Selasa, 09 Juli 2013

Sebuah Harapan kepada Muhammadiyah dan NU dalam Menghijrahkan Indonesia dari Kegelapan Berbasis Uang Kertas Menuju Cahaya Berbasis Dinar dan Dirham

Semoga Muhammadiyah dan NU juga dapat menghisab (menghitung) dan merukyat (melihat) uang kertas (dolar, rupiah, dsb), dinar (uang emas) dan dirham (uang perak). Ini tulisan saya pada lomba penulisan artikel tingkat internasional yang diadakan oleh Pengurus Cabang Istimewa Muhammmadiyah (PCIM) Rusia.
Habis (‘Bumi’) Gelap, Terbitlah Terang (dari ‘Matahari’ dan ‘9 Bintang’):
Sebuah Harapan kepada Muhammadiyah dan NU dalam Menghijrahkan Indonesia
dari Kegelapan Berbasis Uang Kertas Menuju Cahaya Berbasis Dinar dan Dirham

Oleh: Nurman Kholis

“Perbuatan apa yang paling susah?/ Perbuatan yang menurutmu paling mudah/
Melihat dengan mata apa yang ada di hadapanmu!” (Johann Wolfgang von Goethe)

Di hadapan kedua mata ini terlihat berbagai warna. Ada hitam, ada putih, dan warna-warna lainnya. Berbagai warna itu bisa dilihat karena ada mata di kepala. Namun, jika mata ini tidak berfungsi yang tampak hanya kegelapan. Demikian pula meskipun mata ini berfungsi jika di sekelilingnya tidak ada cahaya, maka yang tampak juga hanya kegelapan.

Mata dan cahaya. Keduanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Namun, mata di kepala dan cahaya dari matahari, bulan, bintang, atau lampu hanya bisa menjelaskan berbagai bentuk dan warna. Keduanya tidak bisa menjelaskan berbagai perbedaan di alam ruhani, antara lain haq dan bathil, adil dan zalim, ma’ruf dan munkar. Sifat yang berlawanan itu hanya bisa diketahui oleh akal dan din (agama). Karena itu, ”akal laksana mata dan agama (din) laksana cahaya”. Demikian perumpamaan Imam al-Ghazali tentang keduanya dalam kitab al-Iqtishad fi al-I’tiqad.

Sejauhmana akal dan agama berfungsi bagi kita?. Untuk menjawab pertanyaan ini, salah satunya dapat dilakukan dengan melihat mata uang yang ada di depan mata. Namun, sekali lagi, melihatnya hanya dengan menggunakakan mata kepala akan sia-sia meskipun di sekeliling kita dipancari cahaya. Kita akan menjadi laksana binatang yang hanya bisa membedakan berbagai bentuk dan warna, namun tidak bisa melihat kezaliman di balik mata uang yang ada di depan mata kepala kita. Ada mata lain yang perlu disertakan untuk melihatnya, yaitu mata hati.

Agar manusia dapat memberlakuan mata uang yang tidak hanya jelas dalam pandangan mata kepala namun juga adil dalam pandangan mata hati, Nabi Adam ‘alahis-salam bersabda: “Kehidupan ini tidak akan menyenangkan tanpa dinar (uang emas) dan dirham (uang perak)”. Sabda ini dikutip oleh Taqiyuddin Ahmad ibn Ali al-Maqrizi dalam Ighatsat al-Ummah bi Kasyf al-Ghummah. Berkenaan dengan penggunaan uang emas dan uang perak di awal-awal kehidupan manusia di bumi ini, Larry Bates dalam buku The New Economic Disorder menyatakan emas dan perak merupakan barang bernilai tinggi dan Injil pun mencatat emas dan perak sebagai uang.

Dinar (koin emas 4,25 gram) merupakan alat tukar untuk barang yang mahal seperti seekor kambing. Adapun dirham (koin perak 2,975 gram) untuk barang yang agak murah seperti seekor ayam. Karena itu, jika kambing yang diperoleh semakin banyak, maka semakin banyak pula dinar dan berarti semakin berat pula emas yang diserahkan. Hal ini seperti 2 ekor kambing ditukar dengan 2 dinar (8,50 gram). Selain terbuat dari emas dan perak, juga diberlakukan alat tukar terbuat dari perunggu, tembaga, besi dan sebagainya untuk barang-barang yang murah. Dengan demikian, pertukaran ini tetap mempertahankan prinsip “barter” yaitu pertukaran barang dengan barang. Karena itu, Aristoteles (384-322) pun berfikir agar manusia dapat mempertahankan uang emas dan uang perak sebagai alat tukar untuk barang-barang yang mahal dan agak mahal. Sebagaimana dikutip Abdurrazak Lubis dalam tulisannya Kemandirian Moneter dalam Dinar Emas, Aristoteles menyatakan kriteria bahan pembuat uang yaitu (1) tidak dapat dirusak, (2) dapat dibagi, (3) dapat dibawa, (4) nilai intrinsik tidak terpisah dari nilai nominalnya, dan (5) tidak dapat dipalsu.

Sekian abad lamanya dinar dan dirham diberlakukan oleh umat manusia. Kedua mata uang ini mulai berangsur-angsur hilang dari peredaran diganti dengan uang kertas. Padahal, ia tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Aristoteles. Kertas-kertas kecil seperti lembaran dolar yang kini bisa ditukarkan dengan berbagai kekayaan alam di bumi ini, jika digunting-gunting maka tidak berlaku lagi sebagai alat tukar. Jika dilihat dengan mata hati, penggantian uang emas dan uang perak dengan uang kertas sebagaimana terjadi di Indonesia merupakan penjajahan dengan cara lain yang lebih efektif. Melalui monopoli pencetakan dan peredaran uang-uang kertas ini, Belanda dan bangsa-bangsa lainnya menjadi tidak perlu lagi mengerahkan sekian jumlah pasukan dan senjata untuk menjajah negeri ini.

Menurut Des Alwi dalam buku Sejarah Maluku, untuk memperkuat kekuasaan Belanda di Maluku, Residen VOC di Saparua van den Berg mengumpulkan patih-patih dan raja-raja di kepulauan tersebut. Ia berkata: ”perdagangan bebas dilarang dan tindakan akan diambil terhadap pedagang-pedagang yang melanggarnya. Pembayaran akan dilakukan dengan uang kertas”. Kapitan Pattimura pun berinisiatif mengadakan musyawarah besar yang dihadiri raja-raja patih hingga dibuat Pernyataan Haria 19 Mei 1817. Salah satu isi pernyataan ini yaitu: ”Kami rakyat tidak mempergunakan uang kertas dalam hidup sehari-hari, jika kami menolak untuk menerimanya dari gubernemen kami dihukum keras. Namun, jika kami hendak membeli sesuatu dari gudang gubernemen dan hendak membayar dengan uang kertas, pemerintah tidak mau menerimanya, kami harus membayarnya dengan uang perak.”

Uang perak ini disebut dengan berbagai istilah, salah satunya yaitu Rupiah. Menurut Parmeshwari Lal Gupta dalam buku India-The Land and The People: Coins, Kata ini berasal dari “rupiya” yaitu uang perak yang semula digunakan pada Kesultanan Delhi di India pada masa Sikandar Sur (1554) dan tersebar ke Nusantara. Karena itu, hingga kini masih banyak orang Indonesia mengucapkan “1000 perak” atau seperti dalam lagu anak-anak pada tahun 1990-an “satu mangkok saja 200 perak” meskipun mata uang ini sudah terbuat dari kertas. Dengan demikian, pemaknaan rupiah sebagai uang kertas tidak mengacu kepada tradisi para pendahulu bangsa ini. Pemaknaan tersebut mengacu kepada lembaga yang mengatur sistem uang kertas yaitu IMF dan Bank Dunia yang pun berdiri pada tahun 1944. Melalui kedua lembaga ini, dolar Amerika Serikat dijadikan sebagai standar uang kertas internasional sehingga rupiah pun bergantung kepada dolar AS.
Nilai uang kertas rupiah pun melemah setahun setelah proklamasi Kemerdekaan Tahun 1945. Pada tahun 1946, 1 dolar AS menjadi bernilai Rp. 2. Dalam perkembangan selanjutnya rupiah semakin melemah. Bahkan pada 1965, tahun berakhirnya kepemimpinan Presiden Soekarno, 1 dolar AS bernilai Rp. 30.000. Pada 1966 atau menjelang Soeharto menjadi presiden, rupiah kembali menguat hingga 1 dolar bernilai Rp. 45. Rupiah pun selanjutnya semakin lemah hingga tahun 1998 atau di akhir kepemimpinan presiden Soeharto, 1 dolar sama dengan Rp. 16.000. Perbedaan nilai dolar dan rupiah yang sama-sama terbuat dari kertas ini terus berfluktuatif hingga kini berkisar pada Rp. 9.000. Dengan demikian, keadaan di Indonesia termasuk peralihan kekuasaan presiden sangat ditentukan oleh mereka yang mengendalikan dolar.

Semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar berdampak pula terhadap semakin meningkatnya harga-harga barang seperti emas. Pada tahun 1946, 1 gram emas harganya Rp.2. Namun, pada tahun 2013 ini harga emas menjadi sekitar Rp. 550.000 pergram. Kenaikan harga barang-barang tersebut membuat jumlah rakyat Indonesia yang miskin semakin meningkat. Hingga 15 Maret 2010, sekitar 34 juta rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan dengan berpenghasilan di bawah satu dolar AS. Namun, jika ukuran garis kemiskinan dinaikkan menjadi dua dolar AS perhari sebagaimana digariskan oleh Bank Dunia, maka jumlahnya hampir mencapai 100 juta orang (Republika, 15 Maret 2010).

Selain itu, jumlah utang Republik Indonesia juga semakin meningkat. Menurut Direktur Strategi Portopolio Utang Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Schneider Siahaan, total utang Pemerintah Indonesia per Mei 2012 mencapai Rp 1.944,14 triliun. Utang tersebut terdiri dari pinjaman luar negeri Rp 638 triliun, pinjaman dalam negeri sebesar Rp 1 triliun, dan sisanya surat berharga negara (http://bisniskeuangan.kompas.com/ read/2012/06/29). Dengan demikian, jika utang tersebut dibagi kepada seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 2.400.000-an maka setiap orang termasuk bayi yang baru lahir memiliki utang sebesar Rp. 8.000.000-an. Bahkan jumlah tersebut kemungkinan akan bertambah, karena pada tahun 2013 pemerintah juga akan menambang utang lagi sebesar Rp 189,1 triliun (http://sindikasi.net/warta/tahun-2013-indonesia-tambah-utang-rp-1891-triliun)

Karena itu, sistem ekonomi kapitalis yang dikembangkan secara besar-besaran sejak rezim Orde Baru mendapatkan kri¬tik dari ber¬ba¬gai pihak. Bahkan para pengkritik tersebut salah satunya mantan pejabat tinggi dan Menteri di era tersebut. Hal ini se¬ba¬gai¬mana dinyatakan oleh Allahu yarham Tarmizi Taher yang pernah men¬jadi Sekretaris Jen¬de¬r¬al Departemen Agama (1987-1993) dan Menteri Agama RI (1993-1998). Dalam teks khutbah Idul Adha 1424 H/2004 M di Mesjid Al Azhar Jakarta berjudul Mari Wujudkan Kaum Muslimin Sebagai Penyelamat Bangsa Indonesia, ia menyatakan orang-orang In¬do¬nesia yang melarat semakin bertambah jum¬lah¬nya gara-gara sistem ekonomi kapitalis yang me¬la¬hir¬kan konglomerat sebagai anak haram pem¬ba¬ngun¬an masa Orde Baru. Akibat¬nya, ekonomi ke¬ke¬lu¬argaan yang diatur dalam UUD 1945 berubah men¬ja¬di ekonomi keluarga pemimpin negara. Karena itu, menurut Tarmizi negara lain makmur karena minyaknya, se¬men¬ta¬ra negara Indonesia terpuruk karena minyak yang te¬lah di¬ba¬gi di antara anak dan bapak. Ia juga menjelaskan aki¬bat sistem ekonomi kapitalis lain¬nya adalah ter¬jadinya krisis moneter tahun 1997 yang men¬jadikan ni¬¬lai rupiah semula Rp. 2000 menjadi hampir Rp. 20.000 perdolar Amerika Serikat.

Pascakrisis moneter 1997 tersebut yang membuat nilai rupiah dan dolar semakin jauh, Bank Indonesia (BI) menggantikan kata-kata ”Barang siapa meniru, memalsukan uang kertas dan/atau dengan sengaja menyimpan serta mengedarkan uang kertas tiruan atau uang kertas palsu diancam dengan hukuman penjara” pada uang kertas yang dicetak hingga tahun 1998, diganti dengan kata-kata ”Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa, Bank Indonesia mengeluarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai....”pada uang kertas Rp.10.000 (cetakan 2005), Rp.20.000 (cetakan 2004), dan Rp.50.000 (cetakan 2005), dan Rp.100.000 (cetakan 2004). Karena itu, pencantuman kata-kata ”Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa” dapat diasumsikan upaya BI untuk mengaitkan sistem keuangan di Indonesia dengan ajaran agama.

Namun, setelah pencantuman kata-kata “Rahmat Tuhan” tersebut, secara kasat mata yang tampak bukan semakin banyaknya rahmat tetapi laknat (wallahu a’lam) karena berbagai bencana alam justru semakin sering melanda. Hal ini terjadi karena berbagai kekayaan alam di Indonesia yang terbatas semakin mudah lenyap seiring nafsu serakah mereka yang tidak dapat dibatasi. Mereka yang mengendalikan pencetakan dan peredaran dolar dan sebagainya ini terus menerus menukarkan kertas-kertas kecil ini dengan berbagai kekayaan alam tersebut. Sekian hektar hutan sebagai penyangga daratan di berbagai pulau pun kini telah lenyap. Akibatnya, ketika musim hujan turun maka banjir melanda di mana-mana dan ketika musim panas datang maka suhu udara yang semakin panas. Hal ini terjadi karena air dan sinar matahari tidak terserap oleh pepohonan yang semakin lenyap. Karena itu, ajaran Islam tidak “membumi” atau hadir di atas permukaan bumi tetapi “mengebumi” atau menuju ke dalam bumi hingga terkubur di dalamnya. Misi ajaran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam pun menjadi tidak dapat ditampilkan oleh penganut agama terbesar di negeri ini.


http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-2705-detail-muhammadiyah-rusia-umumkan-pemenang-sayembara-internasional-penulisan-.html

Muhammadiyah Rusia Umumkan Pemenang Sayembara Internasional Penulisan
Rabu, 05-06-2013
Dibaca: 445

Moskow- Sebanyak 429 naskah dari 393 peserta yang mengikuti Sayembara Internasional Lomba Penulisan dengan tema Potret Indonesia 2014 telah masuk dan terseleksi oleh tim panitia dari Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah di Rusia. Dari jumlah tersebut 10 besar akan mendapat hadiah, dengan hadiah utama untuk juara I adalah Tiket Wisata Pergi-Pulang Rusia dan uang pembinaan.



Menurut salah satu panitia Sayembara dari PCIM Rusia Nurul wirda, kriteria yang ada dalam penjurian naskah meliputi aspek teknis penulisan, dan aspek substansi, dengan penjurian untuk aspek penulisan adalah dari PCIM Rusia, sedangkan untuk aspek substansi dinilai oleh Dewan Juri yang terdiri dari Dubes RI untuk Federasi Rusia, Ketua DPD RI, Ketua PCIM Rusia, dan beberapa juri yang berkompeten lainnya. Dari kesuluruhan naskah yang masuk, sebagian besar menggunakan bahasa Indonesia, dan sisanya menggunakan bahasa Ingris, Arab, dan Rusia. Sementara itu menurut sekretaris PCIM Rusia Indra Kurniawan, naskah yang masuk sebagian besar di dominasi oleh kalangan Mahasiswa sebanyak 63%, Pelajar 28%, dan sisanya dari kalangan profesional dan yang lainnya seperti Budayawan, Ibu Rumah Tangga, Pedagang. Sementara untuk pesebarannya Indra mengungkapkan, hampir seluruh propinsi di Indonesia telah terwakili ditambah dengan WNI yang berdomisili diberbagai negara yang meliputi Australia, Rusia, USA, Inggirs, Turki, Timor Leste, India, Yaman, Mesir, Singapura, Malaysia, Italia, dan ditambah Warga Negara Asing yang berasal dari Rusia dan Jamaika.

Berikut Surat Keputusan yang memuat nama-nama pemenang Sayembara Karya Tulis Internasional,

PIMPINAN CABANG ISTIMEWA MUHAMMADIYAH
PCIM RUSIA
Sekretariat: Miklukho-Maklaya Ulitsa 13, Korpus 5, Ruang 515, Moskow, Rusia
Telp. +79611730422, +79645740633. Email: pcim19rusia@gmail.com. Skype: pcim_rusia
??? ??? ?????? ??????

SURAT KEPUTUSAN
No: 4/A-1/VI/2013

Berdasarkan hasil penilaian Dewan Juri Sayembara Internasioal Penulisan Artikel “POTRET INDONESIA 2014” dan berdasarkan hasil Musyawarah Panitia Sayembara pada tanggal 31 Mei 2013, maka dari 429 naskah (393 peserta) telah terpilh 10 naskah terbaik.

MENGINGAT

Telah jatuh tempo waktu pengumuman Hasil Sayembara Penulisan Artikel “Potret Indonesia 2014” yaitu tanggal 1 Juni 2013.

MEMPERTIMBANGKAN

Perlunya mengumumkan nama-nama pemenang sayembara secara terbuka.

MEMUTUSKAN

Peserta yang dinyatakan peringkat 1-10 sebagai berikut:
1. Ari Ulandari, beralamat di Bogor, Jawa Barat sebagai pemenang utama dengan nilai 96
2. Novi Inriyanni Suwendro, beralamat di Jetis, Yogyakarta sebagai pemenang kedua dengan nilai 93
3. Rahmah, berlamat di Samarinda, Kalimantan Timur sebagai pemenang ketiga dengan nilai 91
4. Arief Setiawan, beralamat di Moskow, Rusia sebagai pemenang keempat dengan nilai 89
5. Nur Hamid, beralamat di Samarinda, Kalimantan Timur dengan nilai (87)
6. Nurman Kholis, beralamat di Kec. Makasar, Jakarta Timur dengan nilai (86)
7. Rachma Wardani, beralamat di Surakarta, Jawa Tengah dengan nilai (84)
8. Endah Putrihadia, beralamat di Banjarnegara, Jawa Tengah dengan nilai (83)
9. Wendie Razif Soetikno, beralamat di Lebak Bulus, Jakarta Selatan dengan nilai (81)
10. Riza Fahmi Ashandy, Surakarta, Jawa Tengah dengan nilai (80)

Demikian surat keputusan ini kami sampaikan. Keputusan Dewan Juri tidak dapat digangu gugat.

Semoga Allah SwT senantiasa melimpahkan taufik dan hidayah-Nya. Amiin.
Moskow, 1 Juni 2013



Ust. Kusen, M.A
Ketua PCIM Rusia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar