Kamis, 25 April 2013

Saatnya Lebih Serius Menangani Pendidikan Islam

Oleh: Amin Hasan

TIDAK bisa dipungkiri bahwa lembaga-lembaga pendidikan yang ‘berlabel’ Islam merebak begitu pesat di Indonesia. Mulai dari tingkat dasar sampai dengan jenjang perguruan tinggi, dan dari tingkat perkotaan hingga pelosok pedesaan dapat dengan mudah kita temukan.

Berbagai program, sistem sampai dengan kurikulum terus ditawarkan kepada para calon peserta didik. Semua itu dilakukan tidak lain adalah ingin memberikan nilai ‘plus’ kepada para peserta didik. Artinya, dengan berbagai program yang ditawarkan, diharapkan nantinya peserta didik tidak hanya mampu memahami ‘ilmu-ilmu umum’, tetapi juga cerdas dalam ‘ilmu-ilmu agama’.

Pertanyaannya adalah, benarkah bahwa lembaga-lembaga pendidikan yang berlabel Islam tersebut merupakan lembagai pendidikan alternatif yang ideal, yang mampu melahirkan lulusan-lulusan dengan kemampuan seperti yang diharapkan di atas?

Berangkat dari fenomena di atas, tulisan ini hadir untuk mengkaji secara lebih dekat akan eksistensi atau keberadaan lembaga pendidikan yang ‘berlabel’ Islam tersebut. Sebab, harus diakui bahwa keberadaan lembaga pendidikan Islam—yang benar-benar Islam, bukan hanya sebatas label—adalah sebuah keniscayaan di tengah-tengah problem kehidupan dan kemanusiaan saat ini.

Jauh Dari Harapan

‘Mampu melahirkan lulusan yang lebih baik’, barangkali inilah yang menjadi salah satu tujuan dari didirikannya lembaga pendidikan Islam. Sekilas, keberadaan lembaga pendidikan yang ‘berlabel’ Islam ini memang lebih menjanjikan bilamana dibandingkan dengan lembaga pendidikan yang tidak berlabel Islam. Artinya, kualitas—seolah-olah hanya diukur dari label yang disandang, bukan menyangkut isi yang berhasil diaplikasikan.

Di lain sisi, ditemukan fenomena bahwa banyak dari sekolah-sekolah umum yang melahirkan lulusan dengan kemampuan pengetahuan agama yang sangat minim. Bahkan, sampai dengan lulusan Sekolah Menengah Atas pun, banyak dari mereka yang untuk sekedar membaca Surah al-Fatihah saja tidak bisa. Sungguh, ini adalah sebuah kenyataan pendidikan yang sangat memprihatinkan. Sedangkan, konon dikatakan bahwa lembaga pendidikan itu ada/diadakan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Berawal dari fenomena di atas, para orangtua pun berpikir dua kali untuk mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah umum. Sehingga para orangtua kemudian berbondong-bondong mendaftarkan anaknya ke lembaga pendidikan-lembaga pendidikan yang secara intens di dalamnya mengajarkan tentang keislaman, semisal; mulai dari cara shalat, doa-doa, membaca al-Qur’an dan lain sebagainnya. Dengan harapan, kelak setelah lulus dari sekolah anak-anak mereka sudah bisa membaca al-Qur’an, shalat dengan benar, berperilaku sopan-santun kepada orangtua, dan melakukan berbagai amal shaleh lainnya. Tentu, hal ini berangkat dari ketakutan para orangtua melihat berbagai fenomena remaja saat ini yang begitu komplek, mulai dari kehidupan seks bebas, tawuran antar pelajar, peredaran narkoba, pembunuhan, dan berbagai fenomena kemorosotan moral lainnya. Selain karena kurangnya pengawasan dari para orangtua, persoalan ini juga disebabkan karena minimnya pengetahuan agama yang ditanamkan sejak dini kepada anak.

Maka tidak ayal lagi, sekolah-sekolah Islam Terpadu seperti SDIT, SMPIT, SMAIT maupun sejenisnya, menjadi target utama para orangtua murid.

Mereka rela walaupun harus ‘merogoh kocek’ lebih daripada biasanya dengan harapan, asal anaknya bisa belajar di sekolah-sekolah tersebut dan menjadi anak yang lebih baik kedepannya. Namun, kenyataan pahit untuk yang kesekian kalinya harus diterima kembali oleh para orangtua murid khususnya dan masyarakat pada umumnya. Didapati bahwa lulusan dari lembaga pendidikan-lembaga pendidikan yang ‘berlabel’ Islam—model sekolah-sekolah Islam Terpadu—tidak mampu menjadikan anak didiknya lebih baik, yang bernilai ‘plus’.

Sekolah-sekolah yang berlabel Islam ini ternyata juga melahirkan lulusan-lulusan yang tidak jauh berbeda, bahkan mungkin juga sama dengan sekolah-sekolah pada umumnya.
Artinya, jika disandingkan antara anak didik lulusan dari sekolah yang berlabel Islam dengan yang tidak adalah sama, walaupun tidak sama persis. Tapi, tentu masih sangat jauh dari yang diharapkan oleh masyarakat ataupun para orangtua khususnya.
Lagi-lagi sebuah tanda tanya besar patut diajukan. Apa, atau siapa yang paling

bertanggungjawab atas ini semua? Apakah sistem lembaga pendidikannya, atau penyelenggara lembaga pendidikan tersebut, ataukah pemerintah yang dalam hal ini harus bertanggungjawab karena telah membiarkan lembaga pendidikan Islam merebak secara masif tanpa adanya pengawasan dan pengontrolan yang ketat, atau mungkin para murid itu sendiri yang paling bertanggungjawab terhadap kegagalan diri mereka sendiri?

Kesiapan Lembaga Pendidikan Islam

Dari berbagai fenomena pendidikan Islam di atas, banyak hal yang dapat dan perlu dikaji lebih jauh. Pendidikan—terutamanya pendidikan Islam—merupakan sesuatu yang sangat urgen kedudukannya dalam membangun kehidupan masyarakat dan bangsa, serta tidak bisa digantikan oleh yang lainnya. Maka dari itu kualitas pendidikan itu sendiri harus menjadi hal pertama dan utama untuk diperhatikan. Artinya, dengan sutuasi yang penuh problema yang sedang dihadapi saat ini, label ‘Islam’ jangan kemudian dijadikan ajang untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Keikhlasan para orangtua untuk mendidik dan menjadikan anak-anak mereka menjadi yang lebih baik dengan memasukkan ke sekolah-sekolah Islam, jangan sampai menjadi ajang untuk “mencari kesempatan dalam kesempitan”. Apalagi jika mengingat bahwa ini adalah sebuah lembaga pendidikan.

Lembaga pendidikan yang berlabel Islam mutlak diperlukan untuk saat ini, tapi tentu harus diikuti dengan kualitas yang sesungguhnya. Semangat mendirikan lembaga pendidikan Islam harus dibarengi dengan kualitas sumber daya manusianya, sarana dan juga dana. Artinya, lembaga pendidikan jangan sampai berjalan apa adanya. Selain itu, baik sistem, kurikulum, maupun program yang dikembangkan harus benar-benar aplikatif dan memberikan efek secara langsung kepada anak didik. Sebab, selain pendidikan dalam keluarga, pendidikan di sekolah juga menjadi salah satu faktor penting dalam melahirkan orang-orang yang berilmu, beriman, beramal shaleh serta berakhlakul karimah.

Karena sampai hari ini, para orangtua lebih mengedepankan label, yakni label Islam daripada lainnya yang tidak menggunakan label itu sekalipun kualitasnya lebih baik, maka hendaknya sistem pengelolaan penyelenggaraan pendidikan benar-benar profesional dan berorientasi pada mutu.

Walhasil, tujuan pendidikan terutamanya adalah untuk mencetak manusia-manusia paripurna. Dengan kata lain, tujuan pendidikan Islam itu sendiri adalah untuk mencapai tingkat Muslim paripurna. Oleh sebab itu, pengajaran dan pendidikan Islam idealnya dan seharusnya tidak melahirkan perilaku pemeluk agama yang tidak mencerminkan nilai-nilai agama. Semangat perubahan—dalam konteks pendidikan Islam—semestinya menjadi arah terselenggaranya proses pendidikan yang lebih bermakna dan terencana untuk mencapai tujuan idealnya, yaitu membentuk kepribadian manusia dengan segala totalitasnya, meliputi jasmani dan rohani, rasa dan nalar, serta akal dan budi pekertinya.

Tentang pendidikan secara umum, bahwa pendidikan adalah suatu hasil peradaban sebuah bangsa yang dikembangkan atas dasar suatu pandangan hidup bangsa itu sendiri. Jadi, untuk sebuah sistem pendidikan ideal di Indonesia tidak perlu meniru dan berkiblat kepada sistem pendidikan dari negara-negara maju. Sebab, sebuah sistem pendidikan mungkin cocok untuk diterapkan di negara mereka, tapi belum tentu untuk kondisi dan kultural negara Indonesia. Jika tetap dipaksakan untuk meniru sistem pendidikan dari negara-negara maju akibatnya adalah bangsa ini tidak akan pernah mandiri, tidak akan pernah percaya diri akan kapabilitas dan fasilitas yang dimiliki, dan tidak akan pernah memiliki identitas yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, sistem pendidikan pesantren (baca pesantren modern) dengan sistem pendidikan 24 jam, layak untuk menjadi satu-satunya sistem pendidikan alternatif sebagai rujukan pendidikan Islam. Sebab, anak didik mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali selalu dalam proses pembelajaran dan pendidikan. Selain itu, di dalamnya juga diajarkan berbagai segi dari kehidupan, mulai dari cara bermasyarakat, keterampilan, kepemimpinan, olah raga dan seni bela diri, disiplin, etika, dan berbagai nilai-nilai moral lainnya.

Namun, yang terpenting dari semua itu adalah bahwa dalam sistem pendidikan pesantren antara ‘ilmu-ilmu umum’ dan ‘ilmu-ilmu agama’ diajarkan 100% : 100%. Bukan ilmu agama lima puluh persen dan ilmu umum lima puluh persen, apalagi ilmu agama enam puluh persen dan ilmu umum empat puluh persen. Keduanya seimbang seratus persen-seratus persen. Dan ini hanya bisa ditemukan dalam sistem pendidikan pesantren.*     

Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana ISID-Gontor

http://www.hidayatullah.com/read/28072/09/04/2013/saatnya-lebih-serius-menangani-pendidikan-islam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar