HATI adalah istilah yang sering disebut Alquran ketika berbicara tentang keimanan dan spiritualitas. Bahwa, orang-orang beriman adalah mereka yang hatinya bergetar ketika mendengar nama Allah disebut, atau ketika ayat-ayat Alquran dibacakan kepadanya. Bagaimanakah kita memahami hati terkait dengan upaya peningkatan spiritualitas selama Ramadan ini?
Dalam bahasa Arab istilah “hati” sebenarnya bersumber pada dua kata: Kalbu dan Fuad. Sayangnya, karena keterbatasan kosa kata dalam bahasa Indonesia, kedua kata tersebut diterjemahkan sama, menjadi ”hati”. Padahal, keduanya memiliki penekanan makna yang berbeda. Kalbu lebih menunjuk kepada sosok lahiriah dari hati, sedangkan fuad lebih mengacu kepada hati yang bersifat batiniah.
Karena itu, kita harus hati-hati dan cermat menangkap maknanya, sesuai dengan konteks ayat atau kalimat hadits yang kita jadikan rujukan. Misalnya, hadits berikut ini. Alaa wainna fiil jasadi mudhghatan idzaa shalahat shalahal jasadu kulluhu waidzaa fasadat fasadal jasadu kulluhu alaa wahiyal kalbu - “Ketahuilah bahwasanya pada setiap tubuh ada segumpal daging. Jika daging itu baik, akan baiklah seluruh anggota tubuhnya. Namun apabila dia rusak maka akan rusak pula seluruh anggota tubuhnya. Ketahuilah bahwasanya segumpal daging itu adalah kalbu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits diatas ada yang memaknai secara batiniah, bahwa kalbu adalah sumber akhlak. Sehingga kalau akhlaknya rusak, maka rusak pula seluruh nilai kemanusiaan orang tersebut. Dan sebaliknya, jika baik akhlaknya, maka menjadi baik pula dia sebagai manusia. Pemaknaan semacam ini sepintas lalu tak bermasalah. Tetapi, kalau kita mau mencermati, kalimat hadits itu sebenarnya berbicara ”hati” secara fisikal, dan berbicara tentang kesehatan biologis.
Bahwa ada segumpal daging, diistilahkan sebagai mudhghah, yang memiliki peran sangat penting dalam tubuh manusia, sehingga jika segumpal daging itu rusak maka rusak pula tubuhnya. Dan jika baik, maka baik pula tubuhnya. Lantas disebutlah segumpal daging itu sebagai kalbu sesuatu yang bermakna ”bergetar bolak-balik”. Mudhghah yang dimaksud dalam hadits tersebut tidaklah bersifat batiniah, melainkan bersifat lahiriah alias fisikal. Yakni, menunjuk kepada jantung, yang memang memiliki getaran bolak-balik, sebagaimana terlihat dalam grafik hasil rekaman Electro Cardiograph (ECG).
Selain itu, penafsiran kalbu sebagai jantung juga dikuatkan oleh ayat Alquran yang menjelaskan secara harfiah bahwa kalbu adalah segumpal daging yang ada di dalam dada. QS Al Hajj (22): 46, ”… al quluubullatii fiish shuduur – hati yang berada di dalam dada. ” Yang di ayat lain lagi disebut sebagai organ yang bisa bergetar-getar ketika mengalami peristiwa tertentu yang emosional.
QS Al Anfaal (8): 2. ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. ”
Yang menarik, selain bersifat lahiriah dan biologis, jantung juga memiliki mekanisme yang menjembatani fungsi-fungsi batiniah, yakni emosi. Khususnya pada variable getarannya. Inilah satu-satunya organ yang bergetar-getar secara berbeda-beda dan nyata, ketika emosi kita sedang berubah-berubah. Saat terharu jantung kita bergetar. Saat marah menggeletar. Saat rindu dan jatuh cinta berdebar-debar. Bahkan saat takut, gemetarannya sampai menjalar ke seluruh tubuh.
Itulah sebabnya jantung menjadi organ yang khas, yang memiliki fungsi lahiriah dan batiniah secara simultan. Mudah dideteksi tanpa menggunakan peralatan yang rumit. Dan karenanya bisa dijadikan sebagai salah satu parameter untuk mengetahui perubahan emosi yang terjadi di dalam diri seseorang. Termasuk yang terkait dengan keimanan dan spiritualitas. Contohnya, ayat di atas. Bahwa, untuk mengetahui seseorang beriman atau kurang beriman bisa diketahui dari gemetarnya jantung kita saat mendengar nama Allah disebut, atau saat firman-firman-Nya dibacakan.
Jadi, secara sederhana, getaran-getaran jantung kita adalah representasi dari perubahan-perubahan emosional yang terjadi secara batiniah. Dan perubahan-perubahan emosi itu menunjukkan gejala spiritualitas yang lebih dalam yang berpusatkan di ”hati” yang lebih batiniah yang diistilahkan sebagai fuad. Karena itu, secara sederhana pula saya menyebut ada dua macam hati. ”Hati luar” adalah kalbu, sedangkan ”hati dalam” adalah fuad.
Tentang fuad ini, Alquran bercerita bahwa saat Nabi Muhammad didatangi malaikat Jibril di Gua Hira’, fuad menjadi pintu masuk spiritual bagi turunnya wahyu. Penglihatan beliau bersifat batiniah. Lebih halus dibandingkan kalbu yang getarannya bisa dirasakan secara fisikal. Getaran fuad adalah getaran radar jiwa yang sangat lembut tetapi sangat akurat, sehingga tidak mungkin tersesat.
Inilah sumber inspirasi, intuisi, ilham dan wahyu, yang dialami oleh para nabi. Memang sulit untuk dijelaskan secara empirik dan objektif, karena sudah memasuki kawasan subjektif. Tetapi sebenarnya, bagi jiwa yang suci, mekanisme ini memiliki akurasi yang sangat tinggi. Dan itu hanya bisa dirasakan yang bersangkutan. Karena itu dalam ayat berikut ini, Allah memberikan pembelaan kepada Rasulullah ketika penglihatan beliau itu tidak dipercaya oleh sebagian masyarakat waktu itu. Bahwa, apa yang beliau alami itu benar adanya. Beliau tidak sedang tersesat ataupun keliru. Karena, apa yang diterimanya dari malaikat Jibril itu benar-benar wahyu.
QS An Najm (53): 2-11. “Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan bukanlah ucapannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya (ayat-ayat Alquran) itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas. Dan (Jibril) menampakkan diri dengan rupa yang asli. Sedangkan dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat (sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu, dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hati (fuad)-nya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.”
Demikianlah, pada orang-orang yang berhasil mensucikan dirinya, radar jiwa yang namanya fuad itu akan bertambah tajam, sehingga menjadi mekanisme munculnya petunjuk Tuhan secara batiniah. Lewat mata hati. Persis seperti yang terjadi pada Rasulullah saat berkhalwat di Gua Hira’, ketika didatangi malaikat Jibril yang menyampaikan wahyu pada malam al Qadr. Yang demikian ini, insya Allah juga akan bisa terjadi pada orang-orang yang sukses berpuasa Ramadan, saat mereka bertemu dengan malam kemuliaan di akhir-akhir Ramadan. Wallahu a’lam bissawab. (*/zal/k1)
http://kaltimpost.co.id/berita/detail/26071/hati-antara-kalbu-dan-fuad.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar