serta barang berharga lainnya.
Konsekuensinya adalah:
  1. Tidak boleh menjual mata uang sebagian dengan sebagian yang lain atau dengan mata uang yang berbeda dari jenis-jenis alat pembayaran lainnya berupa emas atau perak atau selain keduanya secara nasiah (tunda) secara mutlak, tidak boleh misalnya menjual 10 riyal Saudi dengan mata uang lain dengan selisih harga secara tunda tanpa serah terima secara kontan.
  2. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenisnya sendiri, ketika salah satunya lebih banyak dari yang lain, baik hal itu dilakukan secara kontan maupun tunda. Tidak boleh, contoh, menjual 10 riyal Saudi kertas dengan 11 riyal Saudi kertas secara kontan maupun tunda.
  3. Boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis lain yang berbeda bila hal itu dilakukan secara kontan. Diperbolehkan menjual Lira Suriah atau Lebanon dengan riyal Saudi, baik berupa uang kertas atau perak dalam jumlah yang sama atau lebih murah atau lebih tinggi. Juga diperbolehkan menjual dolar Amerika dengan 3 riyal Saudi atau lebih rendah dari itu atau lebih tinggi bila hal itu terjadi secara kontan.  Seperti ini juga pembolehan menjual riyal Saudi perak dengan 3 riyal Saudi kertas atau kurang atau lebih tinggi dari itu, bila hal itu dilakukan secara kontan.  Karena dalam kasus ini dianggap menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang lain, sekedar kesamaan nama tidak berpengaruh karena hakikat keduanya tidak sama.
Ketiga, kewajiban zakat pada uang kertas bila nilainya sudah mencapai nishob terendah dari nishob emas atau perak atau nishob-nya terwujud dengan menggabungkannya dengan harta berharga lainnya dan harga barang yang disiapkan untuk diperdagangkan.
Keempat, boleh menjadikan mata uang kertas sebagai modal dalam jual-beli salam dan serikat kerja sama.
Wallahu a’lam dan taufik hanya dari-Nya. Shalawat dan salam kepada Sayyidina Muhammad, keluarga dan para sahabatnya. (Keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami pada daurah-nya yang kelima No. 1/193)
Pendapat di atas juga merupakan pendapat Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami yang berafiliasi kepada Kongres Muktamar Islam. (Keputusan No. 21, 9/3 hal. 40, di antara keputusan dan nasihat Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami, sekaligus merupakan fatwa Ha`iah Kibar Ulama Kerajaan Saudi Arabia, sebagaimana dimuat majalah al-Buhuts al-Islamiyah 1/220)
Menerbitkan Mata Uang = Melakukan Transaksi Riba?
Dari penjelasan tersebut, menerbitkan mata uang kertas tidak berarti melakukan transaksi ribawi. Uang kertas sama dengan emas dan perak menjadi komoditi ribawi. Bila menerbitkan mata uang kertas sama dengan melakukan transaksi riba, konsekuensinya, menerbitkan uang emas dan perak juga melakukan transaksi ribawi. Tentunya tidak ada seorangpun yang berani nekat menyatakan pendapat demikian.
Oleh karena itu marilah kita telaah kembali syariat Islam dan tidak gegabah dalam menghukum sesuatu adalah ribawi atau tidak, karena permasalahan tidaklah mudah dan remeh. Ingatlah dengan peringatan imam Ibnu Katsir: “Bab (pembahasan) riba termasuk pembahasan yang paling rumit bagi banyak ulama.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/327) (PM)
Kholid Syamhudi, Lc.
(Rubrik Kontroversi Edisi 28/Juni 2012)
- See more at: http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/#sthash.hcR69bs8.dpuf
Berikut penjelasan mengenai uang kertas menurut bahasa, definisi Ilmu Ekonomi dan menurut ulama fikih. Bahwa uang kertas alat pembayaran independen, berlaku padanya semua hukum alat tukar yang berlaku pada emas dan perak adalah pendapat mayoritas sekaligus fatwa ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
 Tidak dipungkiri, penyebaran dan penggunaan uang kertas sudah merata dalam semua muamalat jual-beli sekarang ini. Sebagian kaum Muslimin memandang uang kertas sebagai penyebab kemunduran ekonomi umat sehingga harus kembali ke mata uang emas (Dinar) dan perak (Dirham). Bahkan ada yang mengharamkan mata uang kertas. Bagaimana sebenarnya masalah uang kertas dalam pandangan Islam dan apa hakekat mata uang dalam Islam, bagaimana bisa membuat orang menggunakan uang kertas dalam kehiduapan mereka. Semoga penjelasan ini memberi wacana dan pencerahan.
Hakekat Mata Uang
Sudah dimaklumi, sumber hukum Islam berbahasa Arab dan para ulama Islam seluruhnya selalu menyertakan pengertian sebuah istilah kepada istilah yang berlaku dalam syariat yang umumnya berbahasa Arab. Demikian juga mata uang yang memang sudah ada dan berlaku di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan setelahnya. Oleh karena itu perlu sekali melihat istilah mata uang menurut bahasa Arab dan terminologi ulama syariat.
Mata uang dalam bahasa Arabnya adalah النقد (an-naqd). Kata an-naqd dalam bahasa Arab memiliki beberapa pengertian. Di antaranya, petunjuk atas menonjolnya sesuatu dan penonjolannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Faris. Juga bermakna pembuktian, seperti dalam pernyataan orang Arab: نقد الدراهم , yang berarti membuktikan keadaan Dirham dan membuang bagian yang palsu di dalamnya. Kata النقد juga bermakna memberi atau menerima secara tunai, lawan dari kata النسيئة (tunda). Anda berkata, نقدت الدراهم , yang artinya, “Aku membayarnya dengan Dirham secara kontan.” (Lihat Mu’jam Maqayis al-Lughah kata  ن ق د. )
Adapun secara istilah, kata النقد , menurut pakar fikih, digunakan untuk menyebut emas, perak atau benda lainnya yang dipakai oleh masyarakat dalam muamalat mereka. (Lihat al-Qamus al-Muhith kata ن ق د hal. 412). Adapun menurut ahli ekonomi zaman ini, didefinisikanc dengan, “Segala sesuatu yang diterima secara luas sebagai perantara barter di antara masyarakat. Hal ini berarti an-naqd merupakan tolok ukur bagi harga, alat pembayaran dan bisa disimpan dan ini adalah fungsi dari uang.
Mata Uang didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar dapat berupa benda apa pun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam Ilmu Ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lain, serta untuk pembayaran hutang. Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
Keberadaan uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter yang lebih kompleks, tidak efisien, dan kurang cocok digunakan dalam sistem ekonomi modern, karena membutuhkan orang yang memiliki keinginan yang sama untuk melakukan pertukaran dan juga kesulitan dalam penentuan nilai. Efisiensi yang didapatkan dengan menggunakan uang pada akhirnya mendorong perdagangan dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan meningkatkan produktivitas dan kemakmuran.
Tidak Semua Benda Bisa Menjadi uang?
Dengan demikian dapat disimpulkan suatu benda dapat dijadikan sebagai “mata uang” jika benda tersebut bisa diterima secara umum (acceptability) sebagai alat tukar dan harus ada jaminan keberadaannya oleh pemerintah yang berkuasa atau badan yang diakui dunia serta menjadi tolok ukur harga barang dan dapat disimpan lama sehingga bahan yang dijadikan uang harus tahan lama (durability).
Perkembangan Uang Kertas
Manusia di awal kehidupannya melakukan jual-beli melalui barter, kemudian tidak lagi menggunakannya karena mengandung banyak kesulitan. Mereka pun memilih sebagian barang sebagai alat pembayaran untuk tukar-menukar terkait dengan barang yang mereka perlukan, seperti bahan makanan pokok dan kulit. Kemudian mereka meninggalkan cara ini karena cara ini membutuhkan pemindahan dan dipanggul. Lalu manusia mencari sesuatu yang lebih ringan daripada barang. Hasilnya, mereka menemukan emas dan perak. Mereka pun menggunakan keduanya sebagai alat tukar barang-barang. Berkembang emas dan perak dicetak sehingga ia menjadi potongan-potongan yang sama dari sisi bentuk dan beratnya dan ditandai dengan sesuatu yang menetapkan keasliannya.
Kemudian masyarakat – apalagi para pedagang – mulai menitipkan uang emas dan perak mereka kepada para bandar uang dan pembuatnya karena takut dari pencurian. Sebagai bukti penitipan mereka menerima surat bukti penitipan. Manakala kepercayaan masyarakat kepada para bandar uang semakin meningkat, surat bukti penitipan berubah menjadi alat pembayaran atas transaksi jual-beli suatu barang. Inilah awal-mula penggunaan uang kertas, sekalipun saat itu belum memiliki bentuk resmi dan belum ada kekuasaan yang memaksa masyarakat untuk menerimannya.
Manakala peredaran surat bukti penitipan semakin meluas, kertas-kertas tersebut berubah menjadi bentuk yang resmi yang dikenal dengan nama banknote yang menggantikan peran emas secara sempurna. Bank sendiri berpegang dengan tidak menerbitkan kertas-kertas tersebut kecuali berdasarkan emas yang dimilikinya, sebagaimana negara-negara mulai menjadikannya sebagai harga secara undang-undang dan memaksa masyarakat untuk menerimanya pada 1254 H (1833 M).
Kemudian, ketika negara-negara tersebut memerlukan uang, mereka pun mencetaknya dalam jumlah besar yang mengungguli emas yang dimiliknya. Ini pun laku keras di kalangan manusia, karena mereka percaya sumber yang mengeluarkannya bisa merubahnya kepada emas. Tetapi kenyataannya, kertas-kertas tersebut semakin meningkat sehingga mengungguli emas yang dimiliki negara secara berlipat-lipat. Pemerintah mulai menerapkan syarat-syarat yang sangat ketat terhadap siapa yang hendak merubah kertas-kertas tersebut kepada emas.
Pada 1325 H, bertepatan dengan 1931 M, pemerintah Inggris melarang kertas-kertas tersebut dirubah menjadi emas secara mutlak dan memaksa masyarakat menerima kertas-kertas tersebut sebagai ganti emas. Langkah ini diikuti pemerintah Amerika Serikat pada 1355 H (1934 M). Sekalipun demikian, negara-negara tersebut tetap memegang perinsip pensetaraan mata uangnya kepada emas saat ia bertransaksi dengan negara lain. Iinilah yang dikenal dengan Qaidah at-Ta’amul bidz Dzahab (Kaidah Muamalat dengan Emas). Kaidah ini terus dipraktikkan sampai 1392 H (1971 M), ketika Amerika Serikat terpaksa menghentikan hal itu karena minimnya emas dalam negeri. Dengan ini matilah bentuk terakhir dari bentuk-bentuk dukungan emas kepada mata uang kertas. (Lihat Ahkam al-Auraq an-Nuqud wal Umlat karya al-Qadhi al-Utsmani, salah satu makalah majalah Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami No. 3 juz 3 1685, Mudzakkirat fi an-Nuqud wal Bunuk hal. 18, al-Waraq an-Naqdi, Haqiqatuhu, Tarikhuhu, Qimatuhu, Hukmuhu hal. 23)
Uang Kertas menurut Ulama Fikih
Dari perkembangan perubahan fase uang kertas, lahirlah khilaf di kalangan para fuqaha zaman ini terkait hakikatnya dari sudut pandang fikih menjadi lima pendapat.
Pendapat pertama, uang kertas adalah bukti utang yang ditanggung oleh penerbitnya. Utang ini diwujudkan dalam bentuk nominal yang ditulis di secarik kertas tersebut. Inilah pendapat Ahmad al-Husaini, Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dan lainnya. (Lihat Bahjah al-Musytaq fi Bayan Zakati Amwalil Auraq hal. 22 dan Adhwa`ul Bayan 1/225)
Pendapat kedua, uang kertas adalah barang perniagaan yang memiliki hukum-hukum barang perniagaan. Uang kertas tidak memiliki kriteria sebagai alat pembayaran, tetapi sama dengan barang perniagaan lainnya. Inilah pendapat Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dan Syaikh Hasan Ayyub. (Lihat Al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 315, Al-Auraq an-Naqdiyah fil Iqtishad al-Islami, Qimatuha wa Ahakmuha hal. 173, Al-Waraq an-Naqdi hal. 55)
Pendapat ketiga, uang kertas sama dengan fulus dalam statusnya sebagai alat pembayaran. Fulus (الفلوس) adalah jamak dari  فلس. Yaitu barang tambang selain emas dan perak yang dicetak dalam bentuk koin (keping) sebagai alat pembayaran yang digunakan dalam alat transaksi menurut kesepakatan dan kebiasaan masyarakat. (Lihat al-Misbah al-Munir hal. 481, Mu’jam al-Mushthalahat al-Iqtishadiyah fi Lughatil Fuqaha` hal. 270). Ini pendapat Syaikh Ahmad al-Khathib, Syaikh Ahmad az-Zarqa, Syaikh Abdullah al-Bassam, Dr Mahmud al-Khalidi, Qadhi Muhammad Taqi al-Utsmani dan lainnya. (simak: Al-Waraq an-Naqdi karya Ibnu Mani’ hal. 65, Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah hal. 174, Zakah an-Nuqud al-Waraqiyah al-Muashirah hal. 90 dalam majalah al-Buhuts al-Islamiyyah No. 3/3/1697, 1941, 1955)
Pendapat keempat, uang kertas adalah pengganti emas dan perak dan mengambil fungsi keduanya. Ini adalah pendapat Syaikh Abdurrazzaq Afifi. (Al-Auraq an-Naqdiyyah fil Iqtishad al-Islami hal. 204)
Pendapat kelima, uang kertas adalah alat pembayaran independen yang berdiri sendiri, berlaku padanya semua hukum alat tukar yang berlaku pada emas dan perak. Setiap mata uang dianggap sebagai satu jenis yang independen. Ini adalah pendapat mayoritas ulama sekaligus merupakan fatwa Hai`ah Kibar Ulama di Kerajaan Saudi Arabia, Al-Majma’ al-Fiqhi di Makkah, yang berafiliasi kepada Kongres Muktamar Islam (OKI). (simak majalah al-Buhuts al-Islamiyyah no. 31 hal. 376, keputusan No. 10, majalah Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami No. 3 juz 3, keputusan keenam Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami di Makkah hal. 1893 dan keputusan No. 9 Mujamma’ al-Fiqh al-Islami dalam daurah-nya yang ketiga di Oman hal. 1965 dan lihat juga hal. 1935, 1939 dan 1955)
Dalil pendapat kelima: uang kertas telah mengambil peranan sebagai uang (alat pembayaran), karena ia telah menjadi standar nilai harga dan penyebab pelunasan pembayaran serta simpanan kekayaan yang mungkin ditabung saat diperlukan. Juga tingkat kepercayaan masyarakat kepadanya sangat kuat dalam bertransaksi dengannya karena adanya undang-undang dan perlindungan negara. Kriteria alat pembayaran bukan monopoli emas dan perak. Tetapi bisa dimiliki oleh selain emas dan perak yang dijadikan oleh masyarakat sebagai uang yang memegang peranan dan fungsi uang, termasuk dalam hal ini adalah kertas-kertas tersebut. (Al-Waraq an-Naqdi hal. 113)
Pendapat kelima-lah yang rajih (kuat), karena keakuratan dalilnya, ditambah bebasnya dari celah untuk disanggah dan konsekuensi-konsekuensi (yang melemahkannya). Inilah keputusan Al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami di Makkah. Teks keputusan tersebut adalah:
Pertama, berpijak kepada hukum asal alat pembayaran adalah emas dan perak dan berpijak kepada illat (sebab hukum) berlakunya hukum riba pada keduanya adalah tsamaniyah (standar alat pembayaran) menurut pendapat yang paling shahih di kalangan fuqaha syariat. Dengan dasar Kriteria tsamaniyah ini menurut para fuqaha tidak hanya terbatas pada emas dan perak sekalipun tambang emas dan perak ini merupakan asal. Ditambah mata uang kertas telah menjadi sebuah alat pembayaran yang memiliki harga dan berperan layaknya emas dan perak dalam penggunaannya. Uang kertas telah menjadi standar ukuran nilai barang-barang di zaman ini, karena penggunaan emas dan perak telah mundur dari peredaran dan jiwa masyarakat merasa tenang dengan menyimpannya dan menganggapnya sebagai uang. Penunaian pembayaran yang sah terwujud dengannya dalam skala umum. Sekalipun harganya bukan pada dzat-nya, akan tetapi karena faktor luar, yaitu terwujudnya kepercayaan masyarakat terhadapnya sebagai sarana pembayaran dan pertukaran. Inilah titik pertimbangan kuat bagi sisi tsamaniyah padanya.
Karena kesimpulan tentang illat berlakunya hukum riba pada emas dan perak adalah tsamaniyah dan illat ini juga terwujud pada uang kertas. Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas seluruhnya, Majlis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami menetapkan bahwa mata uang kertas merupakan alat pembayaran yang berdiri sendiri dan mengambil hukum emas dan perak, sehingga zakat wajib padanya dan berlaku riba dengan kedua macamnya pada uang kertas ini, baik riba nasiah maupun riba fadhl. Sebagaimana hal itu berlaku pada emas dan perak secara sempurna dengan mempertimbangkan kriteria tsamaniyah pada mata uang kertas, sehingga ia diqiyaskan kepada emas dan perak.  Dengan demikian mata uang kertas mengambil hukum-hukum uang dalam segala keterkaitan yang ditetapkan syariat.
Kedua, uang kertas dianggap sebagai alat bayar independen sebagaimana berlaku nya fungsi ini pada emas, perak dan benda-benda berharga lainnya. Demikian juga uang kertas diklasifikasikan sebagai jenis-jenis yang berbeda-beda dan beraneka-ragam sesuai dengan pihak penerbitnya di negara-negara yang berbeda-beda pula. Artinya uang kertas Saudi Arabia adalah satu jenis dan uang kertas Amerika adalah satu jenis. Begitulah setiap uang kertas adalah satu jenis independen secara dzat-nya. Dengan demikian hukum riba dengan kedua macamnya, riba fadhl dan riba nasiah, berlaku padanya, sebagaimana kedua riba ini berlaku pada emas dan perak serta barang berharga lainnya.
Konsekuensinya adalah:
  1. Tidak boleh menjual mata uang sebagian dengan sebagian yang lain atau dengan mata uang yang berbeda dari jenis-jenis alat pembayaran lainnya berupa emas atau perak atau selain keduanya secara nasiah (tunda) secara mutlak, tidak boleh misalnya menjual 10 riyal Saudi dengan mata uang lain dengan selisih harga secara tunda tanpa serah terima secara kontan.
  2. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenisnya sendiri, ketika salah satunya lebih banyak dari yang lain, baik hal itu dilakukan secara kontan maupun tunda. Tidak boleh, contoh, menjual 10 riyal Saudi kertas dengan 11 riyal Saudi kertas secara kontan maupun tunda.
  3. Boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis lain yang berbeda bila hal itu dilakukan secara kontan. Diperbolehkan menjual Lira Suriah atau Lebanon dengan riyal Saudi, baik berupa uang kertas atau perak dalam jumlah yang sama atau lebih murah atau lebih tinggi. Juga diperbolehkan menjual dolar Amerika dengan 3 riyal Saudi atau lebih rendah dari itu atau lebih tinggi bila hal itu terjadi secara kontan.  Seperti ini juga pembolehan menjual riyal Saudi perak dengan 3 riyal Saudi kertas atau kurang atau lebih tinggi dari itu, bila hal itu dilakukan secara kontan.  Karena dalam kasus ini dianggap menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang lain, sekedar kesamaan nama tidak berpengaruh karena hakikat keduanya tidak sama.
Ketiga, kewajiban zakat pada uang kertas bila nilainya sudah mencapai nishob terendah dari nishob emas atau perak atau nishob-nya terwujud dengan menggabungkannya dengan harta berharga lainnya dan harga barang yang disiapkan untuk diperdagangkan.
Keempat, boleh menjadikan mata uang kertas sebagai modal dalam jual-beli salam dan serikat kerja sama.
Wallahu a’lam dan taufik hanya dari-Nya. Shalawat dan salam kepada Sayyidina Muhammad, keluarga dan para sahabatnya. (Keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami pada daurah-nya yang kelima No. 1/193)
Pendapat di atas juga merupakan pendapat Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami yang berafiliasi kepada Kongres Muktamar Islam. (Keputusan No. 21, 9/3 hal. 40, di antara keputusan dan nasihat Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami, sekaligus merupakan fatwa Ha`iah Kibar Ulama Kerajaan Saudi Arabia, sebagaimana dimuat majalah al-Buhuts al-Islamiyah 1/220)
Menerbitkan Mata Uang = Melakukan Transaksi Riba?
Dari penjelasan tersebut, menerbitkan mata uang kertas tidak berarti melakukan transaksi ribawi. Uang kertas sama dengan emas dan perak menjadi komoditi ribawi. Bila menerbitkan mata uang kertas sama dengan melakukan transaksi riba, konsekuensinya, menerbitkan uang emas dan perak juga melakukan transaksi ribawi. Tentunya tidak ada seorangpun yang berani nekat menyatakan pendapat demikian.
Oleh karena itu marilah kita telaah kembali syariat Islam dan tidak gegabah dalam menghukum sesuatu adalah ribawi atau tidak, karena permasalahan tidaklah mudah dan remeh. Ingatlah dengan peringatan imam Ibnu Katsir: “Bab (pembahasan) riba termasuk pembahasan yang paling rumit bagi banyak ulama.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/327) (PM)
Kholid Syamhudi, Lc.
(Rubrik Kontroversi Edisi 28/Juni 2012)
- See more at: http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/#sthash.hcR69bs8.dpuf

Berikut penjelasan mengenai uang kertas menurut bahasa, definisi Ilmu Ekonomi dan menurut ulama fikih. Bahwa uang kertas alat pembayaran independen, berlaku padanya semua hukum alat tukar yang berlaku pada emas dan perak adalah pendapat mayoritas sekaligus fatwa ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
 Tidak dipungkiri, penyebaran dan penggunaan uang kertas sudah merata dalam semua muamalat jual-beli sekarang ini. Sebagian kaum Muslimin memandang uang kertas sebagai penyebab kemunduran ekonomi umat sehingga harus kembali ke mata uang emas (Dinar) dan perak (Dirham). Bahkan ada yang mengharamkan mata uang kertas. Bagaimana sebenarnya masalah uang kertas dalam pandangan Islam dan apa hakekat mata uang dalam Islam, bagaimana bisa membuat orang menggunakan uang kertas dalam kehiduapan mereka. Semoga penjelasan ini memberi wacana dan pencerahan.
Hakekat Mata Uang
Sudah dimaklumi, sumber hukum Islam berbahasa Arab dan para ulama Islam seluruhnya selalu menyertakan pengertian sebuah istilah kepada istilah yang berlaku dalam syariat yang umumnya berbahasa Arab. Demikian juga mata uang yang memang sudah ada dan berlaku di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan setelahnya. Oleh karena itu perlu sekali melihat istilah mata uang menurut bahasa Arab dan terminologi ulama syariat.
Mata uang dalam bahasa Arabnya adalah النقد (an-naqd). Kata an-naqd dalam bahasa Arab memiliki beberapa pengertian. Di antaranya, petunjuk atas menonjolnya sesuatu dan penonjolannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Faris. Juga bermakna pembuktian, seperti dalam pernyataan orang Arab: نقد الدراهم , yang berarti membuktikan keadaan Dirham dan membuang bagian yang palsu di dalamnya. Kata النقد juga bermakna memberi atau menerima secara tunai, lawan dari kata النسيئة (tunda). Anda berkata, نقدت الدراهم , yang artinya, “Aku membayarnya dengan Dirham secara kontan.” (Lihat Mu’jam Maqayis al-Lughah kata  ن ق د. )
Adapun secara istilah, kata النقد , menurut pakar fikih, digunakan untuk menyebut emas, perak atau benda lainnya yang dipakai oleh masyarakat dalam muamalat mereka. (Lihat al-Qamus al-Muhith kata ن ق د hal. 412). Adapun menurut ahli ekonomi zaman ini, didefinisikanc dengan, “Segala sesuatu yang diterima secara luas sebagai perantara barter di antara masyarakat. Hal ini berarti an-naqd merupakan tolok ukur bagi harga, alat pembayaran dan bisa disimpan dan ini adalah fungsi dari uang.
Mata Uang didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar dapat berupa benda apa pun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam Ilmu Ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lain, serta untuk pembayaran hutang. Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
Keberadaan uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter yang lebih kompleks, tidak efisien, dan kurang cocok digunakan dalam sistem ekonomi modern, karena membutuhkan orang yang memiliki keinginan yang sama untuk melakukan pertukaran dan juga kesulitan dalam penentuan nilai. Efisiensi yang didapatkan dengan menggunakan uang pada akhirnya mendorong perdagangan dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan meningkatkan produktivitas dan kemakmuran.
Tidak Semua Benda Bisa Menjadi uang?
Dengan demikian dapat disimpulkan suatu benda dapat dijadikan sebagai “mata uang” jika benda tersebut bisa diterima secara umum (acceptability) sebagai alat tukar dan harus ada jaminan keberadaannya oleh pemerintah yang berkuasa atau badan yang diakui dunia serta menjadi tolok ukur harga barang dan dapat disimpan lama sehingga bahan yang dijadikan uang harus tahan lama (durability).
Perkembangan Uang Kertas
Manusia di awal kehidupannya melakukan jual-beli melalui barter, kemudian tidak lagi menggunakannya karena mengandung banyak kesulitan. Mereka pun memilih sebagian barang sebagai alat pembayaran untuk tukar-menukar terkait dengan barang yang mereka perlukan, seperti bahan makanan pokok dan kulit. Kemudian mereka meninggalkan cara ini karena cara ini membutuhkan pemindahan dan dipanggul. Lalu manusia mencari sesuatu yang lebih ringan daripada barang. Hasilnya, mereka menemukan emas dan perak. Mereka pun menggunakan keduanya sebagai alat tukar barang-barang. Berkembang emas dan perak dicetak sehingga ia menjadi potongan-potongan yang sama dari sisi bentuk dan beratnya dan ditandai dengan sesuatu yang menetapkan keasliannya.
Kemudian masyarakat – apalagi para pedagang – mulai menitipkan uang emas dan perak mereka kepada para bandar uang dan pembuatnya karena takut dari pencurian. Sebagai bukti penitipan mereka menerima surat bukti penitipan. Manakala kepercayaan masyarakat kepada para bandar uang semakin meningkat, surat bukti penitipan berubah menjadi alat pembayaran atas transaksi jual-beli suatu barang. Inilah awal-mula penggunaan uang kertas, sekalipun saat itu belum memiliki bentuk resmi dan belum ada kekuasaan yang memaksa masyarakat untuk menerimannya.
Manakala peredaran surat bukti penitipan semakin meluas, kertas-kertas tersebut berubah menjadi bentuk yang resmi yang dikenal dengan nama banknote yang menggantikan peran emas secara sempurna. Bank sendiri berpegang dengan tidak menerbitkan kertas-kertas tersebut kecuali berdasarkan emas yang dimilikinya, sebagaimana negara-negara mulai menjadikannya sebagai harga secara undang-undang dan memaksa masyarakat untuk menerimanya pada 1254 H (1833 M).
Kemudian, ketika negara-negara tersebut memerlukan uang, mereka pun mencetaknya dalam jumlah besar yang mengungguli emas yang dimiliknya. Ini pun laku keras di kalangan manusia, karena mereka percaya sumber yang mengeluarkannya bisa merubahnya kepada emas. Tetapi kenyataannya, kertas-kertas tersebut semakin meningkat sehingga mengungguli emas yang dimiliki negara secara berlipat-lipat. Pemerintah mulai menerapkan syarat-syarat yang sangat ketat terhadap siapa yang hendak merubah kertas-kertas tersebut kepada emas.
Pada 1325 H, bertepatan dengan 1931 M, pemerintah Inggris melarang kertas-kertas tersebut dirubah menjadi emas secara mutlak dan memaksa masyarakat menerima kertas-kertas tersebut sebagai ganti emas. Langkah ini diikuti pemerintah Amerika Serikat pada 1355 H (1934 M). Sekalipun demikian, negara-negara tersebut tetap memegang perinsip pensetaraan mata uangnya kepada emas saat ia bertransaksi dengan negara lain. Iinilah yang dikenal dengan Qaidah at-Ta’amul bidz Dzahab (Kaidah Muamalat dengan Emas). Kaidah ini terus dipraktikkan sampai 1392 H (1971 M), ketika Amerika Serikat terpaksa menghentikan hal itu karena minimnya emas dalam negeri. Dengan ini matilah bentuk terakhir dari bentuk-bentuk dukungan emas kepada mata uang kertas. (Lihat Ahkam al-Auraq an-Nuqud wal Umlat karya al-Qadhi al-Utsmani, salah satu makalah majalah Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami No. 3 juz 3 1685, Mudzakkirat fi an-Nuqud wal Bunuk hal. 18, al-Waraq an-Naqdi, Haqiqatuhu, Tarikhuhu, Qimatuhu, Hukmuhu hal. 23)
Uang Kertas menurut Ulama Fikih
Dari perkembangan perubahan fase uang kertas, lahirlah khilaf di kalangan para fuqaha zaman ini terkait hakikatnya dari sudut pandang fikih menjadi lima pendapat.
Pendapat pertama, uang kertas adalah bukti utang yang ditanggung oleh penerbitnya. Utang ini diwujudkan dalam bentuk nominal yang ditulis di secarik kertas tersebut. Inilah pendapat Ahmad al-Husaini, Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dan lainnya. (Lihat Bahjah al-Musytaq fi Bayan Zakati Amwalil Auraq hal. 22 dan Adhwa`ul Bayan 1/225)
Pendapat kedua, uang kertas adalah barang perniagaan yang memiliki hukum-hukum barang perniagaan. Uang kertas tidak memiliki kriteria sebagai alat pembayaran, tetapi sama dengan barang perniagaan lainnya. Inilah pendapat Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dan Syaikh Hasan Ayyub. (Lihat Al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 315, Al-Auraq an-Naqdiyah fil Iqtishad al-Islami, Qimatuha wa Ahakmuha hal. 173, Al-Waraq an-Naqdi hal. 55)
Pendapat ketiga, uang kertas sama dengan fulus dalam statusnya sebagai alat pembayaran. Fulus (الفلوس) adalah jamak dari  فلس. Yaitu barang tambang selain emas dan perak yang dicetak dalam bentuk koin (keping) sebagai alat pembayaran yang digunakan dalam alat transaksi menurut kesepakatan dan kebiasaan masyarakat. (Lihat al-Misbah al-Munir hal. 481, Mu’jam al-Mushthalahat al-Iqtishadiyah fi Lughatil Fuqaha` hal. 270). Ini pendapat Syaikh Ahmad al-Khathib, Syaikh Ahmad az-Zarqa, Syaikh Abdullah al-Bassam, Dr Mahmud al-Khalidi, Qadhi Muhammad Taqi al-Utsmani dan lainnya. (simak: Al-Waraq an-Naqdi karya Ibnu Mani’ hal. 65, Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah hal. 174, Zakah an-Nuqud al-Waraqiyah al-Muashirah hal. 90 dalam majalah al-Buhuts al-Islamiyyah No. 3/3/1697, 1941, 1955)
Pendapat keempat, uang kertas adalah pengganti emas dan perak dan mengambil fungsi keduanya. Ini adalah pendapat Syaikh Abdurrazzaq Afifi. (Al-Auraq an-Naqdiyyah fil Iqtishad al-Islami hal. 204)
Pendapat kelima, uang kertas adalah alat pembayaran independen yang berdiri sendiri, berlaku padanya semua hukum alat tukar yang berlaku pada emas dan perak. Setiap mata uang dianggap sebagai satu jenis yang independen. Ini adalah pendapat mayoritas ulama sekaligus merupakan fatwa Hai`ah Kibar Ulama di Kerajaan Saudi Arabia, Al-Majma’ al-Fiqhi di Makkah, yang berafiliasi kepada Kongres Muktamar Islam (OKI). (simak majalah al-Buhuts al-Islamiyyah no. 31 hal. 376, keputusan No. 10, majalah Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami No. 3 juz 3, keputusan keenam Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami di Makkah hal. 1893 dan keputusan No. 9 Mujamma’ al-Fiqh al-Islami dalam daurah-nya yang ketiga di Oman hal. 1965 dan lihat juga hal. 1935, 1939 dan 1955)
Dalil pendapat kelima: uang kertas telah mengambil peranan sebagai uang (alat pembayaran), karena ia telah menjadi standar nilai harga dan penyebab pelunasan pembayaran serta simpanan kekayaan yang mungkin ditabung saat diperlukan. Juga tingkat kepercayaan masyarakat kepadanya sangat kuat dalam bertransaksi dengannya karena adanya undang-undang dan perlindungan negara. Kriteria alat pembayaran bukan monopoli emas dan perak. Tetapi bisa dimiliki oleh selain emas dan perak yang dijadikan oleh masyarakat sebagai uang yang memegang peranan dan fungsi uang, termasuk dalam hal ini adalah kertas-kertas tersebut. (Al-Waraq an-Naqdi hal. 113)
Pendapat kelima-lah yang rajih (kuat), karena keakuratan dalilnya, ditambah bebasnya dari celah untuk disanggah dan konsekuensi-konsekuensi (yang melemahkannya). Inilah keputusan Al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami di Makkah. Teks keputusan tersebut adalah:
Pertama, berpijak kepada hukum asal alat pembayaran adalah emas dan perak dan berpijak kepada illat (sebab hukum) berlakunya hukum riba pada keduanya adalah tsamaniyah (standar alat pembayaran) menurut pendapat yang paling shahih di kalangan fuqaha syariat. Dengan dasar Kriteria tsamaniyah ini menurut para fuqaha tidak hanya terbatas pada emas dan perak sekalipun tambang emas dan perak ini merupakan asal. Ditambah mata uang kertas telah menjadi sebuah alat pembayaran yang memiliki harga dan berperan layaknya emas dan perak dalam penggunaannya. Uang kertas telah menjadi standar ukuran nilai barang-barang di zaman ini, karena penggunaan emas dan perak telah mundur dari peredaran dan jiwa masyarakat merasa tenang dengan menyimpannya dan menganggapnya sebagai uang. Penunaian pembayaran yang sah terwujud dengannya dalam skala umum. Sekalipun harganya bukan pada dzat-nya, akan tetapi karena faktor luar, yaitu terwujudnya kepercayaan masyarakat terhadapnya sebagai sarana pembayaran dan pertukaran. Inilah titik pertimbangan kuat bagi sisi tsamaniyah padanya.
Karena kesimpulan tentang illat berlakunya hukum riba pada emas dan perak adalah tsamaniyah dan illat ini juga terwujud pada uang kertas. Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas seluruhnya, Majlis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami menetapkan bahwa mata uang kertas merupakan alat pembayaran yang berdiri sendiri dan mengambil hukum emas dan perak, sehingga zakat wajib padanya dan berlaku riba dengan kedua macamnya pada uang kertas ini, baik riba nasiah maupun riba fadhl. Sebagaimana hal itu berlaku pada emas dan perak secara sempurna dengan mempertimbangkan kriteria tsamaniyah pada mata uang kertas, sehingga ia diqiyaskan kepada emas dan perak.  Dengan demikian mata uang kertas mengambil hukum-hukum uang dalam segala keterkaitan yang ditetapkan syariat.
Kedua, uang kertas dianggap sebagai alat bayar independen sebagaimana berlaku nya fungsi ini pada emas, perak dan benda-benda berharga lainnya. Demikian juga uang kertas diklasifikasikan sebagai jenis-jenis yang berbeda-beda dan beraneka-ragam sesuai dengan pihak penerbitnya di negara-negara yang berbeda-beda pula. Artinya uang kertas Saudi Arabia adalah satu jenis dan uang kertas Amerika adalah satu jenis. Begitulah setiap uang kertas adalah satu jenis independen secara dzat-nya. Dengan demikian hukum riba dengan kedua macamnya, riba fadhl dan riba nasiah, berlaku padanya, sebagaimana kedua riba ini berlaku pada emas dan perak serta barang berharga lainnya.
Konsekuensinya adalah:
  1. Tidak boleh menjual mata uang sebagian dengan sebagian yang lain atau dengan mata uang yang berbeda dari jenis-jenis alat pembayaran lainnya berupa emas atau perak atau selain keduanya secara nasiah (tunda) secara mutlak, tidak boleh misalnya menjual 10 riyal Saudi dengan mata uang lain dengan selisih harga secara tunda tanpa serah terima secara kontan.
  2. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenisnya sendiri, ketika salah satunya lebih banyak dari yang lain, baik hal itu dilakukan secara kontan maupun tunda. Tidak boleh, contoh, menjual 10 riyal Saudi kertas dengan 11 riyal Saudi kertas secara kontan maupun tunda.
  3. Boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis lain yang berbeda bila hal itu dilakukan secara kontan. Diperbolehkan menjual Lira Suriah atau Lebanon dengan riyal Saudi, baik berupa uang kertas atau perak dalam jumlah yang sama atau lebih murah atau lebih tinggi. Juga diperbolehkan menjual dolar Amerika dengan 3 riyal Saudi atau lebih rendah dari itu atau lebih tinggi bila hal itu terjadi secara kontan.  Seperti ini juga pembolehan menjual riyal Saudi perak dengan 3 riyal Saudi kertas atau kurang atau lebih tinggi dari itu, bila hal itu dilakukan secara kontan.  Karena dalam kasus ini dianggap menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang lain, sekedar kesamaan nama tidak berpengaruh karena hakikat keduanya tidak sama.
Ketiga, kewajiban zakat pada uang kertas bila nilainya sudah mencapai nishob terendah dari nishob emas atau perak atau nishob-nya terwujud dengan menggabungkannya dengan harta berharga lainnya dan harga barang yang disiapkan untuk diperdagangkan.
Keempat, boleh menjadikan mata uang kertas sebagai modal dalam jual-beli salam dan serikat kerja sama.
Wallahu a’lam dan taufik hanya dari-Nya. Shalawat dan salam kepada Sayyidina Muhammad, keluarga dan para sahabatnya. (Keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami pada daurah-nya yang kelima No. 1/193)
Pendapat di atas juga merupakan pendapat Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami yang berafiliasi kepada Kongres Muktamar Islam. (Keputusan No. 21, 9/3 hal. 40, di antara keputusan dan nasihat Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami, sekaligus merupakan fatwa Ha`iah Kibar Ulama Kerajaan Saudi Arabia, sebagaimana dimuat majalah al-Buhuts al-Islamiyah 1/220)
Menerbitkan Mata Uang = Melakukan Transaksi Riba?
Dari penjelasan tersebut, menerbitkan mata uang kertas tidak berarti melakukan transaksi ribawi. Uang kertas sama dengan emas dan perak menjadi komoditi ribawi. Bila menerbitkan mata uang kertas sama dengan melakukan transaksi riba, konsekuensinya, menerbitkan uang emas dan perak juga melakukan transaksi ribawi. Tentunya tidak ada seorangpun yang berani nekat menyatakan pendapat demikian.
Oleh karena itu marilah kita telaah kembali syariat Islam dan tidak gegabah dalam menghukum sesuatu adalah ribawi atau tidak, karena permasalahan tidaklah mudah dan remeh. Ingatlah dengan peringatan imam Ibnu Katsir: “Bab (pembahasan) riba termasuk pembahasan yang paling rumit bagi banyak ulama.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/327) (PM)
Kholid Syamhudi, Lc.
(Rubrik Kontroversi Edisi 28/Juni 2012)
- See more at: http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/#sthash.hcR69bs8.dpuf
 Berikut penjelasan mengenai uang kertas menurut bahasa, definisi Ilmu Ekonomi dan menurut ulama fikih. Bahwa uang kertas alat pembayaran independen, berlaku padanya semua hukum alat tukar yang berlaku pada emas dan perak adalah pendapat mayoritas sekaligus fatwa ulama di Kerajaan Saudi Arabia.

 Tidak dipungkiri, penyebaran dan penggunaan uang kertas sudah merata dalam semua muamalat jual-beli sekarang ini. Sebagian kaum Muslimin memandang uang kertas sebagai penyebab kemunduran ekonomi umat sehingga harus kembali ke mata uang emas (Dinar) dan perak (Dirham). Bahkan ada yang mengharamkan mata uang kertas. Bagaimana sebenarnya masalah uang kertas dalam pandangan Islam dan apa hakekat mata uang dalam Islam, bagaimana bisa membuat orang menggunakan uang kertas dalam kehiduapan mereka. Semoga penjelasan ini memberi wacana dan pencerahan.

Hakekat Mata Uang

Sudah dimaklumi, sumber hukum Islam berbahasa Arab dan para ulama Islam seluruhnya selalu menyertakan pengertian sebuah istilah kepada istilah yang berlaku dalam syariat yang umumnya berbahasa Arab. Demikian juga mata uang yang memang sudah ada dan berlaku di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan setelahnya. Oleh karena itu perlu sekali melihat istilah mata uang menurut bahasa Arab dan terminologi ulama syariat.

Mata uang dalam bahasa Arabnya adalah ????? (an-naqd). Kata an-naqd dalam bahasa Arab memiliki beberapa pengertian. Di antaranya, petunjuk atas menonjolnya sesuatu dan penonjolannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Faris. Juga bermakna pembuktian, seperti dalam pernyataan orang Arab: ??? ??????? , yang berarti membuktikan keadaan Dirham dan membuang bagian yang palsu di dalamnya. Kata ????? juga bermakna memberi atau menerima secara tunai, lawan dari kata ??????? (tunda). Anda berkata, ???? ??????? , yang artinya, “Aku membayarnya dengan Dirham secara kontan.” (Lihat Mu’jam Maqayis al-Lughah kata  ? ? ?. )

Adapun secara istilah, kata ????? , menurut pakar fikih, digunakan untuk menyebut emas, perak atau benda lainnya yang dipakai oleh masyarakat dalam muamalat mereka. (Lihat al-Qamus al-Muhith kata ? ? ? hal. 412). Adapun menurut ahli ekonomi zaman ini, didefinisikanc dengan, “Segala sesuatu yang diterima secara luas sebagai perantara barter di antara masyarakat. Hal ini berarti an-naqd merupakan tolok ukur bagi harga, alat pembayaran dan bisa disimpan dan ini adalah fungsi dari uang.

Mata Uang didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar dapat berupa benda apa pun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam Ilmu Ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lain, serta untuk pembayaran hutang. Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.

Keberadaan uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter yang lebih kompleks, tidak efisien, dan kurang cocok digunakan dalam sistem ekonomi modern, karena membutuhkan orang yang memiliki keinginan yang sama untuk melakukan pertukaran dan juga kesulitan dalam penentuan nilai. Efisiensi yang didapatkan dengan menggunakan uang pada akhirnya mendorong perdagangan dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan meningkatkan produktivitas dan kemakmuran.

Tidak Semua Benda Bisa Menjadi uang?

Dengan demikian dapat disimpulkan suatu benda dapat dijadikan sebagai “mata uang” jika benda tersebut bisa diterima secara umum (acceptability) sebagai alat tukar dan harus ada jaminan keberadaannya oleh pemerintah yang berkuasa atau badan yang diakui dunia serta menjadi tolok ukur harga barang dan dapat disimpan lama sehingga bahan yang dijadikan uang harus tahan lama (durability).

Perkembangan Uang Kertas

Manusia di awal kehidupannya melakukan jual-beli melalui barter, kemudian tidak lagi menggunakannya karena mengandung banyak kesulitan. Mereka pun memilih sebagian barang sebagai alat pembayaran untuk tukar-menukar terkait dengan barang yang mereka perlukan, seperti bahan makanan pokok dan kulit. Kemudian mereka meninggalkan cara ini karena cara ini membutuhkan pemindahan dan dipanggul. Lalu manusia mencari sesuatu yang lebih ringan daripada barang. Hasilnya, mereka menemukan emas dan perak. Mereka pun menggunakan keduanya sebagai alat tukar barang-barang. Berkembang emas dan perak dicetak sehingga ia menjadi potongan-potongan yang sama dari sisi bentuk dan beratnya dan ditandai dengan sesuatu yang menetapkan keasliannya.

Kemudian masyarakat – apalagi para pedagang – mulai menitipkan uang emas dan perak mereka kepada para bandar uang dan pembuatnya karena takut dari pencurian. Sebagai bukti penitipan mereka menerima surat bukti penitipan. Manakala kepercayaan masyarakat kepada para bandar uang semakin meningkat, surat bukti penitipan berubah menjadi alat pembayaran atas transaksi jual-beli suatu barang. Inilah awal-mula penggunaan uang kertas, sekalipun saat itu belum memiliki bentuk resmi dan belum ada kekuasaan yang memaksa masyarakat untuk menerimannya.

Manakala peredaran surat bukti penitipan semakin meluas, kertas-kertas tersebut berubah menjadi bentuk yang resmi yang dikenal dengan nama banknote yang menggantikan peran emas secara sempurna. Bank sendiri berpegang dengan tidak menerbitkan kertas-kertas tersebut kecuali berdasarkan emas yang dimilikinya, sebagaimana negara-negara mulai menjadikannya sebagai harga secara undang-undang dan memaksa masyarakat untuk menerimanya pada 1254 H (1833 M).

Kemudian, ketika negara-negara tersebut memerlukan uang, mereka pun mencetaknya dalam jumlah besar yang mengungguli emas yang dimiliknya. Ini pun laku keras di kalangan manusia, karena mereka percaya sumber yang mengeluarkannya bisa merubahnya kepada emas. Tetapi kenyataannya, kertas-kertas tersebut semakin meningkat sehingga mengungguli emas yang dimiliki negara secara berlipat-lipat. Pemerintah mulai menerapkan syarat-syarat yang sangat ketat terhadap siapa yang hendak merubah kertas-kertas tersebut kepada emas.

Pada 1325 H, bertepatan dengan 1931 M, pemerintah Inggris melarang kertas-kertas tersebut dirubah menjadi emas secara mutlak dan memaksa masyarakat menerima kertas-kertas tersebut sebagai ganti emas. Langkah ini diikuti pemerintah Amerika Serikat pada 1355 H (1934 M). Sekalipun demikian, negara-negara tersebut tetap memegang perinsip pensetaraan mata uangnya kepada emas saat ia bertransaksi dengan negara lain. Iinilah yang dikenal dengan Qaidah at-Ta’amul bidz Dzahab (Kaidah Muamalat dengan Emas). Kaidah ini terus dipraktikkan sampai 1392 H (1971 M), ketika Amerika Serikat terpaksa menghentikan hal itu karena minimnya emas dalam negeri. Dengan ini matilah bentuk terakhir dari bentuk-bentuk dukungan emas kepada mata uang kertas. (Lihat Ahkam al-Auraq an-Nuqud wal Umlat karya al-Qadhi al-Utsmani, salah satu makalah majalah Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami No. 3 juz 3 1685, Mudzakkirat fi an-Nuqud wal Bunuk hal. 18, al-Waraq an-Naqdi, Haqiqatuhu, Tarikhuhu, Qimatuhu, Hukmuhu hal. 23)

Uang Kertas menurut Ulama Fikih

Dari perkembangan perubahan fase uang kertas, lahirlah khilaf di kalangan para fuqaha zaman ini terkait hakikatnya dari sudut pandang fikih menjadi lima pendapat.

Pendapat pertama, uang kertas adalah bukti utang yang ditanggung oleh penerbitnya. Utang ini diwujudkan dalam bentuk nominal yang ditulis di secarik kertas tersebut. Inilah pendapat Ahmad al-Husaini, Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dan lainnya. (Lihat Bahjah al-Musytaq fi Bayan Zakati Amwalil Auraq hal. 22 dan Adhwa`ul Bayan 1/225)

Pendapat kedua, uang kertas adalah barang perniagaan yang memiliki hukum-hukum barang perniagaan. Uang kertas tidak memiliki kriteria sebagai alat pembayaran, tetapi sama dengan barang perniagaan lainnya. Inilah pendapat Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dan Syaikh Hasan Ayyub. (Lihat Al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 315, Al-Auraq an-Naqdiyah fil Iqtishad al-Islami, Qimatuha wa Ahakmuha hal. 173, Al-Waraq an-Naqdi hal. 55)

Pendapat ketiga, uang kertas sama dengan fulus dalam statusnya sebagai alat pembayaran. Fulus (??????) adalah jamak dari  ???. Yaitu barang tambang selain emas dan perak yang dicetak dalam bentuk koin (keping) sebagai alat pembayaran yang digunakan dalam alat transaksi menurut kesepakatan dan kebiasaan masyarakat. (Lihat al-Misbah al-Munir hal. 481, Mu’jam al-Mushthalahat al-Iqtishadiyah fi Lughatil Fuqaha` hal. 270). Ini pendapat Syaikh Ahmad al-Khathib, Syaikh Ahmad az-Zarqa, Syaikh Abdullah al-Bassam, Dr Mahmud al-Khalidi, Qadhi Muhammad Taqi al-Utsmani dan lainnya. (simak: Al-Waraq an-Naqdi karya Ibnu Mani’ hal. 65, Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah hal. 174, Zakah an-Nuqud al-Waraqiyah al-Muashirah hal. 90 dalam majalah al-Buhuts al-Islamiyyah No. 3/3/1697, 1941, 1955)

Pendapat keempat, uang kertas adalah pengganti emas dan perak dan mengambil fungsi keduanya. Ini adalah pendapat Syaikh Abdurrazzaq Afifi. (Al-Auraq an-Naqdiyyah fil Iqtishad al-Islami hal. 204)

Pendapat kelima, uang kertas adalah alat pembayaran independen yang berdiri sendiri, berlaku padanya semua hukum alat tukar yang berlaku pada emas dan perak. Setiap mata uang dianggap sebagai satu jenis yang independen. Ini adalah pendapat mayoritas ulama sekaligus merupakan fatwa Hai`ah Kibar Ulama di Kerajaan Saudi Arabia, Al-Majma’ al-Fiqhi di Makkah, yang berafiliasi kepada Kongres Muktamar Islam (OKI). (simak majalah al-Buhuts al-Islamiyyah no. 31 hal. 376, keputusan No. 10, majalah Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami No. 3 juz 3, keputusan keenam Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami di Makkah hal. 1893 dan keputusan No. 9 Mujamma’ al-Fiqh al-Islami dalam daurah-nya yang ketiga di Oman hal. 1965 dan lihat juga hal. 1935, 1939 dan 1955)

Dalil pendapat kelima: uang kertas telah mengambil peranan sebagai uang (alat pembayaran), karena ia telah menjadi standar nilai harga dan penyebab pelunasan pembayaran serta simpanan kekayaan yang mungkin ditabung saat diperlukan. Juga tingkat kepercayaan masyarakat kepadanya sangat kuat dalam bertransaksi dengannya karena adanya undang-undang dan perlindungan negara. Kriteria alat pembayaran bukan monopoli emas dan perak. Tetapi bisa dimiliki oleh selain emas dan perak yang dijadikan oleh masyarakat sebagai uang yang memegang peranan dan fungsi uang, termasuk dalam hal ini adalah kertas-kertas tersebut. (Al-Waraq an-Naqdi hal. 113)

Pendapat kelima-lah yang rajih (kuat), karena keakuratan dalilnya, ditambah bebasnya dari celah untuk disanggah dan konsekuensi-konsekuensi (yang melemahkannya). Inilah keputusan Al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami di Makkah. Teks keputusan tersebut adalah:

Pertama, berpijak kepada hukum asal alat pembayaran adalah emas dan perak dan berpijak kepada illat (sebab hukum) berlakunya hukum riba pada keduanya adalah tsamaniyah (standar alat pembayaran) menurut pendapat yang paling shahih di kalangan fuqaha syariat. Dengan dasar Kriteria tsamaniyah ini menurut para fuqaha tidak hanya terbatas pada emas dan perak sekalipun tambang emas dan perak ini merupakan asal. Ditambah mata uang kertas telah menjadi sebuah alat pembayaran yang memiliki harga dan berperan layaknya emas dan perak dalam penggunaannya. Uang kertas telah menjadi standar ukuran nilai barang-barang di zaman ini, karena penggunaan emas dan perak telah mundur dari peredaran dan jiwa masyarakat merasa tenang dengan menyimpannya dan menganggapnya sebagai uang. Penunaian pembayaran yang sah terwujud dengannya dalam skala umum. Sekalipun harganya bukan pada dzat-nya, akan tetapi karena faktor luar, yaitu terwujudnya kepercayaan masyarakat terhadapnya sebagai sarana pembayaran dan pertukaran. Inilah titik pertimbangan kuat bagi sisi tsamaniyah padanya.

Karena kesimpulan tentang illat berlakunya hukum riba pada emas dan perak adalah tsamaniyah dan illat ini juga terwujud pada uang kertas. Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas seluruhnya, Majlis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami menetapkan bahwa mata uang kertas merupakan alat pembayaran yang berdiri sendiri dan mengambil hukum emas dan perak, sehingga zakat wajib padanya dan berlaku riba dengan kedua macamnya pada uang kertas ini, baik riba nasiah maupun riba fadhl. Sebagaimana hal itu berlaku pada emas dan perak secara sempurna dengan mempertimbangkan kriteria tsamaniyah pada mata uang kertas, sehingga ia diqiyaskan kepada emas dan perak.  Dengan demikian mata uang kertas mengambil hukum-hukum uang dalam segala keterkaitan yang ditetapkan syariat.

Kedua, uang kertas dianggap sebagai alat bayar independen sebagaimana berlaku nya fungsi ini pada emas, perak dan benda-benda berharga lainnya. Demikian juga uang kertas diklasifikasikan sebagai jenis-jenis yang berbeda-beda dan beraneka-ragam sesuai dengan pihak penerbitnya di negara-negara yang berbeda-beda pula. Artinya uang kertas Saudi Arabia adalah satu jenis dan uang kertas Amerika adalah satu jenis. Begitulah setiap uang kertas adalah satu jenis independen secara dzat-nya. Dengan demikian hukum riba dengan kedua macamnya, riba fadhl dan riba nasiah, berlaku padanya, sebagaimana kedua riba ini berlaku pada emas dan perak serta barang berharga lainnya.

Konsekuensinya adalah:

    Tidak boleh menjual mata uang sebagian dengan sebagian yang lain atau dengan mata uang yang berbeda dari jenis-jenis alat pembayaran lainnya berupa emas atau perak atau selain keduanya secara nasiah (tunda) secara mutlak, tidak boleh misalnya menjual 10 riyal Saudi dengan mata uang lain dengan selisih harga secara tunda tanpa serah terima secara kontan.
    Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenisnya sendiri, ketika salah satunya lebih banyak dari yang lain, baik hal itu dilakukan secara kontan maupun tunda. Tidak boleh, contoh, menjual 10 riyal Saudi kertas dengan 11 riyal Saudi kertas secara kontan maupun tunda.
    Boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis lain yang berbeda bila hal itu dilakukan secara kontan. Diperbolehkan menjual Lira Suriah atau Lebanon dengan riyal Saudi, baik berupa uang kertas atau perak dalam jumlah yang sama atau lebih murah atau lebih tinggi. Juga diperbolehkan menjual dolar Amerika dengan 3 riyal Saudi atau lebih rendah dari itu atau lebih tinggi bila hal itu terjadi secara kontan.  Seperti ini juga pembolehan menjual riyal Saudi perak dengan 3 riyal Saudi kertas atau kurang atau lebih tinggi dari itu, bila hal itu dilakukan secara kontan.  Karena dalam kasus ini dianggap menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang lain, sekedar kesamaan nama tidak berpengaruh karena hakikat keduanya tidak sama.

Ketiga, kewajiban zakat pada uang kertas bila nilainya sudah mencapai nishob terendah dari nishob emas atau perak atau nishob-nya terwujud dengan menggabungkannya dengan harta berharga lainnya dan harga barang yang disiapkan untuk diperdagangkan.

Keempat, boleh menjadikan mata uang kertas sebagai modal dalam jual-beli salam dan serikat kerja sama.

Wallahu a’lam dan taufik hanya dari-Nya. Shalawat dan salam kepada Sayyidina Muhammad, keluarga dan para sahabatnya. (Keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami pada daurah-nya yang kelima No. 1/193)

Pendapat di atas juga merupakan pendapat Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami yang berafiliasi kepada Kongres Muktamar Islam. (Keputusan No. 21, 9/3 hal. 40, di antara keputusan dan nasihat Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami, sekaligus merupakan fatwa Ha`iah Kibar Ulama Kerajaan Saudi Arabia, sebagaimana dimuat majalah al-Buhuts al-Islamiyah 1/220)

Menerbitkan Mata Uang = Melakukan Transaksi Riba?

Dari penjelasan tersebut, menerbitkan mata uang kertas tidak berarti melakukan transaksi ribawi. Uang kertas sama dengan emas dan perak menjadi komoditi ribawi. Bila menerbitkan mata uang kertas sama dengan melakukan transaksi riba, konsekuensinya, menerbitkan uang emas dan perak juga melakukan transaksi ribawi. Tentunya tidak ada seorangpun yang berani nekat menyatakan pendapat demikian.

Oleh karena itu marilah kita telaah kembali syariat Islam dan tidak gegabah dalam menghukum sesuatu adalah ribawi atau tidak, karena permasalahan tidaklah mudah dan remeh. Ingatlah dengan peringatan imam Ibnu Katsir: “Bab (pembahasan) riba termasuk pembahasan yang paling rumit bagi banyak ulama.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/327) (PM)

Kholid Syamhudi, Lc.

(Rubrik Kontroversi Edisi 28/Juni 2012)
- See more at: http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/#sthash.hcR69bs8.dpuf
at tukar yang berlaku pada emas dan perak adalah pendapat mayoritas sekaligus fatwa ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
 Tidak dipungkiri, penyebaran dan penggunaan uang kertas sudah merata dalam semua muamalat jual-beli sekarang ini. Sebagian kaum Muslimin memandang uang kertas sebagai penyebab kemunduran ekonomi umat sehingga harus kembali ke mata uang emas (Dinar) dan perak (Dirham). Bahkan ada yang mengharamkan mata uang kertas. Bagaimana sebenarnya masalah uang kertas dalam pandangan Islam dan apa hakekat mata uang dalam Islam, bagaimana bisa membuat orang menggunakan uang kertas dalam kehiduapan mereka. Semoga penjelasan ini memberi wacana dan pencerahan.
Hakekat Mata Uang
- See more at: http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/#sthash.hcR69bs8.dpuf
at tukar yang berlaku pada emas dan perak adalah pendapat mayoritas sekaligus fatwa ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
 Tidak dipungkiri, penyebaran dan penggunaan uang kertas sudah merata dalam semua muamalat jual-beli sekarang ini. Sebagian kaum Muslimin memandang uang kertas sebagai penyebab kemunduran ekonomi umat sehingga harus kembali ke mata uang emas (Dinar) dan perak (Dirham). Bahkan ada yang mengharamkan mata uang kertas. Bagaimana sebenarnya masalah uang kertas dalam pandangan Islam dan apa hakekat mata uang dalam Islam, bagaimana bisa membuat orang menggunakan uang kertas dalam kehiduapan mereka. Semoga penjelasan ini memberi wacana dan pencerahan.
Hakekat Mata Uang
- See more at: http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/#sthash.hcR69bs8.dpuf
at tukar yang berlaku pada emas dan perak adalah pendapat mayoritas sekaligus fatwa ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
 Tidak dipungkiri, penyebaran dan penggunaan uang kertas sudah merata dalam semua muamalat jual-beli sekarang ini. Sebagian kaum Muslimin memandang uang kertas sebagai penyebab kemunduran ekonomi umat sehingga harus kembali ke mata uang emas (Dinar) dan perak (Dirham). Bahkan ada yang mengharamkan mata uang kertas. Bagaimana sebenarnya masalah uang kertas dalam pandangan Islam dan apa hakekat mata uang dalam Islam, bagaimana bisa membuat orang menggunakan uang kertas dalam kehiduapan mereka. Semoga penjelasan ini memberi wacana dan pencerahan.
Hakekat Mata Uang
- See more at: http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/#sthash.hcR69bs8.dpuf