Kamis, 27 Juni 2013

Muhammad Surjatma, Melanjutkan Estafet Leluhur Muslim Tionghoa

Haji Muhammad Surjatma yang kini berusia 75 tahun pagi ini, Kamis 27 Juni 2013 berkenan mengisahkan masa kecilnya. Dulu sang Kakek bercerita pada Surjatma, bahwa kakeknya (kakeknya kakek) dulu adalah muslim dan sering mengajaknya ke masjid. Surjatma kecil bertanya pada kakeknya, "Kenapa kakek kok tidak muslim mengikuti kakeknya?"


Rupanya ini terkait sejarah perkembangan kaum Cina (Tionghoa di Indonesia). Seperti diketahui bahwa bangsa Cina mendarat di Indonesia pada abad ke 5 di pesisir pantai Jawa Timur. Mereka berdagang rempah-rempah dan akhirnya menetap di Indonesia dan berasimilasi dengan penduduk setempat. Para pedagang Cina ini juga diyakini sebagai pembawa agama Islam masuk ke Indonesia. Sehingga tak salah kalau sejarawan Karel A. Steenbrink menuliskan bahwa kaum Cina di Sepanjang Pantura Jawa Timur dan Madura 80 persennya adalah muslim. Bahkan menurut sejarah, beberapa orang dari Wali Songo adalah keturunan Cina seperti Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati. Ironisnya etnis Cina beragama Islam jumlahnya kini dapat dihitung dengan jari. Mengapa bisa demikian?

Rupanya penjajah Belanda lah biang keladinya. Kaum kafir Belanda tidak menginginkan terjadi harmoni hubungan antara pribumi dengan para pedagang Cina yang waktu itu setidaknya 70 persennya adalah muslim! Orang Belanda jelas kalah bersaing jika pribumi dan Cina bersatu sehingga tersingkir secara bisnis. Siasat keji pun dilakukan Belanda dengan mengeluarkan perintah untuk memeriksa dan melucuti para pedagang Tionghoa pada 9 Oktober 1740, namun yg terjadi sebenarnya adalah pembantaian besar-besaran di mana dalam 3 hari, 50.000-60.000 orang Tionghoa dibunuh. Belanda mengeluarkan fitnah bahwa orang-orang Tionghoa berencana membunuh para kuli pribumi dan mereka seolah-olah bertindak sebagai penyelamat bagi para pribumi. Bahkan Belanda juga menjanjikan imbalan bagi setiap kepala orang Tionghoa yg berhasil dibunuh, bahkan dengan cara memperalat tokoh agama agar mengeluarkan fatwa bagi pembantaian kaum Tionghoa tak berdosa tersebut.

Setelah peristiwa itu, Belanda membuat kampung Pecinan bagi orang Cina dan melarang mereka menikah dengan pribumi. Salah satu upaya adu domba nan licik yang melahirkan jurang pemisah begitu dalam dan lama, bahkan hingga kini. Termasuk terputusnya mata rantai Islam dari kakek buyut ke Surjatma tadi.

Nah, sewaktu sekolah di SD Pius Cilacap, meski masih anak-anak namun tak menghalangi Surjatma untuk bersikap kritis pada ajaran agama di sekolahnya; Kenapa tuhan kok bisa disalib, tuhan kok ada tiga, dan berbagai pertanyaan kritis lainnya. Sementara ayahnya yang memeluk Budha mengatakan; "Tuhan itu di atas langit dan tidak bisa disentuh." Surjatma menganggap perkataan ayahnya ini lebih masuk akal.

"Ulah" Surjatma mengharuskannya 'diungsikan' ke SD Santo Yusup Dagen Yogyakarta sebelum akhirnya kembali ke Cilacap namun masuk SD Negeri. Di SD ini, Surjatma sengaja ikut pelajaran agama Islam meski sudah dipersilakan untuk keluar bagi pemeluk agama lain. Yang menarik, sebelum pelajaran agama dimulai, semua siswa diajak membaca dua kalimat Syahadat, dan Surjatma tentu saja mengikutinya. Teman-temannya sempat mengolok-oloknya sebagai 'orang kafir' meski kemudian diingatkan Pak Guru. Pelajaran agama Islam yang dia ikuti begitu membekas, dan ia terus berdoa dengan caranya agar diberikan petunjuk jalan yang benar.

Kebenaran yang dia cita-citakan itu akhirnya dia raih juga ketika pada tahun 1983 akhirnya Surjatma memutuskan memeluk agama Islam, disusul istrinya 6 bulan kemudian. Sebagai seorang muslim, Surjatma aktif berdakwah di Cilacap dan sekitarnya dengan aktif di organisasi PITI (Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia) dan Al-Irsyad. Cukup lama HM Surjatma memimpin PITI Cilacap sebelum akhirnya menyerahkan estafet organisasi kepada drh Yongky, di mana kini Surjatma menjadi penasehat organisasi tersebut.

Surjatma tidak ragu untuk berbaur dengan ummat Islam dari suku apa saja karena prinsipnya, Allah menyatukan hati ummat Islam, bukan karena warna kulitnya.
— bersama Lukman Zainudin, Muhammad Ranah Azaly dan Angkasa Syahrudin di CV Yogya Visiprima, Jl Bantul 391 Dongkelan Yogya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar