Selasa, 09 Juli 2013

Kezaliman Uang Kertas

Kezaliman dibalik penggunaan uang kertas yang menggantikan uang emas dan uang perak ini telah disadari oleh para ulama. Salah satunya yaitu Syekh Abdal Qadir as-Sufi. Ia sebelumnya bernama Ian Dallas yang dilahirkan di Skotlandia pada tahun 1930 dan menempuh pendidikan di Universitas London dan kemudian bekerja sebagai penulis naskah pada TV BBC London. Ia juga bekerja sebagai aktor dan promotor para tokoh di dunia hiburan seperti grup legendaris The Beatles. Setelah merasa jenuh dengan budaya pop tersebut, pada tahun 1960 ia berangkat ke Maroko dan bertemu dengan Syekh Muhammad Ibnu Habib hingga memeluk Islam dengan nama baru Abdal Qadir. Setelah kembali ke London, Abdal Qadir yang nama panggilannya menjadi Syekh Abdal Qadir al-Murabit As-Sufi selanjutnya juga menjadi mursyid tarekat Syaziliyah Qadiriyah Darqawiyah.

Syekh Abdal Qadir terinspirasi pemikiran pujangga Jerman Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) tentang kebenaran Islam dan kezaliman uang kertas. Karena itu, ia memiliki pandangan bahwa untuk membangun suatu komunitas Muslim di Barat yang dapat memberi kontribusi bagi perbaikan dunia adalah dengan membersihkan sistem keuangan global. Ia pun memerintahkan salah seorang muridnya, Umar Ibrahim Vadillo yang berasal dari Spanyol untuk menelaah teks-teks klasik Islam tentang uang untuk meneliti implikasi penggunaan dirham dan dinar bagi zaman modern.

Hasil pembacaan Umar Vadillo terhadap teks-teks klasik tersebut berbuah pada kritiknya terhadap ilmu ekonomi yang diajarkan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Kritik tersebut ia tulis dalam bukunya The End of Economic: an Islamic Critique of Economic yang diterbitkan pada tahun 1991. Di dalam prolog buku tersebut, Vadillo menulis bahwa kebangkitan Muslim Eropa zaman ini berkat bimbingan Syekh Abdal Qadir as-Sufi dan menjadikan Goethe yang menurutnya wafat dalam keadaan Muslim sebagai panutan. Vadillo menjelaskan bahwa Goethe sudah mengetahui kezaliman di balik peredaran uang kertas yang tidak punya nilai. Karena itu, setahun kemudian (1992), dirham (uang perak) dan dinar (uang emas) dicetak dan diedarkan secara pribadi di kalangan umat Islam di Spanyol, Jerman, Inggris dan Afrika Selatan.

Pada tahun 1999, kedua mata uang ini dicetak dan diedarkan pertama kali di Indonesia. Hingga pertengahan tahun 2012, lebih dari 100 wakala atau agen pertukaran dirham dan dinar telah berdiri di berbagai kota dan provinsi melalui koordinasi Wakala Induk Nusantara (WIN) yang dipimpin oleh Zaim Saidi. Penggunaan kedua mata uang ini semakin meluas seiring dengan kepindahan tempat tinggal Umar Ibrahim Vadillo dari Afrika Selatan ke Malaysia. Ia pun diangkat menjadi mursyid tarekat Syaziliyah Qadiriyah Darqawiyah oleh Syekh Abdal Qadir al As-Sufi untuk wilayah Nusantara. Karena itu, bazar yang menggunakan dinar dan dirham sebagai alat tukarnya pun diadakan melalui Festival Hari Pasaran (FHP), salah satunya diselenggarakan beberapa kali di halaman Masjid al-Azhar Jakarta.

Pada awal Desember 2012, Syekh Umar Vadillo berkunjung ke Indonesia. Ia bertemu dengan mantan Ketua Umum MPR dan Muhammadiyah, Amien Rais di kediaman pribadinya di Jakarta. Amien Rais pun mengatakan: "Kita harus segera menerapkan alternatif yang indah ini. Saya akan ikut memperjuangkannya." Amien menyatakan hal ini bukan sekadar berwacana. Dalam perbincangan ringkas itu ia mengusulkan sejumlah langkah kongkrit kepada Syekh Umar yang saat itu didampingi oleh Amir Zaim Saidi dan Wazir Abdarrahman Rachadi, dari Amirat Indonesia, serta Sidi Omar Azmon dari Malaysia. Di antaranya adalah mendatangi Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mendapatkan dukungan, serta mengujicobakan dinar dan dirham di salah satu wilayah di Indonesia. Pertemuan Syekh Umar dan kawan-kawan dengan MUI pun berlangsung beberapa hari kemudian, Selasa 4 Desember 2012 dan langsung didamping oleh Amien Rais sendiri. Pimpinan MUI menyambut baik penerapan dinar dan dirham di masyarakat, tapi secara resmi menyatakan belum dapat memberikan dukungan resmi. Hal ini karena suara di kalangan pimpinan MUI terpecah, ada yang menerima dan ada yang menolak. Langkah lainnya pun digagas oleh Amien Rais yaitu mencari tempat uji coba dinar dan dirham yang direncanakan akan dilakukan di Kabupaten Kampar, Riau, Sumatra. Pembicaraan awal pun telah dilakukan dengan Bupati Kampar, Jefrie Noer, di Jogyakarta. Ia juga akan segera menerapkan dinar dan dirham di lingkungan yayasan yang diasuhnya, yang antara lain mengelola Sekolah Budi Mulia, Jogyakarta (Amien Rais:“Saya Akan Ikut Perjuangkan Dinar”, sosok.kompasiana.com, 25 Februari 2013).

Apresiasi terhadap penggunaan dinar dan dirham juga disampaikan oleh Masdar Farid Mas’udi. Salah seorang Ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (NU) ini juga telah menyatakan bahwa hukum penggunaan uang kertas adalah riba. Karena itu, ia mengajak umat Islam untuk menggunakan kembali dinar dan dirham. Hal ini sebagaimana ditulisnya dalam buku Syarah Konstitusi UUD 1945 Perspektif Islam (2011: 117-118) yang menyatakan:
”...Dalam tradisi Islam, mata uang yang dipakai adalah dinar emas dan dirham perak. Mata uang ini memang bukan mutlak kreasi Islam, melainkan warisan peradaban terdahulu yang sudah beribu tahun berlaku di kekaisaran Byzantium, Persia, juga China. Mengingat segi positif yang ada pada mata uang tersebut, tanpa ragu Islam mengadopsinya. Seperti diketahui, mata uang dinar/dirham secara intrinsik dan objektif memiliki nilainya sendiri yang signifikan dan nyata. Bandingkan dengan mata uang kertas yang berlaku di seluruh dunia di era kapitalisme modern dewasa ini. Sesobek kertas yang hampir tidak punya nilai apa-apa, tiba-tiba menjadi berharga 100 dollar (atau Rp 1.000.000,- baca: satu juta rupiah) hanya dengan membubuhkan angka yang dikehendakinya. Menarik menyimak pernyataan Paus Benediktus XVI yang mengomentari kebangkrutan keuangan Amerika: Biarlah kini semua orang tahu bahwa "uang hanyalah ilusi"...
....Kebijakan mengambil dan menyempurnakan tradisi dan peradaban terdahulu ini merupakan penjabaran dari misi Rasulullah SAW seperti diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra: "Aku ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan perikehidupan baik yang sudah ada." ( HR Ahmad). Dengan kembali menggunakan mata uang emas (dinar) atau perak (dirham), penipuan yang telanjang melalui mata uang akibat selisih yang sangat jauh antara nilai nominalnya dan nilai objektif/intrinsiknya bisa dihindari. Itulah yang dalam pandangan Islam disebut riba al-fadl, riba karena selisih nilai...”

Karena itu, berkenaan dengan dukungan terhadap penggunaan kembali dinar dan dirham oleh Amien Rais dan Masdar Mas’udi, maka Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) diharapkan dapat mendekontruksi istilah “jual beli” sebagai sebutan pada pertukaran kertas-kertas kecil bernama “uang” dengan berbagai kekayaan alam di bumi ini. Kedua organisasi ini juga diharapkan dapat merekonstruksi jual beli berdasarkan syariah Islam yaitu muqabalatu malin bi malin atau barter. Dengan demikian, pertukaran berbagai kekayaan alam dengan kertas-kertas kecil tersebut bukan jual beli melainkan riba adh’afan mudha’afan (berlipat ganda).

Kedua organisasi yang didirikan oleh kedua guru yang “seguru, seilmu, dan tidak saling ganggu” ini juga diharapkan dapat berdakwah kepada para anggotanya dan umat Islam lainnya untuk menaati perintah Allah yang menyuruh untuk berbuat adil, seperti adil dalam berjual beli. Berdasarkan spirit “Kembali kepada al-Quran dan Sunnah” seperti penggunaan dinar dan dirham serta spirit “Tinggalkan Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat” seperti penggunaan uang kertas, kedua ormas ini juga diharapkan dapat berdakwah kepada Presdien Susilo Bambang Yudhoyono dan para anggota MPR/DPR RI atau yang akan terpilih pada tahun 2014 nanti. Melalui dakwah dengan hikmah, mau’idhah hasanah, dan mujadalah billati hiya ahsan diharapkan jika negara-negara asing mau membeli berbagai kekayaan alam di Indonesia, pemerintah Indonesia meminta mereka agar alat tukarnya dengan uang emas (dinar) atau uang perak (dirham) bukan dengan tumpukan lembaran uang kertas. Jika mereka tidak mau atau tidak mempunyai kedua mata uang ini, maka dengan barang lainnya yang sebanding dengan barang yang mereka beli.

Pertukaran antarbarang yang adil berdasarkan sukarela ini seperti pesawat terbang "Tetuko" CN-235 dari Indonesia dengan beras ketan hitam dari Thailand pada masa Pemerintahan B.J. Habibie (Habibie Sosok Manusia Multidimensional, dalam http: www.tokohindonesia.com). Menurutnya, nilai 1 kg Pesawat bisa terbang bisa setara dengan 450 ton beras (http://nasional.kompas.com/read/2011/12/22). Hal yang sama juga sebagaimana penjualan minyak Iran dengan emas dari China (http://www. silverdoctors.com/jim-sinclair-china-paying-for-iranian-oil-in-gold-is-most-impor-tant-event-in-odern-history), emas dari India (http://www.rediff.com/ business/ report/india-to-pay-for-irans-oil-in-gold/20120124), dan beras dari Uruguay (Uruguay wants to barter rice for oil with Iran, dalam http://www.reuters.com/ article/2012/03/30/). Namun, sistem barter tersebut tidak hanya pada pengertian “pertukaran barang dengan barang”. Penggunaan dinar dan dirham sebagai sistem keuangan perlu diberlakukan baik pada pelaksanaan syariah Islam dalam mu’amalah dengan sesama umat Islam maupun dengan umat lainnya dan dalam pelaksanaan zakat mal.

Karena itu, dukungan Amien Rais dan Masdar Mas’udi terhadap penggunaan kembali dinar dan dirham ini mengingatkan kiprah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916), salah seorang guru K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari saat sama-sama belajar di Mekah. Syekh Ahmad Khatib telah berusaha mempertahankan kedua mata uang ini sebagai standar pemberlakuan zakat mal. Dalam karyanya Raf’u al-Iltibas ’an Hukmi al-Anwath al-Muta’amal biha baina an-Nas, Syekh Ahmad Khatib mengatakan uang kertas yang disebut nuth disamakan dengan fulus sehingga tidak termasuk dalam syariah zakat. Sebab, uang kertas bergantung pada jumlah angka dan tingginya nilai kertas itu didukung oleh stempel pemerintah yang ada padanya. Dengan demikian, menurut Syekh Ahmad Khatib zakat tidak wajib diberlakukan untuk tembaga karena illat zakat adalah an-Naqdiyah (uang emas dan uang perak).

Meskipun dinar dan dirham dalam perkembangan selanjutnya menjadi hilang dari peredaran karena diberlakukannya uang kertas, Rasulullah SAW telah bersabda bahwa pada suatu masa kedua mata uang tersebut akan digunakan kembali di kalangan umat manusia. Hal ini sebagaimana sabdanya: “Akan datang suatu masa kepada manusia, pada masa itu tidak ada barang yang bermanfaat (bernilai) kecuali dinar dan dirham” (H.R. Ahmad). Menurut penelusuran Ahmad Musthofa, peneliti dan alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) yang disampaikan kepada saya melalui jejaring sosial pada 24 Mei 2012, status hadits ini dhaif karena terdapat seorang perawi bernama Abu Bakar bin Abi Maryam bin Abi Maryam yang oleh para ahli hadits dianggap lemah hafalannya. Namun, ada dua hadits lain yang serupa yaitu dari (1) Al-Muttaqie al-Hindiy, Kanzul ‘Umal, Maktabah Syamilah juz 3 hadits ke 6347 dan (2) Al-Hafidz al-Haitsamiy, Majmu’ Zawaid, maktabah Syamilah juz 4 hadits ke 6243. Karena itu, dengan adanya dua hadits pendukung ini maka status hadits tersebut yang semula dha'if menjadi hasan lighairihi yang boleh dijadikan sebagai pegangan hukum sebagaimana hadits shohih). Adapun Sumber pengutipan hadits ini salah satunya terdapat dalam Musnad Imam Ahmad bin Muhammad Hanbal yang diterbitkan oleh Daar al-Hadits, Kairo tahun 1995,Vol.XIII, halaman 298, pada sub bab Musnad Syamiyyin haditnya Miqdam bin Ma'di yakrib al-Kindiy Abi karimah dari Rasulullah SAW.

1 komentar: