Minggu, 17 November 2013

Bahaya Buku Andrea Hirata

Monday, February 11, 2013    37 comments
http://www.timur-angin.com/2013/02/bahaya-buku-andrea-hirata.html


SEORANG telah mengirimkan pesan yang berisi perkenalan serta permintaan agar saya membimbingnya hingga lulus program beasiswa. Ia mengirimkan surat panjang,dimilai dengan kata “Yang Bertandatangan di Bawah Ini”. Kemudian paragraf berikutnya adalah data diri. Lalu, informasi kalau orangtuanya telah meninggal, skill yang terbatas, serta keinginan untuk keluar dari belenggu kemiskinan.


Ini bukan kali pertama saya menerima surat demikian. Puluhan email bernada demikian pernah saya terima gara-gara beberapa tulisan di blog ini. Pernah, saya menerima surat dari pemuda Aceh yang berkata bahwa dirinya siap jadi apapun, bahkan pembantu sekalipun, asalkan bisa dibawa ke luar negeri. Ada juga email dari seseorang di Surabaya yang mengaku bahasa Inggrisnya sangat pas-pasan serta dirinya tak punya pengalaman. Ia lalu bertanya, “Apa bisa saya diluluskan program beasiswa?”

Terhadap banyak email itu, saya hanya bisa mengelus dada. Dipikirnya saya adalah tim penyeleksi beasiswa. Padahal saya cuma seorang warga biasa di Pulau Buton yang sedikit beruntung karena bisa sekolah di luar negeri. Di luar itu, saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seseorang yang masih suka makan indomie karena uang pas-pasan, masih harus jalan kaki di tengah salju karena uang pas-pasan untuk membeli kartu bis. Mengapa banyak orang yang melakukan segala cara untuk ke luar negeri?

Jangan-jangan, ini adalah pengaruh buku-buku yang ditulis Andrea Hirata atau A. Fuadi. Banyak yang mengira bahwa lulus beasiswa ke luar negeri adalah jalan pintas untuk hidup yang lebih baik. Banyak yang menganggap bahwa di luar negeri semua orang akan hidup kaya, makmur, serta berkecukupan. Padahal tidak demikian. Kenyataannya sama saja dengan negeri sendiri. Anda harus kerja keras, tahan banting, serta punya mental kuat. Tanpa itu, anda tak akan mendapatkan apa-apa.

Salah satu buku Andrea yang amat sangat populer adalah Laskar Pelangi. Buku ini disebut sebagai salah satu buku best seller. Tau apa ending buku itu? Tokoh utamanya tiba-tiba mendapat beasiswa ke Sorbonne, Perancis, lalu kembali ke kampungnya. Beasiswa itu membuatnya ‘naik kelas’ lalu merasa diri ‘lebih berhasil’ ketimbang sahabatnya Lintang yang hanya jadi pemetik kelapa.

Senada dengan Laskar Pelangi, ada pula buku Negeri Lima Menara karangan Fuadi, yang pernah mendapatkan delapan beasiswa ke luar negeri. Lagi-lagi, keberhasilan diukur dari belajar di lua negeri. Bagi saya, buku-buku itu makin menegaskan rasa inferior kita sebagai bangsa sebab menganggap pendidikan di luar lebih berkualitas, serta perasaan jumawa karena bisa belajar di negeri orang.

Bahaya membaca buku Andrea Hirata adalah ketika orang-orang kemudian beranggapan bahwa belajar di luar negeri adalah segala-galanya. Seolah-olah, ketika pulang dari luar negeri, maka akan menjalani hidup ala sinetron, kaya-raya, berkecukupan, lalu punya mobil dan rumah mewah. Apakah demikian? No. semuanya nonsense tanpa kualitas dan pejuangan.


Salah kaprah itu mesti diluruskan. Proses mengasah kualitas itu bisa dilakukan di mana-mana. Tak harus berangkat ke luar negeri. Seorang alumni kampus luar negeri bisa menjadi sampah masyarakat ketika dirinya tak punya skill atau keahlian. Masyarakat kita tak butuh teori. Masyarakat butuh bukti tentang apa yang sudah dilakukan atau apa yang bisa dilakukan. Mustahil jadi orang hebat kalau hanya bermodal pengakuan jumawa bahwa anda pernah belajar di luar negeri.

Bagi saya, aspek terpenting dari semuanya adalah mengasah diri. Sekolah ke luar negeri hanyalah satu jalan untuk mengasah diri. Masih ada banyak jalan lain. Bahkan jika anda tak sekolah pun, sepanjang anda mengasah diri, pasti akan hebat. Lihat saja Pramoedya Ananta Toer. Ia bukan anak sekolahan. Ia tak pernah belajar di perguruan tinggi. Tapi ia punya semangat untuk mengasah diri dan mengembangkan kapasitasnya. Maka jadilah ia sebagai pengarang tersohor yang karya sastranya menjadi rujukan banyak sejarawan hebat di luar negeri.

Pramoedya adalah contoh dari semangat yang kuat, serta keinginan yang sekuat baja. Meski tak belajar di perguruan tinggi yang hebat-hebat, ia mengasah dirinya untuk menjadi sastrawan hebat. Bahkan, ia juga ikhlas menjalani tahanan oleh sbeuah rezim militer yang menganggapnya sebagai musuh yang bisa merusak rakyat. Di tengah pengapnya sel penjara, ia menulis dengan hanya mengandalkan ingatan. Ia tak membaca pustaka, sebagaimana para sarjana zaman kini. Ia hanya bermodalkan semangat serta daya ingat yang kuat.

Susahnya tak banyak anak muda yang mau mengikuti jejak Pramoedya. Generasi hari ini adalah pembaca Laskar Pelangi, karangan Andrea Hirata yang kemudian diracuni oleh novel itu. Maka berbondong-bondonglah mereka untuk mengejar beasiswa dan setelah itu mengubah nasib. Mereka bersaing demi berangkat ke luar negeri, setelah itu hidup kaya-raya dan terhormat. Anak muda tak tertarik kembali ke desa. Mereka sibuk mengejar sekolah ke kota, setelah itu keluar negeri demi mejadi orang hebat dan kaya.

Pertanyaannya, apakah masih ada anak-anak muda idealis yang ingin kembali ke desa dan melakukan hal-hal bermanfaat bagi masyarakatnya? Ataukah anak-anak muda itu ingin kembali ke desa sebagai alumni kampus luar negeri sebagaimana kisah dalam novel Andrea Hirata yang kemudian tertunduk sedih saat melihat temannya yang hebat hanya menjadi tukang pemanjat kelapa?


Athens, 11 Februari 2013

Catatan:

Untuk mengetahui bahaya buku Andrea Hirata, bacalah buku karya sahabat saya, Nurhadi Sirimorok, yang judulnya adalah Laskar Pemimpi: Andera Hirata. Pembacanya dan Modernisasi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar