http://majalah.hidayatullah.com/2015/06/islamisasi-ilmu-tidak-berarti-anti-barat/
Apakah yang dimaksud Islamisasi ilmu dan bagaimana langkah-langkahnya? Dan juga apakah Islamisasi ilmu itu berarti anti Barat? Berikut ini jawaban Prof Wan Mohd Nor Wan Daud.
Gerakan Islamisasi ilmu memantik kontroversi sejak dipopulerkan hingga saat ini. Bahkan sebagian orang takut dengan gerakan ini. Bisa Anda jelaskan?
Kontroversi muncul karena orang salah memandang konsep Islamisasi dan ilmu. Mereka menganggap ilmu itu netral. Malah, ada yang mengatakan ilmu itu bebas nilai. Ilmu, bagi mereka, tidak terkait dengan nilai seorang ilmuwan atau masyarakat.
Sebab kedua, Islamisasi ilmu kebanyakan dikaitkan dengan politik. Misalnya dengan berdirinya partai politik, bank, institusi pendidikan, dan sebagainya.
Pandangan ilmu itu netral sangat luas. Apa salahnya?
Ilmu adalah anugerah kepada makhluk-Nya. Karena itu, ilmu itu adalah kebenaran. Dari sudut pandang ini, ilmu tak lagi harus di-Islamisasi.
Masalahnya, seseorang akan meletakkan kebenaran itu dalam pandangan alamnya (worldviewnya) dengan menafsirkan dan menguraikannya. Proses penguraian dan panafsiran “kebenaran” ini, disamping bergantung kepada pandangan alamnya, juga bergantung kepada akhlaknya. Jika dia ikhlas dan berani, ia akan menyatakan kebenaran yang dimilikinya. Jika tidak, ia akan menutupnya. Bahkan akan menyatakan sebaliknya atau mencampuradukkan dengan kebatilan. Makna yang diutarakan tidak lagi ilmu atau kebenaran, tetapi menayangkan nilai-nilai pribadi, akhlak dan lingkungannya.
Salah satu tahap menuju Islamisasi ilmu adalah Dewesternisasi. Apakah Islamisasi itu berarti anti Barat?
Sejak beberapa abad ke belakang, Barat telah berjaya menyebarkan pandangan alam serta pengalaman sejarahnya. Bukan saja kepada umat Islam, melainkan kepada seluruh masyarakat di dunia. Malah, hampir semua agama besar dunia, termasuk Hindu dan Budha, telah mengalami proses kebaratan, utamanya sekulerisasi dan humanisasi.
Masalahnya, peradaban Barat bersumber dari ajaran Nasrani, Yahudi dan filsafat Yahudi. Al-Attas selalu menegaskan, ajaran-ajaran al-Qur’an telah menolak gagasan akidah Yahudi, Nasrani dan konsepsi kosmologi Yunani kuno.
Islamisasi ilmu bukan bermaksud anti Barat dalam bentuk permusuhan dan kebencian. Ia lebih bersifat pemahaman mendalam tentang aspek-aspek serta metodologi keilmuan, keagamaan, sejarah, kebudayaan, filsafat, nilai, akhlak dan perundangan Barat. Yang baik dan tidak bertentangan dengan Islam harus dimanfaatkan. Yang bertentangan harus dibuang.
Sebagian orang tidak mau menggunakan istilah Islamisasi, tetapi integrasi. Bagaimana menurut Anda?
Nabi Adam diajarkan nama semua perkara. Menamakan sesuatu dengan tepat dalam suatu bahasa menunjukkan kemahiran tinggi dalam bahasa itu dan kepahaman sempurna tentang perkara yang dinamakan. Sebagian orientalis menamakan proses Islamisasi ini sebagai naturalisasi. Ada juga yang menyebutnya asimilasi, tetapi kedua-duanya amat umum dan kabur. Begitu juga dengan istilah integrasi. Juga tidak jelas apa yang menjadi prinsip integrasi itu, siapa tokoh-tokoh dan sumber-sumber rujukannya.
Bagi orang Kristen, proses integrasi, naturalisasi dan asimilasi itu berarti Kristenisasi. Bagi orang sekuler dan liberal ia bermakna sekulerisasi dan liberalisasi. Bagi orang Islam ia dinamakan Islamisasi.
Jika kita menggugurkan istilah Islamisasi dan menggunakan integrasi atau istilah lain, kita juga akan mengaburkan kriteria, sumber, dan tokoh rujukan Islam yang penting. Kita bergerak dari yang jelas kepada yang kabur dan itu sebenarnya berlawanan dengan kehendak proses itu sendiri. Integrasi hanyalah salah satu sifat dari proses induk Islamisasi. Sifat-sifat lain ialah dewesternisasi dalam konteks kontemporer yang banyak dipangaruhi Barat, desekularisasi dan lain-lain.
Saya khawatir, jika kita takut menggunakan istilah Islamisasi untuk menerangkan proses yang tepat dan benar, kita juga akan takut mengindentifikasikan agama kita sebagai Islam dan umat Islam. Mungkin suatu hari nanti, akan lahir sarjana Islam yang tidak mengakui agama mereka adalah Islam, tetapi agama universal atau agama cinta!
Masyarakat non-Muslim sendiri tidak perlu khawatir dengan Islamisasi ilmu?
Kalau Islamisasi berjalan baik, semua umat apa pun agamanya akan mendukung. Jika Islamisasi sukses, akan menjamin umat Islam lebih berakhlak dan akan lebih menjamin hak-hak ekonomi serta politik semua umat, termasuk non-Muslim.
Apa kendala untuk meng-Islamisasikan ilmu?
Pertama, ada pemahaman yang keliru dari umat Islam terhadap ilmu. Mereka salah memahami ilmu dan opini. Keduanya dianggap sama, padahal beda. Dan lagi, asal ilmu itu berasal dari Barat, dianggap sebagai kebenaran. Padahal banyak yang hanya berupa teori, dugaan atau hipotis.
Kedua, kesalahan memahami worldview kebudayaan Barat yang sangat dominan sejak beberapa abad ini. Ketiga, dan ini yang paling penting, kesalahan memandang worldview Islam serta hubungannya dengan akhlak, syariat dan kehidupan pribadi dan bermasyarakat.
Bagaimana mengaplikasikan Islamisasi ilmu, apa harus membuat kurikulum khusus?
Dari sejarah Islam dan sejarah pengislaman semua daerah di mana Islam menjadi dominan, Islamisasi berjalan melalui pendidikan berkualitas dari tokoh ilmuwan berwibawa yang mengajar dan mengamalkan ilmunya dengan tegas, bijaksana dan sederhana.
Jadi untuk mengaplikasikan Islamisasi ilmu, pertama, memerlukan individu berwibawa dengan jumlah yang memadai. Kedua, mewujudkan institusi pendidikan resmi seperi sekolah, universitas dan yang tidak resmi seperti media massa, masjid dan institusi latihan professional yang lain.
Ketiga, program pendidikan baik secara langsung atau tidak langsung. Kurikulum khusus hanyalah refleksi kepada keperluan para pelajar dan masyarakat setempat serta bersifat fleksibel dan kreatif. Kurikulum yang baik tidak identik dengan banyaknya jumlah mata pelajaran keagamaan.
Apakah Islamisasi ilmu akan berakhir dengan pembentukan negara Islam?
Tujuan Islamisasi ilmu adalah melahirkan manusia yang berakhlak mulia dan sempurna adabnya dalam semua segi kehidupannya serta menjadi rahmat bagi semua di alam maya ini.
Islam adalah agama yang bersifat kemasyarakatan. Maka Islamisasi memerlukan pertumbuhan kehidupan bermasyarakat dengan semua institusinya. Setiap organisasi dan institusi masyarakat Islam memerlukan kepemimpinan yang berintegritas dan efektif.
Jika masyarakat Islam itu punya pengaruh luas sehingga berjaya, maka akan terjadi sebagai sebuah proses pengembangan kehidupan manusia melalui perubahan worldview, ilmu, akhlak dalam arti yang luas.* Bambang Subagyo/
Ilmu Mengalir Saat Menyeruput Kopi
Sosok Prof Dr Wan Mohd Nur Wan Daud yang dikenal sebagai pelanjut gagasan Islamisasi ilmu, memiliki kesan yang mendalam bagi Adnin Armas, MA dan Dr Nirwan Syafrin. Keduanya pernah menimba ilmu kepada Prof Dr Wan Mohd Nur Wan Daud, atau Prof Wan, demikian ia biasa disapa, di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Malaysia. Sikap Prof Wan yang selalu hormat pada guru, selalu membantu mahasiswa, dan senang berbagi ilmu membuat keduanya kagum.
Menurut Adnin Armas, Prof Wan selalu mendampingi Prof Dr Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai penggagas ide besar Islamisasi ilmu. “Prof Wan tak saja sebagai murid, tapi juga kawan bagi Prof al-Attas dalam mewujudkan gagasan itu di tengah masyarakat,” ujar Adnin Armas yang kini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institute for Study Islamic Thought and Civilization (INSIST).
Kepada Suara Hidayatullah, Adnin juga mengatakan bahwa Prof Wan turut kerja keras dalam mewujudkan gagasan itu, baik saat masih di ISTAC maupun setelah ia mendirikan Centre for Advanced Studies on Islam (CASIS). “Untuk mewujudkan gagasan itu tidak mudah, namun beliau tetap konsisten dalam memperjuangkan terwujudnya gagasan itu,” tegas Adnin yang lahir di Medan, 2 September 1972 ini.
Untuk mewujudkan “proyek” Islamisasi ilmu, tambah Adnin, Prof Wan melakukan banyak hal. Salah satunya dengan membangun jaringan dengan akademisi dunia. “Ia pun berkali-kali datang ke Indonesia untuk mewujudkan membangun jaringan para akademisi Islam,” papar Adnin.
Akhirnya, gagasan tersebut melahirkan INSIST. Menurut Adnin, melalui lembaga yang berada di bawah naungan Yayasan Bina Peradaban Islam Al-Tamaddun, INSIST menerbitkan jurnal pemikiran Islam, mengadakan workshop, bedah buku dan pemikiran, juga membangun sekolah. “Semua itu dalam rangka merealisasikan proyek Islamisasi ilmu yang diwariskan Prof Al-Attas. Bahkan, kita tengah merancang untuk membuat Sekolah Tinggi Pemikiran Islam,” urai Adnin yang menyelesaikan S2 di ISTAC pada tahun 2003.
Yang lebih membuat Adnin berkesan, di tengah kesibukannya, Prof Wan pernah menyempatkan diri mendatangi kediaman Adnin di bilangan Depok. Kedatangan Prof Wan ke rumahnya, membuat Adnin memiliki kesempatan untuk memperkenalkan gurunya kepada istri dan anak-anaknya. “Saya senang beliau bisa datang ke rumah, sehingga istri dan anak-anak bisa mendengar langsung nasihat yang ia sampaikan,” kenang Adnin.
Demikian juga disampaikan Dr Nirwan Syafrin yang pernah berinteraksi dengan Prof Wan saat menempuh pendidikan S3 di ISTAC. Katanya, Prof Wan begitu peduli dengan mahasiswa. Bahkan, sampai pada hal yang sifatnya pribadi, misalnya keuangan. “Ia pernah membantu saya mendapatkan beasiswa,” ujar pria kelahiran 18 September 1972 ini.
Bagi Prof Wan, mahasiswa merupakan aset yang kelak membangun umat. Untuk itu, kepada para mahasiswa ia mengajarkan seorang harus berprinsip kuat dan memiliki argumen yang kuat. Prinsip kuat itu ia contohkan saat diminta menggantikan posisi Prof Al-Attas memimpin ISTAC. “Ia memilih keluar dari ISTAC, sebagai bentuk kesetiaannya terhadap guru dan prinsip untuk memperjuangkan gagasan besar itu,” papar Nirwan yang meraih gelar doktor pemikiran Islam tahun 2010.
Dalam pengamatan Nirwan, Prof Wan termasuk ilmuwan yang tetap menjaga adab terhadap guru. “Ia mengajarkan bagaimana menjaga adab antara murid dan guru,” kenang Nirwan yang tengah sibuk mengelola Pesantren Husnayain di Sukabumi, Jawa Barat.
Selain itu, menantu Ketua MUI Pusat, KH Cholil Ridwan ini mengakui, Prof Wan sangat terbuka terhadap mahasiswanya yang ingin menuntut ilmu. Kata Nirwan, ia tak sungkan jika ada mahasiswa ingin menemuinya di rumah maupun kantor. “Bahkan, ia membuka lebar bagi mahasiswa yang ingin belajar di perpustakaan rumahnya. Dari situ justru banyak ilmu yang ia sampaikan dibandingkan saat di kelas,” kenang Nirwan.
Apalagi, tambah Nirwan, jika sedang bincang-bincang sambil menyeruput kopi. “Banyak ilmu yang keluar, serta akan tergambar kepeduliannya dalam bicara persoalan umat Islam,” pungkas Nirwan.* Ahmad Damanik/Suara Hidayatullah
Suara Hidayatullah-MEI 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar