Minggu, 09 Februari 2014

Tazkiyatun al-Nafs, Syarat mencari Ilmu

oleh: Muhammad Saad

KARENA tujuan ilmu dalam Islam sangat mulia, yaitu untuk mengenal Allah Subhanahu Wata’ala dan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, maka syarat untuk meraihnya pun sangat ketat.
Syarat mencari ilmu merupakan bagian adab dari mencari ilmu. Di antara syarat utama mencari ilmu adalah pembersihan diri dari dosa-dosa yang bisa menghalangi kita mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menyusun adab menuntut ilmu bagi diri seorang peserta didik sebanyak sepuluh, diataranya: mensucikan diri dari akhlaq tercela, mengurangi ketergantungan sibuk pada perihal dunia, tidak boleh sombong kepada guru, menghindari perselisihan dan perdebatan di awal menuntut ilmu dan masih banyak lainnya.
Syaikh Hasyim Asyari dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim juga menyebutkan adab peserta didik pada diri sendiri juga ada sepuluh. Uniknya baik Imam al-Ghazali maupun syaikh Hasyim Asyari (dan mungkin juga ulama yang lain) menjadikan pemberisihan hati (tazkiyat al-Nafs) pada level yang utama. Ini memberikan penjelasan bahwa kebersihan hati adalah syarat mutlak agar seseorang mendapatkan ilmu yang manfaat.
Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa sesungguhnya aktivitas menuntut ilmu adalah aktivitas hati, sholat yang samar dan ibadah batin kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Sebagaimana sholat tidak  sah tanpa kebersihan jasad dari hadats dan najis, begitu pula mencari ilmu tidak sah tanpa kebersihan batin dari kotoran akhlaq dan najisnya sifat. Sekiranya, hati tercemari dengan unsur-unsur negatif yang dapat merusak kemurnian hati, hal ini bisa menyebabkan sukar menerima ilmu. Karena pada dasarnya ilmu bersifat suci. (Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, hal. 26).

Senada dengan Imam al-Ghazali, Pendiri NU, KH Hasyim Asyari menyatakan agar ilmu dapat diterima, dapat dihafalkan, dan diketahui halusnya makna ilmu itu , serta  dapat memahamai rahasia dari ilmu. Maka hal utama yang harus dilakukan oleh seorang murid adalah membersihkan hati dari penyakit seperti dusta, unek-unek dan iri hati. Bahkan Kiai Hasyim menyebutkan, aqidah sesat juga merupakan penyakit hati, karenanya harus dibersihkan pula. (Syaikh Hasyim Asy’ari: Adab al-Alim wa al-Muta’alim, hal. 24).
Proses Ta’ziyatu al-Nafs
Karena takzitaun nafs adalah pembersihan diri dari dosa-dosa baik yang dhohir maupun batin, maka langkah awal yang harus dilakukan ialah taubat.  Menurut Imam Abdullah al-Haddad taubat adalah hal pertama yang dilakukan seorang hambah dalam meniti jalan menuju Allah, taubat juga merupakan azas dari segala maqam (kedudukan). (Imam Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Haddad, Risalah al-Muaawanah, hal. 17).
Perlu diingat bahwa proses pertaubatan adalah bagaian dari kewajiban seorang hamba, sebagaimana tersebut dalam Surat al-Nur: 31 artinya: “…dan bertaubatlah kamu semuanya kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung”.
Taubat yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah  taubat dari segala sifat dan perbuatan tercela baik dhohir maupun batin, baik dosa kecil terlebih diosa besar.
Di antara dosa-dosa kecil dan besar yang harus dibersihkan adalah dosa  menjaga makanan dari baram haram bahkan syubhat. Mengucapkan, melihat dan mendengar perkara yang diharamkan semisal: menggunjing, berbohong dan melihat wanita bukan muhrim. Adapun  dosa besar amalan bathin semisal riya’, ujub (bangga diri), takabbur (sombong,) hasad (iri hati), namimah (adu domba) dan lain sebagianya.
Syarat taubat adalah memohon ampun kepada Allah (beristighfar), menyesal dan berazam tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut. Jika dosa itu ada hubungannya dengan hak manusia, maka harus mengembalikan hak-hak tersebut.
Strategi taubat, pertama  untuk bisa merasakan penyesalan terhadap dosa yang kita perbuat, maka harus mengetahui seberapa besar resiko yang kita tanggung atas perbuatan yang kita langgar. Oleh karenanya dibutuhkan ilmu untuk mengetahui setiap perbuatan dosa dan resikonya.
Contoh: Dosa riya’ (beramal bukan karena Allah). Seberapa besar dosa riya’ dan apa resiko bagi pelakunya?. Syeikh Zayn al-Din al-Malaybari dalam kitab Irsyad al-Ibad menjelaskan bahwa dosa riya’ adalah dosa besar dan merupakan dosa syirik kecil. Imam Nawawi dalam kitab Arba’innya menjelaskan bahwa Allah akan mengampuni dosa besar seorang hamba meski dosa itu bak tujuh lapis bumi dan langit, atau bahkan lebih. Asalakan jangan dosa syrik meski sebesar inti atom.
Dengan mengetahui resiko dosa riya’, maka kita akan merasa takut, kemudian akan timbul rasa penyesalan yang mendalam dan tidak akan mengulangi perbuatan tersebut.
Mengetahui hakikat dosa dan resikonya ini berlaku bagi semua dosa yang ada. Tidak ada cara lain untuk memperoleh pengetahuian ini kecuali dengan ta’lim (ngaji) kitab-kitab ulama salaf al-Shalih seperti kitab Ihya ulumuddin karaya Imam al-Ghazali, Nashaih al-Ibad  karya Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad, Irsyad al-Ibad karya Syaikh Zayn al-Din al-Malaybari dan masih banyak untuk disebutkan.

Strategi kedua, agar bisa mengetahui seberapa banyak dosa yang kita perbuat, maka muhasabah adalah solusinya. Sahabat Umar bin Khatthab dalam atsarnya mengatakan”hasibu anfusakum qabla an tuhasabu”(hisablah diri kamu sebelum kamu dihisab). Hal ini bisa dilakukan dengan mencatat dosa-dosa kita dari dosa yang kecil sampai dosa yang besar. Barulah kemudian dimohonkan ampunan semua dosa yang tercatat tersebut.
Strategi ketiga, tajdidu al-taubah (memperbarui taubat). Imam Abullah bin Alwi al-Haddad berkata “hendaknya seseorang memperbarui taubat  setiap saat, sebab seorang hamba tidak sepi dari maksiat dhohir maupun bathin, oleh karenanya dosanya pasti banyak. Sesungguhnya Rasulullah dengan kemaksumannya bertaubat kepada Allah dan bersitghfar setiap hari sebanyak 70 kali”. (Imam Abdullah bin Awli al-Haddad, Risalah al-Muawanah, hal. 17)
Setelah membersihkan diri dengan taubat, langkah selanjutnya untuk takziyatu al-nafsadalah mengisi dan membiasakan diri dengan akhlak al-karimah semisal tawadhu (rendah hati) yang berguna mengikis takabbur dan memadamkan api kemarahan.  Neriman dengan yang ada dan cukup atas pemberian rizki atau nikmat dari Allah swt (qana’ah) ,menjaga diri dari hal yang syubhat& meninggalkan yang haram (wara’). Dan lain sebagainya.
Bahkan dalam kitab Ta’lim al-Muta’alim, Syaikh Zarnuji membahas satu bab khusus tentang wara’ dalam ilmu. Orang yang wara’ dalam mencari ilmu, maka ilmunya akan bermanfaat dan barakah, serta mudah dalam mempelajarinya.
Dalam bab tersebut, Syaikh Zarnuji menyitir Hadist Rasulullah Saw bahwa barang siapa yang tidak wara’ ketika mencari ilmu, maka ia akan terkena salah satu dari tiga bencana, yaitu ia akan mati dalam keadaan muda, ditempatkan pada satu kaum yang jahil, dan atau menjadi budak pemerintah.
Masih menurut syaikh Zarnuji bagian dari wara’ dalam belajar ialah menjaga diri dari perut kenyang (yahtariz ‘an al-Syiba’), banyak tidur (katsrat al-naum), banyak bicara (katsat al-kalam), dan sebisanya tidak memakan makanan di pasar sebab makanan di pasar lebih dekat pada najis dan kotor. Hal ini bisa menyebabkan jauh ingat pada Allah dan dekat pada kelupaan. (Syaikh Zarnuji, Ta’lim Muta’alim, hal. 39).
Kesimpulan
Hakikat ilmu adalah suci, oleh karenanya untuk mendapatkannya pun harus keadaan suci. Kesucian dalam mencari ilmu hanya bisa diperoleh dengan tazkiyatu al-nafs dengan bertaubat dan berkhlakul karimah. Diantara akhlak al-Karimah adalah tawadhu’, qana’ah , wara’ dan lain sebaginya.*
Penulis adalah alumni Mahasiswa STIT Uluwiyyah  Mojosari-Jawa Timur dan Santri Alumni PP. Adaamul Ulama’- Pandaan-Jawa Timur
http://www.hidayatullah.com/read/2014/02/08/16169/tazkiyatun-al-nafs-syarat-mencari-ilmu.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar