Oleh: Arif Munandar Riswanto
http://www.hidayatullah.com/read/28761/29/05/2013/bahasa-antara-islamisasi-dan-sekularisasi.html
PADA tanggal
18 Mei 2012, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyampaikan syarahan
dwi mingguannya pada acara Saturday Night Lecture. Dalam acara yang
diselenggarakan oleh Center for Advanced Studies on Islam Science and Civilization (CASIS)
tersebut, Prof. Al-Attas berbicara panjang lebar tentang bahasa
(language), terutama apa yang dia sebut sebagai “bahasa Islam” (Islamic language). Menurutnya, ada tiga ciri dalam bahasa Islam: pertama, memiliki akar kata; kedua, memiliki pola khusus dalam arti (sehingga menyebabkannya bisa difahami); ketiga, kedua karakteristik tersebut kemudian ditulis oleh para ilmuwan Muslim dalam bentuk kamus-kamus otoritatif.
Prof. al-Attas kemudian menjelaskan bahwa bahasa Islam lahir seiring
dengan proses turunnya wahyu kepada Rasulullah. Wahyu tersebut kemudian
mengislamkan bahasa Arab Jahiliyah. Untuk itulah, menurutnya,
istilah-istilah kunci (key terms) di dalam Islam pada akhirnya
selalu bersumber dari al-Quran. Sebab, al-Quran menjadi bukti paling
sahih proses islamisasi bahasa Arab. Untuk itulah, menurut Prof.
al-Attas, bahwa proses islamisasi (sebuah ide besar dan genuine yang
berasal darinya) harus dimulai dari bahasa—sebagaimana yang dilakukan
oleh al-Quran terhadap bahasa Arab.
Karena telah diislamkan oleh wahyu, istilah-istilah kunci tersebut
pun sifatnya pasti dan tidak berubah-ubah. Dalam hal ini, perubahan
sosial (social change) tidak menjadi faktor dominan dalam
memberikan makna terhadap istilah-istilah kunci tersebut. Untuk itulah,
kalau tidak terjadi kekeliruan dalam ilmu (confusion of knowledge), setiap generasi umat manusia akan memiliki pemahaman yang sama dan tidak berubah terhadap istilah-istilah kunci tersebut.
Namun, menurutnya, upaya islamisasi yang dimulai dari bahasa tersebut
adalah hal yang selama ini selalu bertentangan atau dilawan oleh
orang-orang sekular. Mereka selalu membiarkan perubahan sosial sebagai
faktor dominan untuk mengubah istilah-istilah kunci (Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC 1993,
45-46). Hal tersebut ditambah dengan media massa, majalah, dan berita
yang kemudian menjadi faktor-faktor dominan juga dalam menentukan makna
bahasa serta istilah-istilah kunci. Sama dengan islamisasi, orang-orang
sekular pun kemudian menjadikan bahasa sebagai pintu untuk melakukan
sekularisasi.
Prof. al-Attas menegaskan perihal pemikirannya selama ini tentang
bahasa, terutama istilah-istilah kunci di dalam Islam. Dalam
istilah-istilah kunci tersebut terkandung pandangan Islam tentang
realitas dan kebenaran (Islamic vision of reality and truth) yang menjelaskan tentang pandangan hidup Islam (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, ISTAC: Kuala Lumpur: 2001, 29-30). Hal ini sekaligus menegaskan bahwa bahasa mencerminkan ontologi (language reflects ontology).
Hal inilah yang mungkin menjadi latar belakang kenapa Nabi Adam diajarkan “nama-nama” (al-asma’)
oleh Allah terlebih dahulu. Sebab, nama-nama tersebut adalah bahasa
yang merefleksikan tentang realitas dan kebenaran. Para ahli mantiq pun
kemudian mendefinisikan manusia sebagai “hayawan nathiq” (hewan berbicara). Sifat “bicara” tersebut menjelaskan bahasa yang juga merefleksikan tentang realitas dan kebenaran.
Kedudukan bahasa yang mencerminkan realitas dan kebenaran itulah yang
menjadi latar belakang para ilmuwan Muslim menulis kamus-kamus besar
seperti Lisan al-‘Arab, al-Mufradat fi Gharib al-Qur`an, Kasysyaf al-Ishthilahat al-Funun wa al-‘Ulum, dan Taj al-‘Arus. Bahkan leksikon “kecil” seperti al-Ta’rifat yang
ditulis oleh al-Jurjani pun bertujuan untuk menjaga istilah-istilah
kunci di dalam Islam. Bisa dipastikan, jika istilah-istilah tersebut
dirusak maknanya, akan terjadi kekeliruan dalam ilmu (confusion of knowledge), sebagaimana yang bisa kita lihat dan rasakan pada zaman sekarang.
Kita ambil contoh kata shalat. Sebelum Islam turun, masyarakat Arab
Jahiliyah tidak mengenal shalat sebagai ritual khusus yang dimulai
dengan takbir dan ditutup dengan salam, sebagaimana yang dicontohkan
oleh Rasulullah. Namun, ketika Islam turun, kata shalat kemudian diubah
maknanya sebagai ibadah yang kita kenal selama ini. Karena telah
diislamkan seiring dengan turunnya wahyu, kata shalat tidak bisa
diartikan secara sederhana dengan berdoa (pray) saja. Sebab,
untuk menyebut kata yang berarti “doa”, masih ada kata lain yang bisa
digunakan selain kata shalat. Untuk itulah, agar makna sebuah kata bisa
difahami dengan jelas, para ilmuwan Muslim kemudian membuat batasan
makna sebuah kata dalam bentuk ta’rif, baik yang lughawi (etimologi) ataupun ishthilahi (terminologi).
Di sinilah kenapa istilah-istilah kunci di dalam Islam kemudian
sering tidak bisa diterjemahkan kepada bahasa-bahasa lain. Hal ini
pulalah yang kemudian menyebabkan kata-kata kunci di dalam Islam meresap
kepada bahasa-bahasa lain untuk kemudian menjadi kosakata yang inheren
dalam bahasa-bahasa tersebut—seperti Bahasa Melayu, Persia, Turki, Urdu,
dll. Bahasa-bahasa yang telah dimasuki oleh istilah-istilah kunci
tersebut kemudian disebut oleh Prof. al-Attas sebagai bahasa-bahasa
Islam.
Kemampuan umat Islam untuk menulis leksikon-leksikon pun bisa disebut
sebagai tradisi ilmu yang hanya berkembang dan dimiliki oleh umat
Islam. Tidak ada peradaban dan agama mana pun yang bisa menandingi
kemampuan umat Islam dalam menulis leksikon. Yang lebih mengagumkannya
lagi, leksikon-leksikon tersebut banyak yang ditulis hanya oleh seorang
ilmuwan—bukan ditulis dalam bentuk komite khusus tentang bahasa
sebagaimana yang lazim terjadi pada zaman sekarang.
Deislamisasi Bahasa
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ide-ide yang dibawa oleh
orang-orang sekular selalu bertentangan dengan ide islamisasi. Bahkan,
mereka menjadikan hal yang disebut oleh Prof. al-Attas sebagai
deislamisasi bahasa (deislamization of language) sebagai pintu
untuk merombak konsep-konsep dasar di dalam Islam. Tokoh paling terdepan
yang mencoba melakukan hal tersebut adalah Hasan Hanafi. Proyek
“pembaruan” (tajdid) yang dibawa oleh Hasan Hanafi menjadikan
deislamisasi bahasa sebagai pintu untuk meruntuhkan bahasa Islam. Usaha
tersebut bisa dilihat dengan sangat jelas dalam bukunya yang berjudul “al-Turats wa al-Tajdid” (Beirut:
al-Mu’assasah al-Jamiʿah li al-Dirasat wa al-Nashr wa al-Tawziʿ, 1992).
Hanafi bahkan secara terang-terangan menyebut proyek pembaruannya
sebagai pembaruan bahasa (tajdid lughawi, hal. 110-111).
Istilah-istilah kunci seperti Allah, Rasul, din, al-jannah, al-nar, al-tsawab, al-‘iqab, al-halal, al-haram, dan
lain-lain ingin diruntuhkan maknanya oleh Hasan Hanafi untuk kemudian
diberi makna yang menurutnya “baru”. Hanafi bahkan menyebut
istilah-istilah kunci tersebut sebagai “bahasa tua” (al-lughah al-taqlidiyyah).
Apa yang disebut “bahasa tua” dalam proyek pemikiran Hanafi tentu saja
bermakna bahasa Islam yang mencerminkan realitas dan kebenaran. Alasan
dia meruntuhkan istilah-istilah kunci tersebut karena, “Bahasa tersebut
tidak mampu menjelaskan makna-makna baru yang sesuai dengan tuntutan
zaman. Sebab, ia telah begitu sangat lama berjalan dengan makna-makan
tua yang kita ingin lepas darinya” (hal. 110).
Usaha Hanafi, misalnya ia coba terapkan kepada kata “Allah.”
Menurutnya, “Allah bagi orang lapar adalah roti, Allah bagi hamba sahaya
adalah kebebasan, Allah bagi yang dizalimi adalah keadilan, Allah bagi
yang tidak memiliki perasaan adalah rasa cinta, Allah bagi orang yang
sengsara adalah rasa kenyang. Dengan kata lain, dalam kondisi umum,
Allah adalah jeritan orang-orang tertindas (hal. 113).” Hanafi kemudian
menyarankan agar kata Allah diganti dengan kata al-insan al-kamil.
Menurutnya, kata al-insan al-kamil lebih bisa memberikan makna daripada
kata Allah (hal. 124).
Hal yang dilakukan oleh Hasan Hanafi menegaskan apa yang telah
dijelaskan oleh Prof. al-Attas bahwa orang-orang sekular selalu
menjadikan perubahan sosial sebagai faktor dominan untuk mengubah
istilah-istilah kunci. Sebab, salah satu ciri sekularisme adalah ketika
menjadikan masyarakat sebagai otoritas (authority), final (ultimate), dan kenyataan (real) paling tinggi untuk memberikan definisi ilmu (Prolegomena, hal. 117).
Hal yang dilakukan oleh Hasan Hanafi bukanlah pembaruan, tetapi
penghancuran. Ia hanya akan menyeret kehidupan manusia ke dalam
ketidakpastian, pencarian yang tidak berkesudahan, kebingungan dalam
ilmu, dan kesengsaraan (syaqawah). Proyek seperti itu tidak akan pernah bisa membawa peradaban Islam menjadi peradaban gemilang. Wallahu a’lam.*
Penulis adalah mahasiswa Kandidat Master Center for Advanced
Studies on Islam Science and Civilization, Universiti Teknologi Malaysia
(CASIS-UTM)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar