ZAIM SAIDI:
Suatu siang di satu sudut Amsterdam, Negeri
Belanda, yang di buku sejarah diajarkan sebagai "menjajah Indonseia slm
350 th". Tentu ini ajaran sesat. Indonesia baru ada 1945. Sebelum itu,
adalah rangkaian nomokrasi Islam, kesultanan2 Nusantara merdeka, berjajar dari Sabang sampai Merauke, dari Melaka sampai Raja Ampat, Papua.
VOC, sebuah perusahaan Yahudi, diteruskan "Pemerintah Kolonial
Belanda", selama 350 th, mencoba menundukkan kesultanan2 itu. Tidak
sepenuhnya berhasil. Keberhasilan, justru dicapai, 1949, ketika telah
berdiri sebuah "Negara Kesatuan Republik Indonesia". Pasca Konferensi
Meja Bundar, eks-Bangsa Nusantara, sepenuhnya tunduk patuh kepada para
bankir - yang kini tak perlu repot lagi memiliki Gubernur Jenderal,
nerapkan Tanam Paksa, & miliki serdadu yang mahal. Penindasan
menjadi lebih murah dengan dua alat dasar: bank sentral (De Javashce
Bank yang menjadi BI) dan uang kertas, dengan nama rupiah, atau disebut
sehari-hari sebagai perak, tapi tak ada lagi rupiah-nya, tak ada lagi
"perak-nya. Kelas baru, politisi, melindungi kelas bankir, yg telah
menyingkirkan para Kestaria.
Dan, dengan dua warisan syarat
pengakuan "kedaulatan" NKRI itu, tali ari-ari pokok neokolonialisme,
utang negara atau utang publik, bangsa Nusantara yang semula merdeka
sepenuhnya terjajah, secara sempurna, "etis", dan murah. Hampir 70 th
lamanya kita dijajah tanpa merasa terjajah, oleh Bankir dan Politisi.
Jalan kebebasn dari penindasan ini, tentu saja, ada: sunnah Nabi SAW.
Kembalikan Dinar dan Dirham di bumi Nusantara. Tegakkan muamalah, sistem
riba ini akan runtuh dengan sendirinya. Para Kesatria harus tampil
kembali, gantikan para Petruk.
La ghaliba ilallah
Bersama Dr Chaider Bamualim (Dosen UIN
Jakarta) dan Dr Uswatun Khasanah (dosen UI Jakarta), di sebuah warung
kopi, di Istambul. Pada waktu itu (2004) secangkir kopi sekitar 7,5
juta lira Turki. Tentu saja ini kenyataan yang sangat memalukan, karena mata uang Turki di bawah Daulah Utsmani, ketika riba belum merajalela, adalah koin emas dan perak.
Maka, para bankir di bank sentral Turki, sebuah perusahaan swasta yang
memonopoli pencetakan lira Turki, melakukan redenominasi. Konon sukses.
Karena itu Bank Indonesia (BI) kabarnya menyewa para konsultan dari
Turki untuk persiapan redenominasi rupiah saat ini.
Tentu
redenominasi bukan solusi. Tindakan ini bukan untuk mengatasi, tapi
menyembunyikan, inflasi. Redenominasi adalah pengelabuan lebih jauh oleh
para bankir.
Untuk mengatasi inflasi adalah menghentikan sistem
uang kertas itu sendiri. Gunakan Dirham dan Dinar. Kita bisa
melakukannya, sekarang juga.
La ghaliba ilallah.
Ini adalah gerbang Pasar Legi, di kota
kelahiran saya, Parakan, yang secara tradisional dulunya buka pada hari
pasaran "legi", yakni setiap lima hari sekali. Luasnya tolal sekitar 2.8
hektar. Di luar hari pasaran, ada kios-kois, dan los semi
permanen, yang buka, kapan saja. Selebihnya lapangan terbuka, buat
siapa saja yang mau berdagang, tinggal menggelar dagangannya, di setiap
hari Legi itu. Tak ada sewa, paling retribusi tak seberapa.
Selain
pedagang selalu ada tukang sulap, pedagang keliling segala rupa, bahkan
para penjudi dadu pun akan buka lapak - secara kucing-kucingan, tentu.
Hari ini pasar ini sudah rata jadi tanah. Konon untuk pembangunan.
Dananya adalah Rp 90 milyar. Tentu, banksterlah, yang mendapatkannya.
Lalu kemana para padagang itu? Sekarang ditampung di pasar darurat.
Nanti, mereka harus menebus kios atau los mereka, kalau mau kembali ke
pasar ini. Untuk kios harga tebusnya sekitar Rp 9.4 juta/m2, ukuran
3X4, jadi totalnya Rp 113 juta. Sedang untuk los 2x2 harganya Rp 3
juta/m2, totalnya Rp 12 juta.
Sudah berbulan-bulan tanah bekas
pasar itu "terlantar". Sekarang banyak ditanami orang, ada sayur, ada
tembakau. Entah kenapa, belum juga dimulai pembangunannya. Sementara
adakah "argo" para bankster itu sudah berjalan?
Akhir kisah ini
sudah bisa diduga: kebanyakan pedagang tidak akan sanggup menebus
kios/los mereka kembali. Pemilik baru, golongan bermodal besar, akan
menguasainya. Sebagian lagi akan kosong, menjadi pasar yang tak berguna.
Oohh...bankster. Riba yang zalim. Wahai, Muslim, jangan biarkan ini
terus terjadi. Tegakkan muamalah. Gunakan dinar dan dirham,
untukmemeprsempit ruang gerak riba, sampai nanti Allah SWT hancurkan
sistem riba ini secara keseluruhan.
Anda semua, setiap Muslim, bisa melakukannya: tinggalkan riba.
La ghaliba ilallah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar