Oleh: Doni Koesoema A.
http://www.bincangedukasi.com/kerusakan-multidimensional-kebijakan-un.html
Kebijakan Ujian Nasional (UN) yang telah dimulai satu dasawarsa lalu
ternyata telah terbukti tidak dapat meningkatkan kualitas pendidikan
nasional. Dampak-dampak merusak selama 10 tahun penyelenggaraan
kebijakan Ujian Nasional telah menjadi bukti bahwa UN tidak efektif,
melenceng dari tujuan semula, dan tidak membawa manfaat bagi kemajuan
bangsa ini. Karena itu, Ujian Nasional harus dihentikan.
Artikel ini mengulas 13 dampak kerusakan multidimensional akibat
kebijakan UN yang menghancurkan sendi-sendi pendidikan nasional, bukan
hanya sampai level kebijakan di unit sekolah, melainkan juga sampai pada
kehancuran moral, psikologis, pedagogis, finansial, para pemangku
kepentingan pendidikan, terutama siswa, guru, orang tua, dan masyarakat
pada umumnya. 13 dimensi kerusakan akibat kebijakan UN adalah sebagai
berikut.
1. Dimensi Pendidikan Berkeadilan.
Ujian Nasional telah mengabaikan hak warga negara untuk menerima
pendidikan yang berkeadilan, bahkan melanggengkan praktik ketidakadilan
ini secara terstruktur dan sistematis. Dengan demikian, kebijakan UN
juga inkonstitusional karena melanggar sila kelima Pancasila. Laporan
terbaru dari pemerintah menyebutkan bahwa dari segi sarana dan prasarana
masih ada 80% sekolah berada di bawah standard pendidikan nasional.
Masih ada perbedaan kualitas guru antara di kota besar, dan di
pedalaman. Ini mengakibatkan perbedaan kualitas pengalaman belajar.
Siswa yang memiliki pengalaman belajar, sarana, prasarana, budaya dan
kualitas guru yang berbeda namun mereka dipaksa melakukan sebuah ujian
dengan standard yang sama melalui UN, merupakan sebuah perlakuan tidak
adil. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak, dan
negara harus menyediakannya. Hak-hak asasi warga negara untuk memperoleh
keadilan dalam pendidikan inilah inilah yang dirampas dan dirusak
melalui Ujian Nasional.
2. Dimensi Penghayatan Moral (systemic demoralization)
Kebijakan UN yang bersifat high-stakes (memiliki konsekuensi
fundamental bagi hidup siswa, menilai kelulusan) di tengah ketidakadilan
dan desifit standard nasional pendidikan, telah memaksa guru, kepala
sekolah, dan pejabat pendidikan melanggar norma-norma moral. Prinsip
moral yang mengutamakan penghargaan terhadap individu sebagai pribadi
yang unik, berharga, tidak boleh diobjektivasi, dimanipulasi, diperalat,
dan tidak boleh dirusak, telah dilanggar melalui kebijakan UN. Siswa,
guru, dan sekolah menjadi objek bagi kebijakan politik pendidikan.
Penghargaan terhadap kemartabatan manusia hilang. Dalam situasi panik
ketidakadilan, kebijakan UN telah memaksa para pendidik untuk melanggar
norma-norma moral (pencurian soal-soal UN, membocorkan soal, pencontekan
terstruktur dan sistematis). UN telah membuat sekolah sebagai komunitas
yang menumbuhkan kehidupan bermoral tidak terjadi, malah sebaliknya,
tekanan yang berat melahirkan demoralisasi sistemik dalam dunia
pendidikan. Sekolah tidak menjadi tempat pembentukan karakter yang
menumbuhkan dan memperkuat kualitas individu.
3. Dimensi penghargaan terhadap individu.
UN sebagai ujian standar yang dilakukan sebagai sebuah pemaksaan (mandatory),
melanggar kebebasan individu siswa. UN tidak menyisakan ruang bagi
pilihan-pilihan bebas dalam rangka memperoleh hak-hak mereka atas
pendidikan yang layak dan pantas bagi kemanusiaan. Dalam sebuah ujian
yang memiliki dampak penting dan fundamental bagi kehidupan siswa di
masa depan, pemaksaan ujian merupakan pelanggaran atas hak-hak individu.
Individu perlu dimintakan persetujuannya sebelum sebuah intervensi
pendidikan berisiko tinggi diterapkan padanya. Dirampasnya kebebasan
individu melalui pemaksaan UN berdampak pada tidak dihargainya harkat
dan martabat individu yang bebas, dan berhak memperoleh perlakuan yang
pantas dan manusiawi terhadap kebijakan apapun yang memengaruhi
kehidupannya secara mendasar.
4. Dimensi Pembelajaran (learning).
Ujian Nasional yang menentukan kelulusan siswa mengeringkan dimensi
pembelajaran yang semestinya otentik, menggairahkan, menumbuhkan,
melahirkan kreativitas dan inovasi. Dengan adanya kebijakan UN,
pembelajaran hanya bersifat mekanis, model soal pilihan ganda UN
mereduksi pembelajaran sekedar pada kemampuan berpikir tingkat rendah
(hafalan). Semangat belajar juga menurun karena pengalaman dari tahun
demi tahun terbukti bahwa kelulusan setiap sekolah hampir mendekati 98%,
sehingga siswa enggan belajar, toh pasti luus. Ini terjadi karena
budaya katrol nilai (di tingkat pusat dan lokal sekolah). Sistem
penilaian UN yang 40 % ditentukan sekolah membuat sekolah memanfaatkan
ruang 40% sebagai satu-satunya cara untuk mendongkrak nilai siswa. Dalam
nilai ujian akhir sekolah, siswa sudah tahu nilainya pasti baik. Ini
membuat suasana belajar otentik yang mestinya hadir di sekolah tidak
terjadi. Motivasi belajar menjadi rusak.
5. Dimensi Pengajaran (teaching).
Kebijakan UN juga telah memengaruhi bagaimana cara guru mengajar.
Terjadi pengeringan proses pengajaran. Guru hanya mengajar siswa agar
berhasil mengerjakan tes melalui drill dan pembiasaan dengan soal-soal
UN. Materi yang dipelajari pun hanya materi yang akan keluar di UN,
sementara materi lain yang tidak ada dalam kisi-kisi, meskipun penting,
dilewati. Siswa hanya diajar bagaimana strategi menyelesaikan soal
secara cepat, tanpa perlu mengetahui prosesnya. Kegiatan pengajaran yang
mestinya inspiratif dan ekploratif digantikan dengan kegiatan menghafal
melalui try out dan drill latihan soal berulang-ulang. Pengajaran
tereduksi menjadi pengajaran yang berkualitas rendah, kering, dan
memandulkan kreativitas. Guru menjadi seperti robot. Ia tidak bisa
berkreasi, karena tuntutan publik untuk meluluskan semua siswa dalam UN.
Dimensi pengajaran menjadi kering kerontang yang berdampak pada
hilangnya gairah, semangat dan motivasi guru sebagai agen pembelajar.
6. Dimensi Pengembangan Kultur Sekolah (school culture).
Kultur pendidikan yang menumbuhkan, menghargai kerjasama, merawat
satu sama lain dalam rangka pelayanan pendidikan menjadi hilang.
Kebijakan katrol nilai atau menggelembungkan nilai sekolah menjadi
kebiasaan untuk mengantisipasi nilai UN siswa sehingga siswa tetap bisa
lulus. Ini belum ditambah dengan strategi pencontekan terstruktur oleh
tim sukses UN sekolah. Guru yang telah mendampingi siswa dengan penuh
jerih payah seringkali terpaksa mengingkari nuraninya karena dipaksa
kepala sekolah untuk mengubah nilai-nilai siswa tertentu. Terjadi
ketidakadilan, pemaksaan, dan penekanan terhadap guru dari otoritas
sekolah demi UN. Kebijakan UN juga memaksa sekolah memberikan prioritas
pembelajaran pada pelajaran tertentu. Akibatnya, siswa meremehkan
pelajaran yang non-UN. Guru yang mata pelajarannya tidak di-UN kan
seringkali merasa diabaikan siswa karena dianggap tidak penting.
Guru-guru Non-UN mengalami demotivasi, semantara kebijakan UN memecah
belah kolegialitas guru. Kultur sekolah sebagai komunitas moral yang
menumbuhkan menjadi rusak melalui kebijakan politik pendidikan belah
bambu ala UN. UN telah membuat kultur moral sekolah rusak.
7. Dimensi Hegemoni Kekuasaan (state apparatus empowerment).
Ujian Nasional telah membuka kesempatan bagi penyalahgunaan
kewenangan penguasa dan pejabat pemerintahan. Ada banyak bukti yang
menunjukkan bahwa kebijakan UN memaksa para kepala dinas untuk memaksa
kepala sekolah melakukan tindakan-tindakan curang agar hasil UN di
daerahnya naik. Kepala Dinas yang mestinya berkomitmen pada pengembangan
dan pengawasan pendidikan di lingkungannya menjadi rusak moralnya.
Kalangan akademisi yang masuk dalam pusara lingkungan kekuasaan menjadi
mandul nuraninya, turun derajatnya sekedar menjadi corong pembenaran
perilaku penguasa yang tidak bermoral, hilang integritas moralnya
sebagai akademisi ketika membiarkan dan melegitimasi sebuah kebijakan
yang secara moral maupun profesional tidak dapat dibenarkan. Usaha
pemerintah untuk memberdayakan aparatur negara sebagai insan yang
melayani rakyat menjadi sia-sia, malahan rusak.
8. Dimensi Pemberdayaan Masyarakat
Ujian Nasional telah mengadu dua kekuatan masyarakat, guru-guru,
guru-masyarakat, masyarakat-masyarakat dalam rangka pengembangan
pendidikan nasional. Terjadi kecemburuan sosial antara guru yang
mengajar matapelajaran yang di-UN-kan dengan yang tidak. Guru
dibenturkan dengan peran serta masyarakat melalui kehadiran lembaga
bimbingan belajar yang menerobos masuk ke sekolah menggantikan peran
guru. Jika kehadiran lembaga bimbingan belajar di sekolah bersifat
lelahanan, alias gratis, tentu tidak masalah. Namun, untuk layanan
pendidikan yang sudah menjadi hak siswa ini, siswa dan orangtua masih
dikenakan biaya. Sekolah menjadi ladang perebutan bisnis untuk mengisi
kantong orang-orang tertentu yang memiliki kewenangan pengelolaan
pendidikan. Orangtua harus mengeluarkan biaya tinggi demi persiapan UN.
Selain itu, UN telah memecahbelah kesatuan orangtua. Kasus Ibu Siami
yang disingkirkan oleh sekolah dan didukung oleh orangtua siswa lain
yang dirugikan karena laporan kecurangan yang diadukan Alif, anaknya,
menunjukkan bahwa UN telah melumpuhkan soliditas antar warga, bahkan
mendemoralisasi orangtua secara sistematis. Masyarakat menjadi sakit
moral! Mereka tidak lagi dapat membedakan mana yang baik mana yang
buruk. UN telah memecahbelah kekuatan masyarakat dalam mencerdaskan
bangsa.
9. Dimensi Finansial Masyarakat.
Hajatan Ujian Nasional telah memaksa orang tua mengeluarkan biaya
tambahan untuk persiapan UN, mulai dari uang untuk membeli materi
pelajaran persiapan UN, try out, membayar lembaga bimbingan belajar,
kalau perlu membayar untuk membeli bocoran soal. Secara anggaran,
masyarakat dirugikan dengan besarnya biaya UN, yang dihambur-hamburkan
demi sebuah kebijakan pendidikan yang tidak terbukti meningkatkan
kualitas pendidikan nasional.
10. Kriminalisasi pendidik
Ujian Nasional telah mengkriminalisasi pendidik, dan menganggap
mereka sebagai teroris ketika densus 88, polisi, juga diterjunkan untuk
mengawasi keseluruhan proses UN sampai tingkat unit sekolah. Sekolah
menjadi lingkungan yang tidak ramah bagi para pendidik dan siswa.
Pendidik selalu dicurigai dan diawasi kegiatannya menjelang UN. Ada guru
dan kepala sekolah yang ditangkap karena mencuri bocoran soal,
membocorkan soal, dll. Kriminalisasi pendidik merupakan salah satu
dampak nyata adanya kebijakan UN.
11. Dimensi Pencitraan Pendidikan
Selama 10 tahun, kualitas pendidikan di Indonesia selalu jeblok dalam
rangka evaluasi pendidikan di level internasional. Ini akan semakin
mencoreng muka bangsa Indonesia, karena kualitas pendidikan yang buruk
ini terekspose secara global dari tahun ke tahun, dan tidak ada usaha
dari pemerintah untuk memperbaiki buruknya kualitas pendidikan kita di
level internasional dan global. Ujian Nasional telah merusak citra
pendidikan di Indonesia dalam setiap ujian di tingkat internasional.
12. Dimensi Evaluasi dan Pengukuran
Validitas kualitas soal-soal dalam UN tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Ini terjadi karena tidak ada akuntabilitas atas
kualitas soal-soal yang akan diujikan dalam UN. Pelaksanaan yang
amburadul, kebocoran terjadi di mana-mana, membuat hasil UN tidak dapat
dipakai untuk menilai apa yang sesungguhnya akan dinilai. Model konstruk
item soal berupa pilihan ganda menurunkan kualitas proses pembelajaran
yang dinilai, karena hanya dapat memotret kemampuan berpikir tingkat
rendah. Pelaksana UN (BNSP) merupakan lembaga yang tidak independen,
sehingga melahirkan konflik kepentingan dan menghancurkan kredibilitas
UN sendiri. Dia yang buat sendiri, menilai sendiri, dan melaporkan pada
dirinya sendiri. Hasil UN secara nasional adalah sebuah kesepakatan
politik! (Ingat, tahun 2004 terjadi katrol nasional). Karena itu,
hasil-hasil laporan UN yang bersifat nasional, dari Sabang sampai
Merauke yang melaporkan tingkat kelulusan di atas 98% merupakan laporan
pendidikan yang palsu, tidak kredibel, karena fakta di lapangan
menunjukkan kenyataan lain.
13. Dimensi hukum.
Ujian Nasional telah melahirkan pelanggaran hukum secara transparan
dan terang-terangan kepada masyarakat Indonesia. Supremasi hukum di
negeri ini diinjak-injak. Keputusan Mahkamah Agung tentang Ujian
Nasional, menunjukkan bahwa pemerintah ini telah merusak tatanan hukum
yang berlaku di Indonesia, dan mengajarkan pada seluruh rakyat, bahwa di
negara ini, melanggar hukum adalah sah-sah saja. Bangsa ini akan hancur
bila para pejabatnya menginjak-injak supremasi hukum dan tidak
menghargai keadilan di negeri ini.
Tigabelas dampak kerusakan multidimensi yang terjadi akibat
pelaksanaan kebijakan Ujian Nasional mengajak seluruh rakyat Indonesia
untuk melawan kebijakan Ujian Nasional, menghentikannya sesegera mungkin
sebelum bangsa ini semakin terpuruk dalam kehancuran pendidikan yang
takterpemanai. Kesimpulan saya: HENTIKAN UJIAN NASIONAL SEKARANG JUGA!
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar