Kisaran bulan Oktober lalu, santer terdengar isu rencana pemerintah menaikkan gaji menteri dan pejabat tinggi lainnya. Alasan beban kerja serta upaya mendorong kinerja yang menjadi dasar kenaikan gaji tersebut. Isu kenaikan gaji itu muncul setelah pelantikan menteri kabinet SBY jilid II.
Saya
tidak mengetahui berapa gaji sesungguhnya para pejabat negara setiap
bulannya sebelumnya sehingga pemerintah berencana menaikkan gajinya
lebih besar. Namun, isu kenaikan gaji tersebut, oleh beberapa kalangan,
dinilai akan mempertajam rasa ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara saat ini. Selain itu, kenaikan gaji tersebut juga tak
memiliki dasar rasionalitas yang kuat.
"Jika
dilaksanakan, hanya akan mempertajam rasa ketidakadilan," ujar Guru
Besar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang, Mestika Zed, Kamis
(29/10)
Selama ini tak
ada patokan yang jelas mengenai standar penggajian pejabat di
Indonesia. Bila saja standar penggajian tersebut ada, alasan beban kerja
tak perlu dikemukakan karena semakin tinggi beban kerja, sesuai aturan
sudah ada kenaikan secara otomatis.
Argumen
klasik yang kerap dikemukakan pejabat terkait rencana kenaikan gaji
tersebut adalah telah dianggarkannya kenaikan gaji itu dalam tahun
anggaran sebelumnya. "Ini alasan yang tak masuk akal. Toh, yang membuat
anggaran juga manusia, bukan malaikat. Artinya, itu kan bisa dihapus," ucap dia.[1]
Melihat
polemik itupun, aku justru menjadi tertarik untuk mencari tahu berapa
besaran gaji yang diterima oleh para pejabat negara di masa zaman
kekhalifahan Islam, khususnya zaman Khulafa’ur Rasyidin. Terlebih lagi,
aku menjadi ingin mengetahui berapa nilai besaran gaji para khalifah
Islam, sebagai pembanding. Selain itu, aku juga ingin melihat bagaimana
mekanisme penggajian mereka dan apa yang menjadi dasar besaran nilai
gajinya.
Setelah mencari-cari lewat mbah google
dan beberapa buku sejarah khalifah milik temen kost-an selama hampir 1
pekan (tidak berturut-turut), awalnya, aku hanya menemukan sedikit
informasi tentang besaran uang belanja harian Khalifah Umar bin Abdul
Aziz saja. Aku berusaha mencari gaji khalifah lainnya namun belum
menemukan (jika ada informasi, mohon berilah saya informasi melalui
email). Sempat aku berfikir jangan-jangan khalifah itu tidak memperoleh
gaji. Singkat cerita, aku menemukan informasi belanja Khalifah Umar bin
Abdul Aziz, yaitu sebesar 3,5 dirham per hari. Informasi ini pun
kuperoleh dari eksplorasi di internet. Jadi, mohon maaf untuk keabsahan
rujukannya. Saya mengharapkan ada penguatan informasi tersebut.
Sampai kemudian, aku memperoleh informasi yang lebih jelas dari e-book tentang gaji khalifah.
Alhamdulillah,
aku menemukan titik terang nilai gaji khalifah di masa Khulafaur
Rasyidin. Informasi ini aku temukan dari referensi e-book berjudul Early Caliphate (Khulafa’ur Rasyidin),
penulis Muhammad Ali; Penterjemah Imam Musa dengan editor Bambang
Dharma Putra, yang diambil dari cetakan pertama tahun 2007 oleh penerbit
Darul Kutubil Islamiyah, Jl. Kesehatan IX No. 12 Jakarta Pusat 10160.
Berikut, kutipan selengkapnya, “Ketika
diangkat sebagai khalifah, tepat sehari sesuahnya dia (Abu Bakar RA)
terlihat berangkat jalan ke pasar dengan barang dagangannya. Umar
kebetulan bertemu dengannya di jalan dan mengingatkan dia bahwa di
bahunya sekarang terpikul beban yang penuh kesulitan dalam kenegaraan,
dan karena demikian itu mustahil baginya untuk mengejar bisnis bersamaan
dengan memecahkan masalah negara. Untuk mempertahankan hidup keluarga,
jawab khalifah, dia (Abu Bakar_pen) harus bekerja. Para sahabat lalu
berkonsultasi dan menghitung pengeluaran rumah tanga basanya sehari-hari
dan menetapkan gaji tahunan 2,500 dirham baginya, yang belakangan ditingkatkan 500 dirham sebulan.
Pada saat wafatnya, dia mempunyai satu sprei tua dan seekor unta, yang
merupakan harta negara. Ini pun dikembalikannya kepada penggantinya,
Umar (halaman 62)[2].
Dari
satu referensi tersebut, saya belum menemukan lagi adanya informasi
seputar gaji khalifah lainnya kecuali hanya informasi tentang belanja
Umar bin Abdul Aziz atau Umar II. Informasi nilai belanja tersebut
ternukil dari sebuah kisah keteladanan Umar II dalam sebuah kisahnya.
Berikut kisah lengkapnya.[3]
Alkisah
pada suatu hari Khalifah Umar Bin Abdul Aziz disediakan makanan oleh
Istrinya yang beda dari biasanya. Saat itu ada sepotong roti yang masih
hangat, harum dan wangi tampak roti itu begitu lezatnya hingga
membangkitkan selera.
Sang
Khalifah merasa heran dan bertanya pada Istrinya: “ Wahai Istriku dari
mana kau memperoleh roti yang harum dan tampak lezat ini ? “.
Istrinya
menjawab “Ooh itu buatanku sendiri wahai Amirul Mukminin, aku sengaja
membuatkan ini hanya untuk menyenangkan hatimu yang setiap hari selalu
sibuk dengan urusan negara dan umat“.
“ Berapa uang yang kamu perlukan untuk membuat roti seperti ini “ tanya Khalifah.
“ Hanya tiga setengah dirham saja, kenapa memangnya?“ jawab sang istri
“
Aku perlu tahu asal usul makanan dan minuman yang akan masuk ke dalam
perutku ini, agar aku bisa mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah
SWT nanti “ jawab Khalifah, dan dilanjutkan pertanyaan lagi “ terus uang
yang 3,5 dirham itu kau dapatkan dari mana ? “.
“Uang
itu saya dapatkan dari hasil penyisihan setengah dirham tiap hari dari
uang belanja harian rumah tangga kita yang selalu kau berikan kepadaku ,
jadi dalam seminggu terkumpulah 3.5 dirham dan itu cukup untuk membuat
roti seperti ini yang halalan toyyiban “ jawab istrinya.
“
Baiklah kalau begitu. Saya percaya bahwa asal usul roti ini halal dan
bersih “ kata Khalifah yang lalu menambahkan “ Berarti kebutuhan biaya
harian rumah tangga kita harus dikurangi setengah dirham, agar tak
mendapat kelebihan yg membuat kita mampu memakan roti yang lezat atas
tanggungan umat “.
Kemudian
Khalifah memanggil Bendahara Baitul Maal (Kas Negara) dan meminta agar
uang belanja harian untuk rumah tangga Khalifah dikurangi setengah
dirham. Dan Khalifah berkata kepada istrinya “ saya akan berusaha
mengganti harga roti ini agar hati dan perut saya tenang dari gangguan
perasaan, karena telah memakan harta umat demi kepentingan pribadi “.
Subhanalaah
…Cerita ini benar-benar mengandung keteladanan dari seorang Khalifah
atau Presiden pimpinan negara yang begitu kuat berprinsip dan
berhati-hati bahwa apapun yang dimakan dan minum harus benar2 tahu asal
usul nya bahwa semua itu didapat secara halal dan benar. sebagai
khalifah dia juga tak mau menggunakan serta menghamburkan uang negara
untuk kepentingan pribadi. kalau biaya rumahtangganya cukup 3 dirham
sehari kenapa mesti 3.5 dirham. ()
'Amr bin Muhajir berkata, "Uang belanja Umar bin Abdul Aziz setiap harinya hanya dua dirham.” [4]
Dari 2 kisah tersebut, setidaknya ada 3 kesimpulan. Pertama
bahwa besar gaji khalifah adalah sebesar 2,500 dirham setahun yang
kemudian dinaikkan menjadi 500 dirham per bulan. Kedua, bahwa dari
adanya uang belanja Umar II sebesar 3,5 dirham tersebut beberapa orang
menafsirkan sebagai gajinya karena hakikatnya gaji khalifah adalah
besaran uang belanjanya. Jadi, gaji khalifah (Umar II dalam
hal ini) sebesar 3,5 dirham sehari atau sekitar 105 dirham per bulan.
Ketiga, gaji umar 2 dirham sehari atau 60 dirham per bulan.
Dari
ketiga kisah di atas menurut saya, yang paling jelas menyebut nominal
gaji adalah sumber yang pertama, yaitu 2,500 dirham setahun yang
kemudian menjadi 500 dirham per bulannya. Jadi saya lebih memilih bahwa
gaji khalifah sebesar 2,500 dirham setahun (atau jika dikonversi per
bulannya maka sebesar 208,33 dirham per bulan). Alasan saya karena yang
secara jelas menyebut nilai gaji adalah referensi yang pertama.
Sedangkan yang kedua dan ketiga tidak menyebut gaji namun uang belanja.
Jadi, aku menyimpulkan bahwa gaji khalifah adalah sebesar 208,33 dirham
per bulan – 500 dirham per bulan.
Menurut Wakala Nusantara,
yang memberikan informasi kurs nilai tukar Dinar-Dirham terhadap
rupiah, disebutkan bahwa 1 dirham adalah Rp. 29.842,- (data ini diakses
pada tanggal 12 Nov 2009 pukul 13.00an). Jadi jika kita konversi ke
dalam rupiah, maka gaji khalifah adalah berkisar antara Rp. 6.217.083,33
/ bulan (208,33 dirham) - Rp. 14.921.000,- (500 dirham).[5]
Gaji
sebesar 6 juta – 15 juta rupiah sekilas memanglah sepertinya terhitung
besar. Namun jangan lupa bahwa itu merupakan gaji seorang Khalifah.
Dalam istilah sekarang, itu merupakan gaji seorang Presiden yang
merupakan jabatan tertinggi dalam suatu negara (Bandingkan dengan gaji
Presiden-presiden negara lain!)[6].
Tanggungjawab yang sangat besar yang dipikul seorang khalifah digaji
dengan uang sebesar 6-15 juta per bulan. Dan uang sebesar itu di zaman
beliau merupakan kisaran nominal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari
yang terjadi di kalangan masyarakat Muhajirin (UMR nya umat Islam saat
itu), artinya masyarakat juga berpendapatan sebesar itu setiap bulannya
secara umum. Bandingkan dengan gaji seorang Presiden Republik Indonesia
yang konon sebesar Rp. 62,7 juta / bulan, lebih dari 4-10 kali lipat
gaji seorang khalifah yang tanggungjawabnya lebih besar. Bahkan gaji
seorang khalifah Islam saja tidak melebihi gaji Wapres RI sebesar Rp.
42,1 juta; ketua KPK sebesar Rp. 36,0 juta; Ketua DPR sebesar Rp. 30,9
juta; Ketua MA sebesar Rp. 24,3 juta; atau setingkat pejabat tinggi
(menteri, jaksa agung, dan panglima TNI) sebesar Rp. 18,6 juta.[7]
Gaji sebesar itu diberikan di tengah-tengah masyarakat saat rakyat jauh
dari kesejahteraan. UMR rakyat Indonesia saja tidak ada yang lebih bear
dari 2 juta rupiah per bulannya.
Namun,
hanya dengan gaji sekitar 6-15 juta rupiah saja, khulafa’ur rasyidin
dan Umar II mampu menjaga wibawa negara dan membuat surplus negara serta
mengefektifkan pemerintahan dan yang terpenting bebas Korupsi &
Kolusi. Kas Negara pun karena saking banyaknya, hampir tidak ada aliran
dana keluar karena tidak ada rakyat yang miskin atau dililit hutang atau
pemuda yang takut menikah karena tidak punya harta.
Bandingkan
dengan Indonesia yang mencetak rekor negara terkorup Asia bahkan dunia.
Para pejabatnya tersangkut kasus korupsi. Perang Cicak vs Buaya yang
tidak ada hentinya yang ujung-ujungnya rebutan lahan kaplingan ghonimah”.
Sering kita mendengar bahwa kasus korupsi terjadi karena kecilnya gaji para pegawai atau pejabat negara. Oleh
karena itu, gaji pejabat kemudian dinaikkan untuk mencegah korupsi.
Hasilnya, gaji naik korupsi tetap sama saja. Departemen-departemen yang
”miskin” ramai-ramai berebut mengajukan renumerasi untuk meningkatkan
gaji mereka sekian kali lipat yang konon juga dalam rangka mengurangi
korupsi. Toh, sama saja. Kinerja pejabat tetap saja penuh korupsi,
birokrasi belibet, dan tidak efektif. Kas negara selalu kosong bahkan
minus a.k.a defisit.
Terlebih
lagi, tidak ada standar yang jelas tentang dasar penggajian para
pejabat dan pegawai negara, mengutip pendapat Mestika Zed, Guru Besar
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang,
Selama
ini tak ada patokan yang jelas mengenai standar penggajian pejabat di
Indonesia. Bila saja standar penggajian tersebut ada, alasan beban kerja
tak perlu dikemukakan karena semakin tinggi beban kerja, sesuai aturan
sudah ada kenaikan secara otomatis.
Hal
ini beda dengan standar yang dipakai oleh sistem khilafah Islam yang
tersirat dalam kisah Abu Bakar saat sehari menjadi khalifah dimana
ketika itu abu Bakar masih pergi ke pasar untuk berdagang padahal beliau
sehari sebelumnya diangkat menjadi Khalifah.
Umar
kebetulan bertemu dengannya di jalan dan mengingatkannya bahwa di
bahunya sekarang terpikul beban yang penuh kesulitan dalam kenegaraan,
dan karena demikian itu mustahil baginya untuk mengejar bisnis bersamaan
dengan memecahkan masalah negara.
”Untuk mempertahankan hidup keluarga”, jawab khalifah, ”aku harus
bekerja” jawab Abu Bakar ash Shiddiq. Seketika itu pula kemudian para
sahabat lalu berkonsultasi dan menghitung pengeluaran rumah tanga
biasanya sehari-hari dan selanjutnya menetapkan gaji tahunan 2,500 dirham baginya, yang belakangan ditingkatkan 500 dirham sebulan.
Artinya,
dasar standar gaji yang dijadikan dasar penggajian khalifah adalah
besaran nilai belanja kebutuhan sehari-hari khalifah tersebut bukan
beratnya tanggungjawab atau prestasi apalagi sekedar penghalang agar
tidak korupsi.
Maka
dari dasar hal inilah muncul pendapat bahwa gaji khalifah itu
didasarkan pada belanja sehari-harinya yang kemudian memunculkan
pendapat bahwa gaji Umar bin Abdul Aziz sebesar 2-3,5 dirham sehari
(60-105 dirham/bulan) sesuai belanja kebutuhannya. Sehingga jika
dirupiahkan maka gaji Umar tidak lebih dari 5 juta rupiah, yaitu antara
Rp. 1.790.520,- (60 dirham) – Rp. 3.133.410,- (105 dirham). Jika memang
benar gaji seorang Khalifah saja sebesar itu gajinya dengan prestasi
yang luar biasa hebatnya, lantas apalah artinya kita hari ini dengan
gaji besar namun sering menuntut kenaikan gaji tanpa peningkatan
prestasi. Na’udzubillah.
Meskipun
gaji khalifah sebesar itu, para khalifah tidak lantas kemudian
mengambil seluruh gaji itu. Mereka (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib serta Umar II) justru mengembalikan
kelebihan gaji atau sisa gaji yang mereka peroleh kepada Baitul Mal (Kas
Negara). Dalam arti lain, dengan gaji yang tidak besar itupun, sang
khalifah masih saja mengembalikan baik sebagian maupun keseluruhannya
kepada Kas Negara (lihat pada kasus Umar II di awal artikel).
Pada
suatu hari istrinya berkata kepada Abu bakar ra,”Saya ingin membeli
sedikit manisan.” Abu Bakar menjawab,”Saya tidak memiliki uang yang
cukup untuk membelinya.” Istrinya berkata, “Jika engkau ijinkan, saya
akan mencoba untuk menghemat uang belanja kita sehari-hari, sehingga
saya dapat membeli manisan itu.” Akhirnya Abu Bakar pun menyetujuinya.
Maka mulai saat itu istri Abu Bakar menabung sedikit demi sedikit uang belanja mereka setiap hari. Beberapa hari kumudian uang itu pun terkumpul untuk membeli makanan yang diinginkan oleh istrinya. Setelah uang itu terkumpul, istrinya menyerahkan uang itu kepada suaminya untuk dibelikan bahan makanan tersebut.
Namun Abu Bakar berkata,”Nampaknya dari pengalaman ini, ternyata uang tunjangan yang kita peroleh dari Baitul Mal itu melebihi keperluan kita.” Lalu Abu bakar ra mengembalikan lagi uang yang sudah dikumpulkan oleh istrinya itu ke Baitul Mal. Dan sejak hari itu, uang tunjangan beliau telah dikurangi sejumlah uang yang dapat dihemat oleh istrinya. [8]
Maka mulai saat itu istri Abu Bakar menabung sedikit demi sedikit uang belanja mereka setiap hari. Beberapa hari kumudian uang itu pun terkumpul untuk membeli makanan yang diinginkan oleh istrinya. Setelah uang itu terkumpul, istrinya menyerahkan uang itu kepada suaminya untuk dibelikan bahan makanan tersebut.
Namun Abu Bakar berkata,”Nampaknya dari pengalaman ini, ternyata uang tunjangan yang kita peroleh dari Baitul Mal itu melebihi keperluan kita.” Lalu Abu bakar ra mengembalikan lagi uang yang sudah dikumpulkan oleh istrinya itu ke Baitul Mal. Dan sejak hari itu, uang tunjangan beliau telah dikurangi sejumlah uang yang dapat dihemat oleh istrinya. [8]
”Utsman
tak pernah mengambil dan menerima gaji sebagai khalifah dari baitulmal.
Setiap hari Jumat, Utsman berupaya untuk memerdekakan budak. Dia juga
menjamin kehidupan janda dan anak yatim-piatu.” [9]
Dengan
demikian, pada akhirnya penulis akhirnya mengetahui bahwa ternyata gaji
para khalifah Islam tidaklah besar karena jabatan pegawai atau pejabat
negara bukanlah merupakan jabatan yang ditujukan dalam rangka untuk
meningkatkan kekayaan atau menumpuk harta dan mengejar karier serta
mendirikan sebuah dinasti. Namun, jabatan tersebut adalah sebuah jabatan
yang lebih berorientasi pada tuntutan pengabdian serta profesionalitas.
Dan ternyata profesionalitas bisa berjalan tanpa didukung dengan
banyaknya materi yang berlimpah. Untuk itu, aku berpesan kepada diriku
sendiri bahwa banyaknya harta bukanlah tujuan utama. Jika diberikan
harta yang berlimpah semoga aku bisa mensyukurinya selalu. Dan
ketika memperoleh sedikit maka semoga aku bisa ikhlas menerimanya. Bagi
kita semua yang telah bergaji di atas gaji khalifah, maka sesungguhnya
kalian berarti seharusnya telah memiliki tanggungjawab dan kepedulian
kepada umat yang lebih besar.
Ahmed Fikreatif
141109 Pk.23.34
(Kritik,
Saran, & Masukan kirimkan ke alamat email redaksi Muslimdaily untuk
selanjutnya diusahakan untuk disampaikan kepada penulis)
[2] Early Caliphate (Khulafa’ur Rasyidin), penulis Muhammad Ali; Penterjemah Imam Musa (halaman 62)
[5] Perhitungan:
1 Dirham - Rp. 29.842,-
208, 33 dirham/bulan = 2.500 dirham/tahun = Rp. 6.217.083,33/bulan = Rp. 74.605.000,- /tahun
500 dirham/bulan = 6.000 dirham/tahun = Rp. 14.921.000,-/bulan = Rp. 179.052.000,- /tahun
(tolong dicek ulang karena saya menghitungnya saat ngantuk, jam 22.19 WIB)
1. Singapura 1,99 Miliar
2. Hongkong 408,5 Juta
3. AS 316,6 Juta
4. Irlandia 269,9 Juta
5. Prancis 251,7 Juta
6. Jerman 239,8 Juta
5. Inggris 220,8 Juta
6. Kanada 194,7 Juta
7. Jepang 192,3 Juta
8. Australia 181,3 Juta
9. Korsel 133,0 Juta
10. Malaysia 63,9 Juta
11. Indonesia 62,7 Juta
12. Thailand 35,7 Juta
13. Vietnam 2,3 Juta
14. Laos 1,7 Juta
2. Hongkong 408,5 Juta
3. AS 316,6 Juta
4. Irlandia 269,9 Juta
5. Prancis 251,7 Juta
6. Jerman 239,8 Juta
5. Inggris 220,8 Juta
6. Kanada 194,7 Juta
7. Jepang 192,3 Juta
8. Australia 181,3 Juta
9. Korsel 133,0 Juta
10. Malaysia 63,9 Juta
11. Indonesia 62,7 Juta
12. Thailand 35,7 Juta
13. Vietnam 2,3 Juta
14. Laos 1,7 Juta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar