http://hidayatullah.com/read/27663/13/03/2013/antara-ulama-besar,-ulama-otodidak-dan-copy-paste.html
Antara Ulama Besar, Ulama Otodidak dan Copy-Paste
KATA ulama berasal dari bahasa Arab (علماء) yang berarti orang-orang yang mengetahui, bentuk tunggalnya adalah ‘alim (عالم) orang yang mengetahui. Menurut penggunaan
asalnya, kata ini dilekatkan kepada semua orang yang ahli di bidang tertentu, misalnya ulama ath thibb (pakar kedokteran), ulama al handasah (pakar teknik/teknikus), ulama al lughah(pakar bahasa), ulama asy syariah (pakar syariat).
Seiring
dengan perkembangan zaman, maka jika disebutkan kata ‘ulama` tanpa
disandarkan kepada satu ilmu maka yang dimaksud adalah ulama di bidang
syariat.
Di
era teknologi yang sangat canggih sekarang di mana semua informasi
dapat diperoleh dengan cara yang mudah, baik audio, visual maupun online. Apa
yang terjadi
di bagian barat bumi bisa diketahui oleh penduduk bagian timur bumi
dalam hitungan detik begitu pula sebaliknya. Majalah, buku dan koran
sudah dapat ditemui versi online-nya sehingga mempermudah banyak orang
untuk meng-copy-paste-nya.
Hal yang sama juga dapat kita temui pada materi-materi keagamaan seperti
al Quran dan hadits beserta terjemahannya, kitab ulama salaf, khalaf,
kontemporer, baik yang asli berbahasa Arab maupun terjemahannya. Saking
mudahnya, banyak orang yang lebih mementingkan versi online ketimbang
membeli atau membaca versi cetak.
Hal
ini pula barangkali yang menyebabkan banyak pelaku plagiat di pelbagai
bidang untuk beragam kepentingan mulai dari menulis lepas, menyusun
karya ilmiah, menyampaikan ceramah dan lain-lain.
Sebuah fenomena
Di jakarta ada seorang dai yang mempunyai banyak murid. Di mata muridnya, dia adalah seorang ahli hadits, sehingga semua perkataannya tentang masalah hadits adalah benar. Dai ini sering berceramah di masjid-masjid ‘komunitas’-nya, mengisi program radio, tulisannya dicetak dalam buku yang berjilid-jilid, tak ketinggalan ceramahnya pun dijual di pasaran dalam bentuk VCD/DVD.
Sebuah fenomena
Di jakarta ada seorang dai yang mempunyai banyak murid. Di mata muridnya, dia adalah seorang ahli hadits, sehingga semua perkataannya tentang masalah hadits adalah benar. Dai ini sering berceramah di masjid-masjid ‘komunitas’-nya, mengisi program radio, tulisannya dicetak dalam buku yang berjilid-jilid, tak ketinggalan ceramahnya pun dijual di pasaran dalam bentuk VCD/DVD.
Layaknya
ulama besar -di mata muridnya-, pengajiannya pun ramai dikunjungi
orang. Tema yang sering disampaikannya adalah masalah hadits. Muridnya
mengganggap dia lulusan sebuah kampus Arab yang ada di Jakarta dan
mengajar di sana. Kenyataannya, dia bukan lulusan kampus itu dan bukan
staf pengajar di sana. Dia hanya sering mendatangi perpustakaan kampus
tersebut pada waktu tertentu, membaca kitab-kitab tertentu yang lalu dia
ringkas dalam bahasa Arab, setelah itu dia terjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, kemudian dia sodorkan naskahnya ke penerbit-penerbit
‘komunitas’-nya.
Sering pula ia ‘menghajar’ ulama sekaliber Dr. Yusuf Alqaradhawi,
Said Sabiq, Sayyid Quthb dan lainnya dan mengatakan bahwa semua
perkataannya adalah bathil.
Tidak
diragukan, para ulama itu mempunyai kesalahan layaknya manusia biasa,
tapi seharusnya itu tidak membutakan mata hati kita bahwa mereka adalah
ulama besar dan pendapat mereka dapat dijadikan rujukan.
Jika
kita bandingkan dia dengan ulama tersebut tentu tidak ada apa-apanya.
Dia hanya berbekal ilmu secara otodidak dan hanya diakui sebagai ulama
oleh ‘komunitas’-nya, sementara kualitas ilmu ulama tersebut sudah
diakui secara internasional.
Sifat
sombong memang tidak mengenal status seseorang, entah dia ulama, orang
awam, kaya, miskin, tua, muda, besar dan kecil. Jika seseorang telah
merasa puas terhadap ilmu yang didapatnya maka sungguh dia adalah orang
bodoh, begitu kata salah seorang ulama salafush-shalih.
Itulah salah satu contoh ulama otodidak di negeri ini.
Dalam sejarah modern tercatat beberapa ulama yang berhasil secara otodidak tapi itu
hanya bersifat kasuistik tidak umum.
Memang
betul ada hal-hal yang bisa dipahami secara otodidak namun ada banyak
hal yang harus dipahami melalui guru, dosen, pembimbing, pakar, dan
ulama. Jika dalam urusan duniawi saja kita hanya percaya kepada orang
yang ahli di bidang tertentu maka lebih utama lagi dalam urusan akhirat
(agama). Jika kita percaya bahwa masalah kesehatan harus dikonsultasikan
kepada dokter maka tentu masalah agama kita konsultasikan kepada
ahlinya yaitu para ulama bukan kepada orang yang tidak jelas latar
belakang pendidikan agamanya.
Pahami dahulu sebelum menyampaikan
Ilmu itu bukan sekadar copy-paste dari internet atau sekadar memahami kitab ulama sendiri secara otodidak lalu diajarkan kepada orang lain. Jika kita kesulitan untuk bertanya kepada ulama, ustadz, kiai, atau guru agama maka dengan kecanggihan teknologi kita bisa bertanya melalui surat elektronik (e-mail) atau mengirim pesan lewat akun jejaring sosial. Sudah banyak ulama yang memiliki akun resmi walaupun tidak langsung dia kendalikan tapi bersama orang kepercayaannya, terutama ulama timur tengah. Jika tidak memahami bahasa Arab maka kita juga bisa bertanya kepada ulama Indonesia yang dianggap mumpuni di bidangnya masing-masing. Jadi, tidak ada alasan untuk meng-copy-paste hadits beserta terjemahnya, misalnya, lalu kita pahami sendiri tanpa mengetahui secara pasti maksud dari hadits tersebut, terutama hadits yang memerlukan syarah (penjelasan) khusus, setelah itu kita sampaikan kepada orang lain.
Pahami dahulu sebelum menyampaikan
Ilmu itu bukan sekadar copy-paste dari internet atau sekadar memahami kitab ulama sendiri secara otodidak lalu diajarkan kepada orang lain. Jika kita kesulitan untuk bertanya kepada ulama, ustadz, kiai, atau guru agama maka dengan kecanggihan teknologi kita bisa bertanya melalui surat elektronik (e-mail) atau mengirim pesan lewat akun jejaring sosial. Sudah banyak ulama yang memiliki akun resmi walaupun tidak langsung dia kendalikan tapi bersama orang kepercayaannya, terutama ulama timur tengah. Jika tidak memahami bahasa Arab maka kita juga bisa bertanya kepada ulama Indonesia yang dianggap mumpuni di bidangnya masing-masing. Jadi, tidak ada alasan untuk meng-copy-paste hadits beserta terjemahnya, misalnya, lalu kita pahami sendiri tanpa mengetahui secara pasti maksud dari hadits tersebut, terutama hadits yang memerlukan syarah (penjelasan) khusus, setelah itu kita sampaikan kepada orang lain.
Jika ada yang mengatakan, bukankah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda: “Sampaikanlah (apa) yang berasal dariku walaupun satu ayat.” (HR.
Al-Bukhari, Ahmad, dan At-Tirmidzi). Maka kita jawab, benar, itu adalah
sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Namun
kita harus pahami juga
bahwa Al-Qur`an dan hadits berbahasa Arab, tentu yang memahaminya
pertama kali adalah orang Arab dari kalangan shahabat dan ulama
sepeninggal mereka.
Contoh
pemahaman fatal yang pernah saya dengar dari seorang dai adalah ketika
ditanya tentang seseorang yang memasuki benteng pertahanan musuh
sendirian sehingga dia hampir mati diserang segerombolan musuh. Dai itu
menjawab, “Orang itu berdosa karena menjerumuskan dirinya ke dalam
kebinasaan.” Dia lalu menyitir firman Allah Ta’ala yang berbunyi, “Dan
infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri
sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat
baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”(QS. Al-Baqarah: 195).
Jika
orang ini pernah membaca sebuah hadits tentang sabab nuzul (sebab
turunnya) ayat tersebut tentu dia akan menjawab dengan cara yang
berbeda.
Sebuah riwayat yang diberitakan Abu Dawud dan
At-Tirmdzi yang berasal dari Aslam Abu Imran,
yang mana dia berkata, “Suatu ketika kami berangkat dari Madinah
Al-Munawwarah untuk berperang di Konstantinopel. Kami dipimpin oleh
Abdurrahman bin Khalid bin Walid, sementara orang-orang Romawi
menempelkan punggung mereka pada dinding kota. Lalu ada seorang lelaki
(dari kaum Muslimin) yang menyerang musuh. Orang-orang pun berteriak,
“Tahan, tahan. La Ilaha Illallah, dia telah menjerumuskan dirinya ke
dalam kebinasaan.” Lalu Abu Ayyub (Al-Anshari) menimpali kata-kata
mereka, “Sesungguhnya ayat yang berkaitan tentang hal ini turun
berkenaan dengan kami orang-orang Anshar. Tatkala Allah Ta’ala membela
Nabi-Nya dan memenangkan Islam kami mengatakan, “Mari kita mengurus
harta kita dan memperbaikinya.” Setelah itu Allah Ta’ala menurunkan
ayat, “Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri
sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan
berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Abu
Ayyub melanjutkan, “Menjatuhkan ke dalam kebinasaan maksudnya adalah
mengurus harta dan memperbaikinya serta meninggalkan jihad.”
Di
sinilah perbedaan antara orang yang mengetahui dan yang tidak
mengetahui dalam bidang agama. Orang yang tidak mengetahui mengandalkan
logika semata sementara orang yang mengetahui berpendapat berdasarkan
Al-Qur`an dan hadits. Sungguh Allah Ta’ala telah berfirman, “(Apakah
kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah
pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab)
akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, “Apakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima
pelajaran.”
(QS. Az-Zumar: 9)
Manfaatkan
Teknologi
Melihat
fenomena ini maka tentunya bagi yang pernah mengecap ilmu agama --baik
di pesantren, maupun universitas dalam dan luar negeri-- harus bisa
memanfaatkan fasilisas internet untuk menebarkan ilmunya kepada
masyarakat. Jangan salahkan masyarakat jika mereka lebih mengikuti ulama
otodidak dan copy-paste yang tampil menarik di televisi, radio,
dan internet bahkan aktif mengisi pengajian di masjid, mushalla, dan
tempat-tempat umum.
Akhirnya, marilah kita senantiasa merenungkan firman Allah Ta’ala, “Wahai
orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah
kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah
kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat)
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah
Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah: 11) Begitu pula dengan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang berbunyi, “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Semoga Allah Ta’ala menunjuki kita ke jalan yang lurus dan istiqamah menjalankan syariat-Nya yang mulia. Amin.
*/Yum Roni Askosendra, penulis adalah lulusan Syariah di LIPIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar