Oleh: Dr. Syamsuddin Arif (Peneliti Insists)
http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=521:filsafat-ilmu-islami-manusia-bisa-tahu-yang-benar&catid=23:pendidikan-islam&Itemid=23
Manusia normal pada hakikatnya dapat mengetahui kebenaran dengan segala kemampuan dan keterba-tasannya. Ia juga bisa memilih (ikhtiyar) dan memilah (tafriq), membedakan (tamyiz), menilai dan menentukan (tahkim) mana yang benar dan mana yang salah, mana yang berguna dan mana yang berbahaya, dan seterusnya.
‘Kemampuan’ yang dimaksud adalah kapasitas manusia lahir dan batin, mental dan spiritual, dengan segala bentuk dan rupanya. Ada pun ‘keterbatasan’ merujuk pada keterbatasan intrinsik manusiawi maupun ekstrinsik non-manusiawi, Keterbatasan yang dimiliki manusia meskipun ada, tidak sampai berakibat gugurnya nilai kebenaran maupun keabsahan atau validitas dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kondisi ‘normal’ yakni keadaan seorang yang sempurna (tidak cacat) dan sehat (tidak sakit atau terganggu), baik fisik maupun mentalnya, jasad dan ruhnya, terutama sekali akal dan hati (qalb)-nya.
Maka dalam diskursus Filsafat Ilmu yang Islami, mengetahui (‘ilm) dan mengenal (ma‘rifah) bukan sesuatu yang mustahil. Pendirian kaum Muslimin Ahlus Sunnah wal-Jama’ah dalam soal ini disimpulkan oleh Abu Hafs Najmuddin ‘Umar ibn Muhammad an-Nasafi secara ringkas: haqa’iqul asyya’ tsabitah, wal-ilmu biha mutahaqqiqun, khilafan lis-sufistha’iyyah (Lihat: Matan al-‘Aqa‘id dalam Majmu‘ Muhimmat al-Mutun, Kairo: al-Matba ‘ah al-Khayriyyah, 1306 H).
Ditegaskan bahwasanya hakikat, kuiditas atau esensi dari segala sesuatu itu tetap sehingga bisa ditangkap oleh akal minda kita. Hakikat segala sesuatu dikatakan tidak berubah karena yang berubah-ubah itu hanya sifat-sifatnya, a’rad, lawahiq atau lawazim-nya saja, sehingga ia bisa diketahui dengan jelas. Sebagai contoh, manusia bisa dibedakan dari monyet, ayam tidak kita samakan dengan burung, atau roti dengan batu. Maka ilmu tentang kebenaran tidak mustahil untuk diketahui oleh manusia sebagaimana ditegaskan dalam kitab suci al-Qur’an surah az-Zumar (39:9): “…. katakanlah: Apakah sama, orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui?”
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Bagaimana cara, dengan apa atau dari ilmu apa dapat diketahui dan dipastikan? Meminjam formulasi wacana filsafat modern: How is knowledge possible? Jawaban pertanyaan ini adalah ilmu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu persepsi indera (idrak al-hawass), proses kognitif akal yang sehat (ta‘aqqul) termasuk intuisi (hads), dan melalui informasi yang benar (khabar shadiq). Demikian ditegaskan oleh Sa‘duddin at-Taftazani, Syarh al-‘Aqa‘id an-Nasafiyyah, cetakan Istanbul: al-Matba’ah al- ‘Uthmaniyyah, 1308 H.
Permasalahan tersebut juga disinyalir dalam al-Qur’an surat an-Nahl (16):78, Qaf (50):37, al-A’raf (7): 179, Ali ‘Imran (3):138, dan masih banyak lagi. Persepsi inderawi yang digunakan manusia untuk memperoleh ilmu meliputi kelima indera (pendengar, pelihat, perasa, penyium, penyentuh), di samping indera keenam yang disebut al-hiss al-musytarak atau sensus communis, yang menyertakan daya ingat atau memori (dzakirah), daya penggambaran (khayal) atau imajinasi, dan daya perkiraan atau estimasi (wahm) (Silakan lihat: Imam al-Ghazali, Ma‘arij al-Quds ila Madarij Ma‘rifat an-Nafs, Beirut, 1978). Sedangkan proses akal mencakup nalar (nazar) dan alur pikir (fikr), seperti dinyatakan oleh Imam ar-Razi dalam kitab Muhassal Afkar al-Mutaqaddimi wa 1-Muta’akhkhirin, cetakan Kairo: al-Matba’ah al-Husayniyyah, 1969. Dengan nalar dan pikir ini manusia bisa berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat putusan dan menarik kesimpulan. Selanjutnya, dengan intuisi ruhani seseorang dapat menangkap pesan-pesan ghaib, isyarat-isyarat ilahi, menerima ilham, fath, kasyf, dan sebagainya.
Selain persepsi indera dan proses akal sehat, sumber ilmu manusia yang tak kalah pentingnya adalah khabar sadiq, yakni informasi yang berasal dari atau disandarkan pada otoritas. Sumber khabar sadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah wahyu (Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya) yang diterima dan ditransmisikan (ruwiya) dan ditransfer (nuqila) sampai ke akhir zaman. Mengapa hanya khabar sadiq yang diakui sebagai sumber ilmu? Mengapa tidak semua informasi bisa dan atau harus diterima? Lantas kapan suatu proposisi, informasi, pernyataan, ucapan, pengakuan, kesaksian, kabar mesti ditolak? Apa patokan dan ukurannya? Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini pun telah dirumuskan oleh para ulama ahli hadis dan usul fiqh.
Secara umum, khabar atau kabar dalam arti berita, informasi, cerita, riwayat, pernyataan, atau ucapan, berdasarkan nilai kebenarannya dapat diklasifikasikan menjadi kabar benar (shadiq) dan kabar palsu (kadzib). Sebagian ulama bahkan berpendapat pemilihan ini perlu diperjelas lagi dengan kriteria ‘dengan sendirinya’ (bi-nafsihi atau lidzatihi) yakni tanpa diperkuat oleh sumber lainnya, dan ‘dengan yang lain’ (bi-ghayrihi) yakni karena didukung dan diperkuat oleh sumber lain. Khabar shadiq menurut Imam an-Nasafi, al‘Aqa’id dibedakan menjadi dua macam. Pertama, khabar mutawatir, yaitu informasi yang tidak diragukan lagi karena berasal dan banyak sumber yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Maka kabar jenis ini merupakan sumber ilmu yang pasti kebenarannya (mujib li l-’ilmi d-dharuri). Kedua, informasi yang dibawa dan disampaikan oleh para Rasul yang diperkuat dengan mukjizat. Informasi melalui jalur ini bersifat istidlali dalam arti baru bisa diterima dan diyakini kebenarannya (yakni menjadi ilmu dharuri alias necessary knowledge) apabila telah diteliti dan dibuktikan terlebih dulu statusnya. Keterangan Imam an-Nasafi ini menggabungkan aspek kualitas dan kuantitas narasumber.
Penting sekali diketahui bahwa tidak semua informasi atau pernyataan yang berasal dari orang banyak bisa serta-merta dianggap mutawatir. Mengingat implikasi epistemologisnya yang sangat besar, para ulama telah menetapkan sejumlah syarat sebagai patokan untuk menentukan apakah sebuah kabar layak disebut mutawatir atau tidak. Berkenaan dengan khabar al-wahid atau khabar al-ahad, para ulama juga telah menetapkan persyaratan yang cukup ketat, tidak hanya untuk nara sumbernya, tapi mencakup isi pesan yang disampaikannya, serta cara penyampaiannya. Maka sebuah kabar yang membawa ilmu mesti diklasifikasi juga berdasarkan kualitas sumber-sumbernya, siapa pembawa atau penyebarnya atau orang yang mengatakannya, lalu bagaimana kualifikasi serta otoritasnya (sanad atau isnadnya).
Sikap kritis terhadap sumber dan isi ilmu dalam juga perlu dilakukan terhadap sumber intern masyarakat Islam sendiri. Hal ini dapat dilacak dan sejarah keilmuan Islam sejak kurun pertama Hijriyah. Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq, ‘Umar ibn al-Khattab dan Ali ibn Abi Talib terkenal sangat berhati-hati dalam menerima suatu laporan atau khabar dari para Sahabat mengenai ucapan, perbuatan ataupun keputusan yang ditetapkan Rasulullah SAW. Untuk menepis kemungkinan terjadinya tindakan pemalsuan dan dusta atas nama Rasulullah SAW, para khalifah bukan hanya melakukan pemeriksaan seksama (tatsabbut) dengan cara meminta minimal dua orang saksi (istisyhad) dan menuntut sumpah (istihlaf, bahkan juga mengimbau agar orang tidak gampangan mengeluarkan hadith (iqlal fi r-riwayah). Untuk ini kita bisa merujuk kitab Hujjiyyat as-Sunah karya ‘Abd al-Ghani ‘Abd al-Khaliq, Washington: International Institute of Islamic Thought, 1986.
Sikap selektif terhadap sumber ilmu yang dikembangkan menjadi metode isnad ternyata masih sangat relevan dalam tradisi intelektual di jaman modern ini. Pentingnya metode ini dapat dirujuk kepada pernyataan ulama salaf ‘Abdullah ibn al-Mubarak (w. 181 H 797 M): “Tanpa sandaran otoritas, niscaya setiap orang akan berbicara tentang apa saja sesuka-hatinya (lawla l-isnad, laqala man sya’a ma sya’a).” Sedangkan Abu Hurayrah r.a., Ibn ‘Abbas r.a., Zayd ibn Aslam, Ibn Sirin, al-Hasan al-Basri, ad-Dhahhak, Ibrahim an-Nakha’i pun telah berpesan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Karena itu, perhatikanlah dengan siapa kalian berguru dalam soal agama (inna hadza-l-’ilma dinun, fa unzhuru ‘amman ta’khudhuna dinakum). (Imam Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kitab al-Majruhin min al-Muhaddithin wa d-Dhu‘afa’ wa l-Matrukin, cetakan Aleppo: Dar al-Wa’y, 1396 H.
Apabila diekspresikan dalam bahasa epistemologi kontemporer, pesan ini berarti bahwa ilmu haruslah dicari dari sumber-sumber yang otoritatif yaitu mereka yang memiliki pandangan hidup Islam dan terpancarkan dari prinsip-prinsip ajaran agama Islam itu sendiri. Maka dapat kita simpulkan bahwa filsafat ilmu itu mencakup arti mengetahui, obyek pengetahuan, sumber ilmu pengetahuan, dan proses mengetahui yang dalam Islam memiliki ciri khas tersendiri dan karenanya secara substantif sangat berbeda dengan filsafat ilmu dalam peradaban-peradaban lain.
Prinsip-prinsip (usul) dan dasar-dasar (mabadi’) filsafat Ilmu dalam Islam telah dirumuskan oleh para ulama Islam terdahulu (salaf) dan golongan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah berasaskan kitab suci al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW sehingga tidak empirisistik hanya mengandalkan persepsi inderawi dan bukan pula rasionalistik mendewakan kemampuan akal belaka, akan tetapi dikuatkan oleh wahyu otentik yang berasal dari Allah swt, Sang Pemilik ilmu.*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar