Kamis, 25 April 2013

Posisi Kabar dalam Keilmuan Islam

Oleh: Arif Munandar Riswanto

ILMU sebagaimana yang difahami dalam akidah Islam, datang bukan dari satu sumber, tetapi berbagai sumber. Dalam ‘Aqai’d An-Nasafi, rujukan mu’tabar akidah di kalangan Asy’ariyyah, dijelaskan bahwa ilmu bisa datang dari panca indera (al-khawwash al-khamsah), akal sehat (al-‘aql as-salim), kabar yang benar (al-khabar ash-shadiq), dan intuisi (ilham).

Hal yang menarik dari seluruh saluran ilmu tersebut adalah posisi kabar. Dalam struktur keilmuan Islam, kabar ternyata bisa menjadi salah satu saluran ilmu. Bahkan, dalam tingkat validitas yang lebih tinggi—seperti kabar yang dibawa oleh para Nabi dan pembawa berita (rawi) yang otentik ilmu dan akhlaknya—otentisitas kabar bisa mengalahkan otentisitas panca indera dan akal sehat.

Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari pun, banyak ilmu selain “ilmu agama” yang kita dapatkan melalui kabar. Asal usul nenek moyang kita, hari atau waktu kelahiran kita, berita orang-orang dahulu, bahkan orang-orang atau tempat-tempat jauh pada zaman sekarang dan belum kita kunjungi tetapi kita percayai kebenarannya adalah ilmu yang kita peroleh melalui kabar. Untuk menerima berita-berita tersebut sebagai kebenaran, kita tidak pernah melakukan uji coba dengan metode eksperimen, sensible, atau keraguan (doubt). Bahkan, pada zaman sekarang, hampir seluruh bentuk informasi yang kita terima berasal dari berita. Berita di televisi, kabar di koran,  informasi di radio, dan lain sebagainya adalah informasi-informasi yang kita dapatkan melalui kabar. Menolak kabar, sama dengan menolak salah satu saluran ilmu.


Oleh sebab itu, ketika mengomentari (syarh) matan ‘Aqa’id An-Nasafiyyah, Sa‘duddin At-Taftazani menjelaskan bahwa posisi kabar, terutama yang mutawatir, sifatnya sangat valid (mujib li al-‘ilm), dan ilmu yang didapatkan melaluinya bersifat pasti (dharuri). Sebab, nilai otentisitasnya berlaku untuk siapa pun, bahkan bagi orang yang tidak memiliki kapasitas untuk mendapatkan ilmu melalui belajar (iktisab) atau dalil premis (tartib al-muqaddimah) seperti anak kecil sekalipun.

Dari sinilah kita bisa memosisikan agama Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan agama-agama wahyu yang diturunkan sebelum beliau—terutama dalam ajaran-ajaran prinsipil agama. Dalam Kasysyaf Ishthilahat al-Funun wa Al-‘Ulum (Beirut, 1996: 1078), Muhammad ‘Ali At-Tahanawi, menjelaskan bahwa dalam hal-hal prinsipil agama (al-ushul), seperti iman kepada Allah, Malaikat, para Nabi, kitab suci, dan lain sebagainya, seluruh ajaran yang diturunkan kepada para nabi adalah sama. Ajaran-ajaran seperti itu dan diturunkan kepada seorang Nabi tidak mungkin diabrogasi (naskh) oleh ajaran yang diturunkan kepada Nabi lain. Dalam hal-hal prinsipil, seluruh Nabi sepakat. Sebab, ajaran-ajaran prinsipil tersebut adalah akidah yang berasal dari kabar. Sedangkan kabar seperti itu tidak berlaku abrogasi.

Sebab, jika ada abrogasi, satu ajaran atau Nabi akan mendustakan ajaran atau Nabi yang lain. Dan, hal tersebut mustahil terjadi pada Nabi. Seorang Nabi tidak akan mendustakan seorang atau beberapa Nabi lain. Sebab, dua hal yang bertentangan tidak akan terjadi dalam satu waktu (ijtima’ an-naqidhain/coincidentia oppositorum).

Ilmu Islam Lebih Komprehensif

Posisi kabar dalam struktur keilmuan Islam pun seiring dengan tujuan dan sifat ilmu yang harus mendatangkan keyakinan dan kepastian (certainty). Puncaknya, ilmu harus membawa seseorang kepada kebahagiaan (sa‘adah). Dan, puncak dari segala kebahagiaan, sebagaimana banyak dielaborasi oleh kalangan sufi, adalah mengenal Allah (ma‘rifah Allah). Dan, hal tersebut hanya bisa didapatkan ketika betul-betul mengimani dan mengamalkan dengan tulus segala ajaran yang diberitakan oleh para Nabi—yang ditransformasikan melalui kabar yang benar.

Dalam keyakinan Islam, ilmu adalah kepastian. Jika mendatangkan keraguan, ia bukan ilmu, tetapi wahm atau zhann. Hal yang menarik dari hal tersebut adalah, sebelum menjelaskan tentang hal-hal prinsipil dalam agama, Najmuddin An-Nasafi, memulai ‘Aqa’id An-Nasafiyyah-nya dengan penjelasan tentang kebenaran dan realitas (al-haqq wa al-haqiqah). Dia menulis; “haqa’iq al-asyya’ tsabitah wa al-‘ilm biha mutahaqqiq khilafan li as-sufastha’iyyah” (hakikat wujud adalah tetap, dan pengetahuan tentangnya adalah pasti, berbeda dengan orang-orang sofis). Di sini, An-Nasafi menjelaskan tentang realitas yang bersifat pasti (tsabit), tidak berubah-ubah.

An-Nasafi pun menjelaskan bahwa keyakinan seperti itu berbeda dengan keyakinan kaum sofis di zaman Yunani Kuno—dan kaum relativis di zaman sekarang. Sebab, bagi mereka, segala sesuatu yang ada dalam wujud adalah berubah.Tidak ada yang pasti kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan bagi mereka adalah yang pertama dan yang terkahir. Ia segala-galanya. Untuk itulah, kaum sofis berpendapat bahwa mendapatkan ilmu (yang menurut Islam sifatnya pasti, tetap, dan menyinari) adalah hal yang mustahil. Akhirnya, mereka kemudian terjebak dalam keraguan yang tidak ada ujungnya. Sains pun kemudian disimbolkan dengan pencarian yang tiada ujung tersebut. Framework seperti itulah yang kemudian digunakan dalam falsafah ilmu Barat modern dan diikuti oleh kaum Muslim liberalis.  (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 2001: 117, juga Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, 2007: 12-13).

Ilmu seperti itu tidak akan mendatangkan keyakinan dan kebahagiaan, ia justru akan menjadi dahaga yang tidak ada ujungnya. Seperti orang kehausan yang minum air laut, dahaganya tidak akan hilang, justru semakin bertambah.

Menurut Al-Attas, Ilmu seperti itu hanya akan menyeret manusia ke dalam kehidupan yang penuh tragedi, sebuah pengalaman keagamaan yang inheren terjadi dalam peradaban Barat (Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, 2003: 152).

Posisi kabar dalam struktur keilmuan Islam pun berjalan seiringan dengan kelemahan yang ada dalam diri manusia. Tidak semua hal bisa dicapai dan diketahui melalui panca indera dan akal. Kedua saluran ilmu tersebut banyak kelemahannya. Benda lurus panjang yang ada di dalam gelas berisi air, misalnya, menurut panca indera adalah bengkok, padahal ia sebenarnya lurus. Akal manusia pun akan sulit menerima ketika Nabi Isa dilahirkan dari rahim ibu tanpa ayah. Akal dan panca indera pun tidak akan pernah tahu tentang siapa manusia pertama dalam kehidupan ini, apakah ia memiliki orangtua atau tidak. Sebab, panca indera dan akal manusia mustahil dan tidak akan pernah bisa mengetahuinya. Manusia hanya bisa mengetahui kebenarannya melalui kabar yang dibawa oleh para Nabi.

Di sinilah manusia memerlukan bimbingan (guidance) untuk mencapai kebenaran. Sebab, mengutip Al-Attas, kebenaran hanya bisa diraih melalui bimbingan (hidayah), bukan keraguan (Prolegomena, 2001: 117). Dan, bimbingan paling valid adalah bimbingan yang berasal dari kabar yang dibawa dalam bentuk wahyu. Oleh sebab itu, jika manusia menolak wahyu sebagai salah satu sumber ilmu, ketajaman panca indera dan akal yang dimilikinya tidak akan berguna. Ilmu seperti itu jauh untuk bisa mendatangkan hikmah (wisdom).

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Ghazali dalam Kimiya` As-Sa‘adah, ilmu yang baik harus bisa mendatangkan hikmah. Sebab, ilmu yang bisa melahirkan hikmah adalah ilmu yang telah dibimbing oleh keadilan. Dengan demikian, ilmu yang telah menolak wahyu, membatasi realitas dan kebenaran kepada panca indera dan akal (sensible things), serta menjadikan keraguan dan spekulasi sebagai metode ilmiah adalah ilmu yang “dimbimbing” oleh kezaliman. Ilmu seperti itu hanya akan melahirkan kezaliman, bencana, dan menjadi “senjata” yang membunuh fitrah manusia. Dan sudah pasti, ilmu seperti itu tidak akan mendatangkan kebahagiaan, apalagi mencapai kepada ma‘rifatullah.

Tidak aneh, karena tidak dibimbing wahyu, ilmuwan seperti Stephen Hawking, dalam karyanya yang berjudul The Grand Design (2010), berpendapat kemudian harus jatuh ke dalam kubangan atheisme. Pada tanggal 2 September 2010, situs www.bbc.co.uk pernah menurunkan berita dengan judul, Stephen Hawking: God did not create Universe. Hawking kemudian berujar bahwa tidak ada tempat untuk Tuhan bagi teori penciptaan alam semesta (there is no place for God in theories on the creation of the Universe). Menurutnya, ada hukum seperti gravitasi yang bisa diciptakan sendiri oleh alam dari ketiadaan.


Kelemahan yang ada dalam panca indera atau akal bukan berarti mengecilkan peran keduanya, tetapi untuk melengkapi keduanya agar “lebih sempurna”. Dalam Al-Iqtishad fi Al-I‘tiqad, Al-Ghazali menjelaskan bahwa posisi wahyu seperti matahari dan posisi akal seperti mata. Orang yang menolak wahyu sama dengan menolak cahaya matahari, meskipun kelopak matanya terbuka, hidupnya akan gelap. Sedangkan orang yang menolak akal dan hanya menerima wahyu, sama dengan orang yang menutup mata terhadap sinar matahari, hidupnya

pun akan gelap. Ibnu Rusyd dalam Fashl Al-maqal menjelaskan bahwa wahyu dan akal bagaikan saudara sesusu (ukht ar-radhi‘ah).

Demikianlah posisi kabar dalam keilmuan Islam. Ia merupakan refleksi dari makna, cakupan, dan saluran ilmu yang sangat komprehesif. Bahkan, tradisi tersebut hanya dikenal dalam ajaran Islam. Para ilmuwan (ulama) yang berjalan dalam tradisi keilmuan Islam seperti itu adalah manusia-manusia yang sangat mulia dalam pandangan Allah. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu dalam, derajat yang sangat tinggi, dan takut kepada Allah. Inilah yang telah dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran, Allah pasti akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS 58:11).

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS 35: 28). Wallahu a’lam bish-shawwab

Mahasiswa CASIS Universiti Teknologi Malaysia (UTM) Kuala Lumpur

http://www.hidayatullah.com/read/27357/20/02/2013/posisi-kabar-dalam-keilmuan-islam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar