3. http://pengusahamuslim.com/mengenal-hukum-uang-kertas-12#.UiiAuX-sOSo
Ulama ahli fiqih berbeda persepsi dan
sikap menghadapi uang kertas setelah masyarakat secara umum
menggunakannya sebagai alat jual beli, berikut saya akan menyebutkan
secara global pendapat mereka:
Pendapat pertama: Uang
kertas adalah surat piutang yang dikeluarkan oleh suatu negara, atau
instansi yang ditunjuk. Di antara ulama yang berpendapat dengan
pendapat ini ialah syeikh Muhammad Amin As Syanqithy rahimahullah,
Ahmad Husaini dan penulis kitab Al Fiqhu ‘Ala Al Mazahib Al Arba’ah (baca Adwa’ul Bayan oleh asy-Syinqithy 8/500, Bahjatul Musytaaq Fi Hukmi Zakaat al-Auraaq, dan al-Fiqhu ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah 1/605).
Pendapat ini lemah atau kurang kuat,
dikarenakan bila pendapat ini benar-benar diterapkan, berarti tidak
dibenarkan membeli sesuatu yang belum ada atau yang disebut dengan
pemesanan atau salam, karena menurut pendapat ini akad tersebut
menjadi jual-beli piutang dengan dibayar piutang, dan itu dilarang
dalam syari’at Islam.
عن ابن عمر رضي الله عنهما : عن النبي صلّى الله عليه وسلّم : (أنه نهى عن بيع الكالئ بالكالئ). رواه الحاكم والدَّارقطني
“Dari sahabat Ibnu Umar radhiallahu
‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannnya beliau
melarang jual-beli piutang dengan dibayar piutang.” (HR. al-Hakim, ad-Daraquthny dan didhaifkan oleh al-Albany).
Walaupun hadits ini dilemahkan oleh
banyak ulama, akan tetapi larangan jual-beli piutang dengan pembayaran
dihutang telah disepakati oleh para ulama (baca Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 30/264, I’ilamul Muwaqi’in oleh Ibnul Qayyim 3/340, Talkhishul Habir oleh Ibnu Hajar al-Asqalany 3/26).
Pendapat kedua: Uang
kertas adalah salah satu bentuk barang dagangan. Pendapat ini dianut
oleh banyak ulama madzhab Maliky, sebagaimana ditegaskan dalam kitab al-Hawi ‘Ala ash-Showy (Al-Hawi ‘Ala ash-Showy Bi Hasyiyati asy-Syarh ash-Shaghir,
4/42-86). Dan di antara yang menguatkan pendapat ini ialah Syaikh
Abdurrahman as-Sa’dy rahimahullah (sebagaimana beliau nyatakan dalam
kitab Fatawa as-Sa’diyyah, hal. 319-324).
Sebagaimana pendapat sebelumnya, pendapat
ini ketika diterapkan dan dicermati dengan seksama akan nampak
berbagai sisi kelemahannya, di antaranya ialah pendapat ini akan
membuka lebar-lebar berbagai praktik riba dan menggugurkan kewajiban
zakat dari kebanyakan umat manusia. Hal ini dikarenakan uang yang
berlaku pada zaman sekarang terbuat dari kertas, sehingga
-konsekuensinya- tidak dapat di-qiyas-kan dengan keenam komoditi riba
di atas. Sebagaimana halnya zakat mal tidak dapat dipungut dari orang
yang kekayaannya terwujud dalam uang kertas, berapapun jumlahnya,
karena kertas bukan termasuk harta yang dikenai zakat, bila tidak
dijadikan sebagai barang perniagaan.
Pendapat ketiga: Uang
kertas disamakan dengan fulus (yaitu alat jual beli yang terbuat dari
selain emas dan perak, dan digunakan untuk membeli kebutuhan yang
ringan. Biasanya terbuat dari tembaga atau yang serupa. Dan biasanya
fulus semacam ini pada masyarakat zaman dahulu, berubah-rubah
pengunaannya, kadang kala berlaku, dan kadang kala tidak), dan
pendapat ini walaupun sekilas terlihat kuat, akan tetapi perbedaan
fungsinya dengan uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang
menjadikannya pendapat yang lemah. Sebab, fulus digunakan untuk membeli
barang-barang yang sepele, berbeda halnya dengan uang kertas yang
berlaku pada zaman sekarang.
Pendapat ketiga ini tidak jauh beda
dengan dua pendapat sebelumnya, yaitu memiliki banyak kelemahan, di
antaranya: pendapat ini tidak selaras dengan kenyataan, sebab uang
kertas yang berlaku pada zaman sekarang ini berfungsi sebagai alat
jual-beli, bukan hanya dalam hal-hal yang remeh dan murah, akan tetapi
dalam segala hal, sampaipun barang yang termahal dapat dibeli
dengannya. Tentu fenomena ini menyelisihi fenomena fulus pada zaman
dahulu, yang hanya digunakan sebagai alat jual-beli barang-barang yang
remeh.
Pendapat keempat: Uang
kertas merupakan pengganti uang emas dan perak. Dengan demikian, uang
kertas yang beredar di dunia sekarang hanya terbagi menjadi dua jenis,
yaitu uang kertas sebagai pengganti emas atau perak. Pendapat ini
merupakan pendapat kebanyakan ulama fiqih pada zaman sekarang.
Walau demikian, pendapat ini tidak
sejalan dengan kenyataan, sebab uang kertas yang beredar di dunia
sekarang ini tidak sebagai pengganti emas dan perak, dan juga tidak
ada jaminannya dalam wujud emas atau perak. Uang kertas berlaku hanya
semata-mata diberlakukan oleh pemerintah setempat, bukan karena ada
jaminannya berupa emas atau perak.
Ditambah lagi, pendapat ini tidak mungkin
untuk diterapkan, terutama pada saat kita hendak tukar menukar mata
uang, karena -menurut pendapat ini- kita harus terlebih dahulu
menyelidiki, apakah asal-usul mata uang yang hendak kita tukarkan,
bila sama-sama berasalkan dari uang perak, maka tidak dibenarkan untuk
melebihkan nilai tukar salah satunya, dan bila berbeda asal-usulnya,
maka boleh membedakan nilai tukarnya, walau harus dengan cara kontan.
Pendapat kelima: Uang
kertas adalah mata uang tersendiri sebagaimana halnya uang emas dan
perak, sehingga uang kertas yang beredar di dunia sekarang ini
berbeda-beda jenisnya selaras dengan perbedaan negara yang
mengeluarkannya.
Pendapat kelima inilah yang terbukti
selaras dengan fakta dan mungkin untuk diterapkan pada kehidupan umat
manusia sekarang ini (bagi yang ingin mendapatkan pembahasan panjang
lebar tentang permasalahan hukum uang kertas, silakan membaca kitab: Al-Waraq an-Naqdy oleh Syaikh Abdullah bin Sulaiman al-Mani’, Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi 1 dan 39, dan Zakaat al-Ashum wa al-Waraq an-Naqdy oleh Syaikh Shaleh bin Ghanim as-Sadlaan).
==00O00==
Bila hal ini telah jelas, maka berikut
beberapa fatwa Komite Tetap untuk Riset Ilmiyyah dan Fatwa Kerajaan
Saudi Arabia, seputar permasalahan jual beli valuta asing:
Pertanyaan:
Apakah hukum riba berlaku pada fulus, dan
pada mata uang lira Turky yang bergambarkan/berlogokan dengan gambar
tertentu, baik yang terbuat dari kertas atau perunggu, demikian juga
halnya dengan mata uang reyal Saudi Arabia, atau tidak berlaku?
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab syariat (kitab fiqih): uang
fulus (uang logam) tidak berlaku padanya hukum riba. Dan sebagaimana
dinyatakan oleh Imam asy-Syafi’i dalam kitab (Al-Umm), “Dan
bahwasannya fulus bukanlah sebagai alat untuk menghargai barang-barang
yang dirusakkan (oleh orang lain), karena fulus tidak wajib dizakati,
dan tidak berlaku padanya hukum riba.”
Jawaban:
Pada pertemuan yang telah lalu, Komite
Kibarul Ulama telah mengkaji permasalahan uang kertas, dan telah
menetapkan suatu keputusan dengan cara suara terbanyak, di antara
point keputusan tersebut ialah:
Pertama: Kedua macam
riba dapat berlaku pada uang kertas, sebagaimana kedua macam riba
berlaku pada emas dan perak, dan alat jual beli lainnya, seperti
fulus. Keputusan ini berartikan sebagai berikut:
A. Tidak dibolehkan sama sekali untuk
memperjual-belikan uang kertas yang sama atau dengan uang kertas jenis
lainnya dengan cara pembayaran dihutang, misalnya: menjual uang dolar
Amerika dengan harga lima reyal Saudi atau lebih atau kurang dengan
pembayaran dihutang.
B. Tidak boleh menjual-belikan mata uang
yang sama dengan cara melebihkan sebagiannya di atas sebagian yang
lain, baik dengan pembayaran dihutang atau kontan, sehingga tidak
dibolehkan -misalnya- menjual sepuluh reyal uang kertas Saudi dengan
harga sebelas reyal uang kertas Saudi.
C. Boleh memperjual-belikan sebagian uang
kertas dengan sebagian uang kertas jenis lain dengan cara apapun,
asalkan pembayaran dengan cara kontan. Sehingga, boleh menjual uang
satu lira Suria atau Lebanon dengan uang satu reyal Saudi, baik yang
terbuat dari logam atau kertas, atau dengan harga lebih murah atau
lebih mahal. Dan boleh menjual satu dolar Amerika dengan tiga reyal
Saudi atau lebih murah atau dengan lebih mahal, selama jual-beli
tersebut dilakukan dengan cara kontan. Demikian juga boleh menjual
satu reyal Saudi perak dengan harga tiga reyal Saudi kertas, atau
lebih mahal atau lebih murah, bila itu dilakukan dengan cara kontan.
Karena, yang demikian itu dianggap menjual satu jenis uang dengan uang
jenis lainnya, dan kesamaan dalam nama akan tetapi berbeda hakikat
tidak ada pengaruhnya.
Kedua: Wajib menzakati
uang kertas bila nominasinya telah mencapai nishab termurah, baik
nishab emas atau perak, atau nishab digenapkan dengan uang lainnya
atau dengan barang perniagaan, selama barang tersebut adalah milik
penjualnya.
Ketiga: Boleh menjadikan uang kertas sebagai modal dalam akad salam/pemesanan dan juga dalam serikat dagang.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya (Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah 13/442, fatwa no. 3291).
Pertanyaan:
Sebagaimana yang Anda ketahui, bahwa di
antara bentuk perniagaan yang ada di masyarakat, terutama yang terjadi
sesama mereka sekarang ialah memperjual-belikan berbagai mata uang
sebagiannya dengan sebagian yang lain. Misalnya, uang dolar dijual
dengan uang reyal, reyal dijual dengan poundsterling, dan
poundsterling dibeli dengan dinar Kuwait, dan demikian seterusnya.
Sebagaimana diketahui, bahwa masing-masing mata uang memiliki harga
jual dan harga beli dengan mata uang lokal, yaitu reyal bagi
masyarakat Saudi Arabia. Seandainya kita -misalnya- menginginkan
menjual uang dolar yang kita miliki ke salah seorang pedagang falas,
maka ia akan membelinya dengan harga 3,25 (tiga reyal koma dua puluh
halalah/sen). Akan tetapi, bila kita hendak membeli darinya uang
dolar, niscaya ia akan menjualnya kepada kita dengan harga 3,30 (tiga
reyal koma tiga puluh halalah/sen). Yaitu, antara harga jual dan beli
terpaut lima halalah/sen. Melihat transaksi yang berjalan semacam ini,
kami hendak bertanya kepada Anda tetang beberapa pertanyaan berikut:
A. Apakah transaksi di atas benar dan boleh menurut syariat, dan apakah kita dapat menamakannya dengan jual-beli?
B. Bila transaksi tersebut boleh, maka
apa dalil yang membedakan antara mata uang dengan komoditi riba yang
-sebagaimana yang Anda ketahui- tidak dibolehkan untuk melebihkan
salah satunya ketika dibarterkan?
Jawaban:
Jawaban pertanyaan A:
Transaksi tersebut merupakan transaksi antara dua komoditi riba, dan
transaksi itu dibolehkan asalkan dilakukan dengan cara kontan,
walaupun terjadi perbedaan antara keduanya; dikarenakan perbedaan
jenis antara keduanya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لا تبيعوا الذهب بالذهب إلا مثلا بمثل، ولا
تشفوا بعضها على بعض، ولا تبيعوا الورق بالورق إلا مثلا بمثل، ولا تشفوا
بعضها على بعض، ولا تبيعوا منها غائبا بناجز. رواه البخاري ومسلم
“Janganlah engkau jual emas ditukar
dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau lebihkan
sebagiannya di atas sebaian lainnya. Janganlah engkau jual perak
ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau
lebihkan sebagiannya di atas sebaian lainnya. Dan janganlah engkau
jual sebagiannya yang diserahkan dengan kontan ditukar dengan lainnya
yang tidak diserahkan dengan kontan.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).
Dan uang kertas dihukumi sama dengan
kedua mata uang: emas dan perak. Dan uang kertas yang disebutkan dalam
pertanyaan berbeda jenisnya, sehingga boleh untuk dilebihkan sebagian
dari sebagian lainnya. Karena, setiap mata uang kertas dianggap
sebagai satu jenis tersendiri selaras dengan negara yang
mengeluarkannya. Akan tetapi, transaksi tersebut harus dilakukan
dengan cara kontan; dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang dari memperjual-belikan sebagiannya yang tidak hadir ketika
transaksi dengan sebagian lainnya yang telah hadir pada saat transaksi
berlangsung. Dan transaksi ini disebut dengan Ash-Sharfu
(tukar-menukar), dan itu adalah salah satu bentuk akad jual-beli.
Jawaban pertanyaan B:
Demikian juga halnya dengan komoditi riba lainnya, seperti gandum,
sya’iir, kurma, dan kismis, boleh untuk menukarkan di antaranya walau
sama jenisnya dengan syarat sama timbangannya dan dengan cara kontan
pada waktu akad berlangsung. Dan boleh melebihkan sebagiannya bila
berbeda jenis, asalkan transaksi dengan cara kontan, tidak ada yang
ditunda dari saat transaksi berlangsung. Dan diharamkan untuk
melebihkan sebagiannya, baik akad dilakukan dengan kontan atau
dihutang bila jenis kedua barang adalah sama, dan haram menunda salah
satu barang (yang dibarterkan), baik kedua barang sama jenis atau
berbeda, demikian juga haram menunda salah satunya, kecuali bila salah
satu komoditi riba tersebut berupa uang, sedangkan barang lainnya
berupa selain uang, sebagaimana halnya yang terjadi pada transaksi
salam (pemesanan) atau penjualan yang denganbayaran dihutang.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya (Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah 13/439, fatwa no. 3037).
4. http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/
Berikut
penjelasan mengenai uang kertas menurut bahasa, definisi Ilmu Ekonomi
dan menurut ulama fikih. Bahwa uang kertas alat pembayaran independen,
berlaku padanya semua hukum alat tukar yang berlaku pada emas dan perak
adalah pendapat mayoritas sekaligus fatwa ulama di Kerajaan Saudi
Arabia.
Tidak dipungkiri,
penyebaran dan penggunaan uang kertas sudah merata dalam semua muamalat
jual-beli sekarang ini. Sebagian kaum Muslimin memandang uang kertas
sebagai penyebab kemunduran ekonomi umat sehingga harus kembali ke mata
uang emas (Dinar) dan perak (Dirham). Bahkan ada yang mengharamkan mata
uang kertas. Bagaimana sebenarnya masalah uang kertas dalam pandangan
Islam dan apa hakekat mata uang dalam Islam, bagaimana bisa membuat
orang menggunakan uang kertas dalam kehiduapan mereka. Semoga penjelasan
ini memberi wacana dan pencerahan.
Hakekat Mata Uang
Sudah dimaklumi, sumber hukum Islam
berbahasa Arab dan para ulama Islam seluruhnya selalu menyertakan
pengertian sebuah istilah kepada istilah yang berlaku dalam syariat yang
umumnya berbahasa Arab. Demikian juga mata uang yang memang sudah ada
dan berlaku di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan setelahnya.
Oleh karena itu perlu sekali melihat istilah mata uang menurut bahasa
Arab dan terminologi ulama syariat.
Mata uang dalam bahasa Arabnya adalah النقد (an-naqd). Kata an-naqd dalam
bahasa Arab memiliki beberapa pengertian. Di antaranya, petunjuk atas
menonjolnya sesuatu dan penonjolannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Faris.
Juga bermakna pembuktian, seperti dalam pernyataan orang Arab: نقد
الدراهم , yang berarti membuktikan keadaan Dirham dan membuang bagian
yang palsu di dalamnya. Kata النقد juga bermakna memberi atau menerima
secara tunai, lawan dari kata النسيئة (tunda). Anda berkata, نقدت
الدراهم , yang artinya, “Aku membayarnya dengan Dirham secara kontan.”
(Lihat Mu’jam Maqayis al-Lughah kata ن ق د. )
Adapun secara istilah, kata النقد ,
menurut pakar fikih, digunakan untuk menyebut emas, perak atau benda
lainnya yang dipakai oleh masyarakat dalam muamalat mereka. (Lihat al-Qamus al-Muhith
kata ن ق د hal. 412). Adapun menurut ahli ekonomi zaman ini,
didefinisikanc dengan, “Segala sesuatu yang diterima secara luas sebagai
perantara barter di antara masyarakat. Hal ini berarti an-naqd merupakan tolok ukur bagi harga, alat pembayaran dan bisa disimpan dan ini adalah fungsi dari uang.
Mata Uang didefinisikan sebagai setiap
alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar dapat berupa
benda apa pun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa.
Dalam Ilmu Ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang
tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian
barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lain, serta untuk
pembayaran hutang. Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
Keberadaan uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter
yang lebih kompleks, tidak efisien, dan kurang cocok digunakan dalam
sistem ekonomi modern, karena membutuhkan orang yang memiliki keinginan
yang sama untuk melakukan pertukaran dan juga kesulitan dalam penentuan
nilai. Efisiensi yang didapatkan dengan menggunakan uang pada akhirnya
mendorong perdagangan dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan
meningkatkan produktivitas dan kemakmuran.
Tidak Semua Benda Bisa Menjadi uang?
Dengan demikian dapat disimpulkan suatu
benda dapat dijadikan sebagai “mata uang” jika benda tersebut bisa
diterima secara umum (acceptability) sebagai alat tukar dan harus ada jaminan keberadaannya oleh pemerintah
yang berkuasa atau badan yang diakui dunia serta menjadi tolok ukur
harga barang dan dapat disimpan lama sehingga bahan yang dijadikan uang
harus tahan lama (durability).
Perkembangan Uang Kertas
Manusia di awal kehidupannya melakukan
jual-beli melalui barter, kemudian tidak lagi menggunakannya karena
mengandung banyak kesulitan. Mereka pun memilih sebagian barang sebagai
alat pembayaran untuk tukar-menukar terkait dengan barang yang mereka
perlukan, seperti bahan makanan pokok dan kulit. Kemudian mereka
meninggalkan cara ini karena cara ini membutuhkan pemindahan dan
dipanggul. Lalu manusia mencari sesuatu yang lebih ringan daripada
barang. Hasilnya, mereka menemukan emas dan perak. Mereka pun
menggunakan keduanya sebagai alat tukar barang-barang. Berkembang emas
dan perak dicetak sehingga ia menjadi potongan-potongan yang sama dari
sisi bentuk dan beratnya dan ditandai dengan sesuatu yang menetapkan
keasliannya.
Kemudian masyarakat – apalagi para
pedagang – mulai menitipkan uang emas dan perak mereka kepada para
bandar uang dan pembuatnya karena takut dari pencurian. Sebagai bukti
penitipan mereka menerima surat bukti penitipan. Manakala kepercayaan
masyarakat kepada para bandar uang semakin meningkat, surat bukti
penitipan berubah menjadi alat pembayaran atas transaksi jual-beli suatu
barang. Inilah awal-mula penggunaan uang kertas, sekalipun saat itu
belum memiliki bentuk resmi dan belum ada kekuasaan yang memaksa
masyarakat untuk menerimannya.
Manakala peredaran surat bukti
penitipan semakin meluas, kertas-kertas tersebut berubah menjadi bentuk
yang resmi yang dikenal dengan nama banknote yang menggantikan
peran emas secara sempurna. Bank sendiri berpegang dengan tidak
menerbitkan kertas-kertas tersebut kecuali berdasarkan emas yang
dimilikinya, sebagaimana negara-negara mulai menjadikannya sebagai harga
secara undang-undang dan memaksa masyarakat untuk menerimanya pada 1254
H (1833 M).
Kemudian, ketika negara-negara tersebut
memerlukan uang, mereka pun mencetaknya dalam jumlah besar yang
mengungguli emas yang dimiliknya. Ini pun laku keras di kalangan
manusia, karena mereka percaya sumber yang mengeluarkannya bisa
merubahnya kepada emas. Tetapi kenyataannya, kertas-kertas tersebut
semakin meningkat sehingga mengungguli emas yang dimiliki negara secara
berlipat-lipat. Pemerintah mulai menerapkan syarat-syarat yang sangat
ketat terhadap siapa yang hendak merubah kertas-kertas tersebut kepada
emas.
Pada 1325 H, bertepatan dengan 1931 M,
pemerintah Inggris melarang kertas-kertas tersebut dirubah menjadi emas
secara mutlak dan memaksa masyarakat menerima kertas-kertas tersebut
sebagai ganti emas. Langkah ini diikuti pemerintah Amerika Serikat pada
1355 H (1934 M). Sekalipun demikian, negara-negara tersebut tetap
memegang perinsip pensetaraan mata uangnya kepada emas saat ia
bertransaksi dengan negara lain. Iinilah yang dikenal dengan Qaidah at-Ta’amul bidz Dzahab
(Kaidah Muamalat dengan Emas). Kaidah ini terus dipraktikkan sampai
1392 H (1971 M), ketika Amerika Serikat terpaksa menghentikan hal itu
karena minimnya emas dalam negeri. Dengan ini matilah bentuk terakhir
dari bentuk-bentuk dukungan emas kepada mata uang kertas. (Lihat Ahkam al-Auraq an-Nuqud wal Umlat karya al-Qadhi al-Utsmani, salah satu makalah majalah Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami No. 3 juz 3 1685, Mudzakkirat fi an-Nuqud wal Bunuk hal. 18, al-Waraq an-Naqdi, Haqiqatuhu, Tarikhuhu, Qimatuhu, Hukmuhu hal. 23)
Uang Kertas menurut Ulama Fikih
Dari perkembangan perubahan fase uang
kertas, lahirlah khilaf di kalangan para fuqaha zaman ini terkait
hakikatnya dari sudut pandang fikih menjadi lima pendapat.
Pendapat pertama, uang
kertas adalah bukti utang yang ditanggung oleh penerbitnya. Utang ini
diwujudkan dalam bentuk nominal yang ditulis di secarik kertas tersebut.
Inilah pendapat Ahmad al-Husaini, Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dan
lainnya. (Lihat Bahjah al-Musytaq fi Bayan Zakati Amwalil Auraq hal. 22 dan Adhwa`ul Bayan 1/225)
Pendapat kedua, uang
kertas adalah barang perniagaan yang memiliki hukum-hukum barang
perniagaan. Uang kertas tidak memiliki kriteria sebagai alat pembayaran,
tetapi sama dengan barang perniagaan lainnya. Inilah pendapat Syaikh
Abdurrahman as-Sa’di dan Syaikh Hasan Ayyub. (Lihat Al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 315, Al-Auraq an-Naqdiyah fil Iqtishad al-Islami, Qimatuha wa Ahakmuha hal. 173, Al-Waraq an-Naqdi hal. 55)
Pendapat ketiga, uang kertas sama dengan fulus
dalam statusnya sebagai alat pembayaran. Fulus (الفلوس) adalah jamak
dari فلس. Yaitu barang tambang selain emas dan perak yang dicetak dalam
bentuk koin (keping) sebagai alat pembayaran yang digunakan dalam alat
transaksi menurut kesepakatan dan kebiasaan masyarakat. (Lihat al-Misbah al-Munir hal. 481, Mu’jam al-Mushthalahat al-Iqtishadiyah fi Lughatil Fuqaha`
hal. 270). Ini pendapat Syaikh Ahmad al-Khathib, Syaikh Ahmad az-Zarqa,
Syaikh Abdullah al-Bassam, Dr Mahmud al-Khalidi, Qadhi Muhammad Taqi
al-Utsmani dan lainnya. (simak: Al-Waraq an-Naqdi karya Ibnu Mani’ hal. 65, Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah hal. 174, Zakah an-Nuqud al-Waraqiyah al-Muashirah hal. 90 dalam majalah al-Buhuts al-Islamiyyah No. 3/3/1697, 1941, 1955)
Pendapat keempat, uang kertas adalah pengganti emas dan perak dan mengambil fungsi keduanya. Ini adalah pendapat Syaikh Abdurrazzaq Afifi. (Al-Auraq an-Naqdiyyah fil Iqtishad al-Islami hal. 204)
Pendapat kelima, uang
kertas adalah alat pembayaran independen yang berdiri sendiri, berlaku
padanya semua hukum alat tukar yang berlaku pada emas dan perak. Setiap
mata uang dianggap sebagai satu jenis yang independen. Ini adalah
pendapat mayoritas ulama sekaligus merupakan fatwa Hai`ah Kibar Ulama di
Kerajaan Saudi Arabia, Al-Majma’ al-Fiqhi di Makkah, yang berafiliasi kepada Kongres Muktamar Islam (OKI). (simak majalah al-Buhuts al-Islamiyyah no. 31 hal. 376, keputusan No. 10, majalah Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami No. 3 juz 3, keputusan keenam Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami di Makkah hal. 1893 dan keputusan No. 9 Mujamma’ al-Fiqh al-Islami dalam daurah-nya yang ketiga di Oman hal. 1965 dan lihat juga hal. 1935, 1939 dan 1955)
Dalil pendapat kelima: uang kertas
telah mengambil peranan sebagai uang (alat pembayaran), karena ia telah
menjadi standar nilai harga dan penyebab pelunasan pembayaran serta
simpanan kekayaan yang mungkin ditabung saat diperlukan. Juga tingkat
kepercayaan masyarakat kepadanya sangat kuat dalam bertransaksi
dengannya karena adanya undang-undang dan perlindungan negara. Kriteria
alat pembayaran bukan monopoli emas dan perak. Tetapi bisa dimiliki oleh
selain emas dan perak yang dijadikan oleh masyarakat sebagai uang yang
memegang peranan dan fungsi uang, termasuk dalam hal ini adalah
kertas-kertas tersebut. (Al-Waraq an-Naqdi hal. 113)
Pendapat kelima-lah yang rajih
(kuat), karena keakuratan dalilnya, ditambah bebasnya dari celah untuk
disanggah dan konsekuensi-konsekuensi (yang melemahkannya). Inilah
keputusan Al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami di Makkah. Teks keputusan tersebut adalah:
Pertama, berpijak
kepada hukum asal alat pembayaran adalah emas dan perak dan berpijak
kepada illat (sebab hukum) berlakunya hukum riba pada keduanya adalah tsamaniyah (standar alat pembayaran) menurut pendapat yang paling shahih di kalangan fuqaha syariat. Dengan dasar Kriteria tsamaniyah ini menurut para fuqaha
tidak hanya terbatas pada emas dan perak sekalipun tambang emas dan
perak ini merupakan asal. Ditambah mata uang kertas telah menjadi sebuah
alat pembayaran yang memiliki harga dan berperan layaknya emas dan
perak dalam penggunaannya. Uang kertas telah menjadi standar ukuran
nilai barang-barang di zaman ini, karena penggunaan emas dan perak telah
mundur dari peredaran dan jiwa masyarakat merasa tenang dengan
menyimpannya dan menganggapnya sebagai uang. Penunaian pembayaran yang
sah terwujud dengannya dalam skala umum. Sekalipun harganya bukan pada dzat-nya,
akan tetapi karena faktor luar, yaitu terwujudnya kepercayaan
masyarakat terhadapnya sebagai sarana pembayaran dan pertukaran. Inilah
titik pertimbangan kuat bagi sisi tsamaniyah padanya.
Karena kesimpulan tentang illat berlakunya hukum riba pada emas dan perak adalah tsamaniyah dan illat ini juga terwujud pada uang kertas. Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas seluruhnya, Majlis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami
menetapkan bahwa mata uang kertas merupakan alat pembayaran yang
berdiri sendiri dan mengambil hukum emas dan perak, sehingga zakat wajib
padanya dan berlaku riba dengan kedua macamnya pada uang kertas ini,
baik riba nasiah maupun riba fadhl. Sebagaimana hal itu berlaku pada emas dan perak secara sempurna dengan mempertimbangkan kriteria tsamaniyah pada mata uang kertas, sehingga ia diqiyaskan
kepada emas dan perak. Dengan demikian mata uang kertas mengambil
hukum-hukum uang dalam segala keterkaitan yang ditetapkan syariat.
Kedua, uang kertas
dianggap sebagai alat bayar independen sebagaimana berlaku nya fungsi
ini pada emas, perak dan benda-benda berharga lainnya. Demikian juga
uang kertas diklasifikasikan sebagai jenis-jenis yang berbeda-beda dan
beraneka-ragam sesuai dengan pihak penerbitnya di negara-negara yang
berbeda-beda pula. Artinya uang kertas Saudi Arabia adalah satu jenis
dan uang kertas Amerika adalah satu jenis. Begitulah setiap uang kertas
adalah satu jenis independen secara dzat-nya. Dengan demikian hukum riba dengan kedua macamnya, riba fadhl dan riba nasiah, berlaku padanya, sebagaimana kedua riba ini berlaku pada emas dan perak serta barang berharga lainnya.
Konsekuensinya adalah:
- Tidak boleh menjual mata uang sebagian
dengan sebagian yang lain atau dengan mata uang yang berbeda dari
jenis-jenis alat pembayaran lainnya berupa emas atau perak atau selain
keduanya secara nasiah (tunda) secara mutlak, tidak boleh
misalnya menjual 10 riyal Saudi dengan mata uang lain dengan selisih
harga secara tunda tanpa serah terima secara kontan.
- Tidak boleh menjual satu jenis mata
uang dengan jenisnya sendiri, ketika salah satunya lebih banyak dari
yang lain, baik hal itu dilakukan secara kontan maupun tunda. Tidak
boleh, contoh, menjual 10 riyal Saudi kertas dengan 11 riyal Saudi
kertas secara kontan maupun tunda.
- Boleh menjual satu jenis mata uang
dengan jenis lain yang berbeda bila hal itu dilakukan secara kontan.
Diperbolehkan menjual Lira Suriah atau Lebanon dengan riyal Saudi, baik
berupa uang kertas atau perak dalam jumlah yang sama atau lebih murah
atau lebih tinggi. Juga diperbolehkan menjual dolar Amerika dengan 3
riyal Saudi atau lebih rendah dari itu atau lebih tinggi bila hal itu
terjadi secara kontan. Seperti ini juga pembolehan menjual riyal Saudi
perak dengan 3 riyal Saudi kertas atau kurang atau lebih tinggi dari
itu, bila hal itu dilakukan secara kontan. Karena dalam kasus ini
dianggap menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang lain, sekedar
kesamaan nama tidak berpengaruh karena hakikat keduanya tidak sama.
Ketiga, kewajiban zakat pada uang kertas bila nilainya sudah mencapai nishob terendah dari nishob emas atau perak atau nishob-nya terwujud dengan menggabungkannya dengan harta berharga lainnya dan harga barang yang disiapkan untuk diperdagangkan.
Keempat, boleh menjadikan mata uang kertas sebagai modal dalam jual-beli salam dan serikat kerja sama.
Wallahu a’lam dan taufik hanya dari-Nya. Shalawat dan salam kepada Sayyidina Muhammad, keluarga dan para sahabatnya. (Keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami pada daurah-nya yang kelima No. 1/193)
Pendapat di atas juga merupakan pendapat Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami yang berafiliasi kepada Kongres Muktamar Islam. (Keputusan No. 21, 9/3 hal. 40, di antara keputusan dan nasihat Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami, sekaligus merupakan fatwa Ha`iah Kibar Ulama Kerajaan Saudi Arabia, sebagaimana dimuat majalah al-Buhuts al-Islamiyah 1/220)
Menerbitkan Mata Uang = Melakukan Transaksi Riba?
Dari penjelasan tersebut, menerbitkan
mata uang kertas tidak berarti melakukan transaksi ribawi. Uang kertas
sama dengan emas dan perak menjadi komoditi ribawi. Bila menerbitkan
mata uang kertas sama dengan melakukan transaksi riba, konsekuensinya,
menerbitkan uang emas dan perak juga melakukan transaksi ribawi.
Tentunya tidak ada seorangpun yang berani nekat menyatakan pendapat
demikian.
Oleh karena itu marilah kita telaah
kembali syariat Islam dan tidak gegabah dalam menghukum sesuatu adalah
ribawi atau tidak, karena permasalahan tidaklah mudah dan remeh.
Ingatlah dengan peringatan imam Ibnu Katsir: “Bab (pembahasan) riba
termasuk pembahasan yang paling rumit bagi banyak ulama.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/327) (PM)
Kholid Syamhudi, Lc.
(Rubrik Kontroversi Edisi 28/Juni 2012)
- See more at: http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/#sthash.hcR69bs8.dpuf
Berikut
penjelasan mengenai uang kertas menurut bahasa, definisi Ilmu Ekonomi
dan menurut ulama fikih. Bahwa uang kertas alat pembayaran independen,
berlaku padanya semua hukum alat tukar yang berlaku pada emas dan perak
adalah pendapat mayoritas sekaligus fatwa ulama di Kerajaan Saudi
Arabia.
Tidak dipungkiri,
penyebaran dan penggunaan uang kertas sudah merata dalam semua muamalat
jual-beli sekarang ini. Sebagian kaum Muslimin memandang uang kertas
sebagai penyebab kemunduran ekonomi umat sehingga harus kembali ke mata
uang emas (Dinar) dan perak (Dirham). Bahkan ada yang mengharamkan mata
uang kertas. Bagaimana sebenarnya masalah uang kertas dalam pandangan
Islam dan apa hakekat mata uang dalam Islam, bagaimana bisa membuat
orang menggunakan uang kertas dalam kehiduapan mereka. Semoga penjelasan
ini memberi wacana dan pencerahan.
Hakekat Mata Uang
Sudah dimaklumi, sumber hukum Islam
berbahasa Arab dan para ulama Islam seluruhnya selalu menyertakan
pengertian sebuah istilah kepada istilah yang berlaku dalam syariat yang
umumnya berbahasa Arab. Demikian juga mata uang yang memang sudah ada
dan berlaku di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan setelahnya.
Oleh karena itu perlu sekali melihat istilah mata uang menurut bahasa
Arab dan terminologi ulama syariat.
Mata uang dalam bahasa Arabnya adalah النقد (an-naqd). Kata an-naqd dalam
bahasa Arab memiliki beberapa pengertian. Di antaranya, petunjuk atas
menonjolnya sesuatu dan penonjolannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Faris.
Juga bermakna pembuktian, seperti dalam pernyataan orang Arab: نقد
الدراهم , yang berarti membuktikan keadaan Dirham dan membuang bagian
yang palsu di dalamnya. Kata النقد juga bermakna memberi atau menerima
secara tunai, lawan dari kata النسيئة (tunda). Anda berkata, نقدت
الدراهم , yang artinya, “Aku membayarnya dengan Dirham secara kontan.”
(Lihat Mu’jam Maqayis al-Lughah kata ن ق د. )
Adapun secara istilah, kata النقد ,
menurut pakar fikih, digunakan untuk menyebut emas, perak atau benda
lainnya yang dipakai oleh masyarakat dalam muamalat mereka. (Lihat al-Qamus al-Muhith
kata ن ق د hal. 412). Adapun menurut ahli ekonomi zaman ini,
didefinisikanc dengan, “Segala sesuatu yang diterima secara luas sebagai
perantara barter di antara masyarakat. Hal ini berarti an-naqd merupakan tolok ukur bagi harga, alat pembayaran dan bisa disimpan dan ini adalah fungsi dari uang.
Mata Uang didefinisikan sebagai setiap
alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar dapat berupa
benda apa pun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa.
Dalam Ilmu Ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang
tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian
barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lain, serta untuk
pembayaran hutang. Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
Keberadaan uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter
yang lebih kompleks, tidak efisien, dan kurang cocok digunakan dalam
sistem ekonomi modern, karena membutuhkan orang yang memiliki keinginan
yang sama untuk melakukan pertukaran dan juga kesulitan dalam penentuan
nilai. Efisiensi yang didapatkan dengan menggunakan uang pada akhirnya
mendorong perdagangan dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan
meningkatkan produktivitas dan kemakmuran.
Tidak Semua Benda Bisa Menjadi uang?
Dengan demikian dapat disimpulkan suatu
benda dapat dijadikan sebagai “mata uang” jika benda tersebut bisa
diterima secara umum (acceptability) sebagai alat tukar dan harus ada jaminan keberadaannya oleh pemerintah
yang berkuasa atau badan yang diakui dunia serta menjadi tolok ukur
harga barang dan dapat disimpan lama sehingga bahan yang dijadikan uang
harus tahan lama (durability).
Perkembangan Uang Kertas
Manusia di awal kehidupannya melakukan
jual-beli melalui barter, kemudian tidak lagi menggunakannya karena
mengandung banyak kesulitan. Mereka pun memilih sebagian barang sebagai
alat pembayaran untuk tukar-menukar terkait dengan barang yang mereka
perlukan, seperti bahan makanan pokok dan kulit. Kemudian mereka
meninggalkan cara ini karena cara ini membutuhkan pemindahan dan
dipanggul. Lalu manusia mencari sesuatu yang lebih ringan daripada
barang. Hasilnya, mereka menemukan emas dan perak. Mereka pun
menggunakan keduanya sebagai alat tukar barang-barang. Berkembang emas
dan perak dicetak sehingga ia menjadi potongan-potongan yang sama dari
sisi bentuk dan beratnya dan ditandai dengan sesuatu yang menetapkan
keasliannya.
Kemudian masyarakat – apalagi para
pedagang – mulai menitipkan uang emas dan perak mereka kepada para
bandar uang dan pembuatnya karena takut dari pencurian. Sebagai bukti
penitipan mereka menerima surat bukti penitipan. Manakala kepercayaan
masyarakat kepada para bandar uang semakin meningkat, surat bukti
penitipan berubah menjadi alat pembayaran atas transaksi jual-beli suatu
barang. Inilah awal-mula penggunaan uang kertas, sekalipun saat itu
belum memiliki bentuk resmi dan belum ada kekuasaan yang memaksa
masyarakat untuk menerimannya.
Manakala peredaran surat bukti
penitipan semakin meluas, kertas-kertas tersebut berubah menjadi bentuk
yang resmi yang dikenal dengan nama banknote yang menggantikan
peran emas secara sempurna. Bank sendiri berpegang dengan tidak
menerbitkan kertas-kertas tersebut kecuali berdasarkan emas yang
dimilikinya, sebagaimana negara-negara mulai menjadikannya sebagai harga
secara undang-undang dan memaksa masyarakat untuk menerimanya pada 1254
H (1833 M).
Kemudian, ketika negara-negara tersebut
memerlukan uang, mereka pun mencetaknya dalam jumlah besar yang
mengungguli emas yang dimiliknya. Ini pun laku keras di kalangan
manusia, karena mereka percaya sumber yang mengeluarkannya bisa
merubahnya kepada emas. Tetapi kenyataannya, kertas-kertas tersebut
semakin meningkat sehingga mengungguli emas yang dimiliki negara secara
berlipat-lipat. Pemerintah mulai menerapkan syarat-syarat yang sangat
ketat terhadap siapa yang hendak merubah kertas-kertas tersebut kepada
emas.
Pada 1325 H, bertepatan dengan 1931 M,
pemerintah Inggris melarang kertas-kertas tersebut dirubah menjadi emas
secara mutlak dan memaksa masyarakat menerima kertas-kertas tersebut
sebagai ganti emas. Langkah ini diikuti pemerintah Amerika Serikat pada
1355 H (1934 M). Sekalipun demikian, negara-negara tersebut tetap
memegang perinsip pensetaraan mata uangnya kepada emas saat ia
bertransaksi dengan negara lain. Iinilah yang dikenal dengan Qaidah at-Ta’amul bidz Dzahab
(Kaidah Muamalat dengan Emas). Kaidah ini terus dipraktikkan sampai
1392 H (1971 M), ketika Amerika Serikat terpaksa menghentikan hal itu
karena minimnya emas dalam negeri. Dengan ini matilah bentuk terakhir
dari bentuk-bentuk dukungan emas kepada mata uang kertas. (Lihat Ahkam al-Auraq an-Nuqud wal Umlat karya al-Qadhi al-Utsmani, salah satu makalah majalah Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami No. 3 juz 3 1685, Mudzakkirat fi an-Nuqud wal Bunuk hal. 18, al-Waraq an-Naqdi, Haqiqatuhu, Tarikhuhu, Qimatuhu, Hukmuhu hal. 23)
Uang Kertas menurut Ulama Fikih
Dari perkembangan perubahan fase uang
kertas, lahirlah khilaf di kalangan para fuqaha zaman ini terkait
hakikatnya dari sudut pandang fikih menjadi lima pendapat.
Pendapat pertama, uang
kertas adalah bukti utang yang ditanggung oleh penerbitnya. Utang ini
diwujudkan dalam bentuk nominal yang ditulis di secarik kertas tersebut.
Inilah pendapat Ahmad al-Husaini, Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dan
lainnya. (Lihat Bahjah al-Musytaq fi Bayan Zakati Amwalil Auraq hal. 22 dan Adhwa`ul Bayan 1/225)
Pendapat kedua, uang
kertas adalah barang perniagaan yang memiliki hukum-hukum barang
perniagaan. Uang kertas tidak memiliki kriteria sebagai alat pembayaran,
tetapi sama dengan barang perniagaan lainnya. Inilah pendapat Syaikh
Abdurrahman as-Sa’di dan Syaikh Hasan Ayyub. (Lihat Al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 315, Al-Auraq an-Naqdiyah fil Iqtishad al-Islami, Qimatuha wa Ahakmuha hal. 173, Al-Waraq an-Naqdi hal. 55)
Pendapat ketiga, uang kertas sama dengan fulus
dalam statusnya sebagai alat pembayaran. Fulus (الفلوس) adalah jamak
dari فلس. Yaitu barang tambang selain emas dan perak yang dicetak dalam
bentuk koin (keping) sebagai alat pembayaran yang digunakan dalam alat
transaksi menurut kesepakatan dan kebiasaan masyarakat. (Lihat al-Misbah al-Munir hal. 481, Mu’jam al-Mushthalahat al-Iqtishadiyah fi Lughatil Fuqaha`
hal. 270). Ini pendapat Syaikh Ahmad al-Khathib, Syaikh Ahmad az-Zarqa,
Syaikh Abdullah al-Bassam, Dr Mahmud al-Khalidi, Qadhi Muhammad Taqi
al-Utsmani dan lainnya. (simak: Al-Waraq an-Naqdi karya Ibnu Mani’ hal. 65, Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah hal. 174, Zakah an-Nuqud al-Waraqiyah al-Muashirah hal. 90 dalam majalah al-Buhuts al-Islamiyyah No. 3/3/1697, 1941, 1955)
Pendapat keempat, uang kertas adalah pengganti emas dan perak dan mengambil fungsi keduanya. Ini adalah pendapat Syaikh Abdurrazzaq Afifi. (Al-Auraq an-Naqdiyyah fil Iqtishad al-Islami hal. 204)
Pendapat kelima, uang
kertas adalah alat pembayaran independen yang berdiri sendiri, berlaku
padanya semua hukum alat tukar yang berlaku pada emas dan perak. Setiap
mata uang dianggap sebagai satu jenis yang independen. Ini adalah
pendapat mayoritas ulama sekaligus merupakan fatwa Hai`ah Kibar Ulama di
Kerajaan Saudi Arabia, Al-Majma’ al-Fiqhi di Makkah, yang berafiliasi kepada Kongres Muktamar Islam (OKI). (simak majalah al-Buhuts al-Islamiyyah no. 31 hal. 376, keputusan No. 10, majalah Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami No. 3 juz 3, keputusan keenam Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami di Makkah hal. 1893 dan keputusan No. 9 Mujamma’ al-Fiqh al-Islami dalam daurah-nya yang ketiga di Oman hal. 1965 dan lihat juga hal. 1935, 1939 dan 1955)
Dalil pendapat kelima: uang kertas
telah mengambil peranan sebagai uang (alat pembayaran), karena ia telah
menjadi standar nilai harga dan penyebab pelunasan pembayaran serta
simpanan kekayaan yang mungkin ditabung saat diperlukan. Juga tingkat
kepercayaan masyarakat kepadanya sangat kuat dalam bertransaksi
dengannya karena adanya undang-undang dan perlindungan negara. Kriteria
alat pembayaran bukan monopoli emas dan perak. Tetapi bisa dimiliki oleh
selain emas dan perak yang dijadikan oleh masyarakat sebagai uang yang
memegang peranan dan fungsi uang, termasuk dalam hal ini adalah
kertas-kertas tersebut. (Al-Waraq an-Naqdi hal. 113)
Pendapat kelima-lah yang rajih
(kuat), karena keakuratan dalilnya, ditambah bebasnya dari celah untuk
disanggah dan konsekuensi-konsekuensi (yang melemahkannya). Inilah
keputusan Al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami di Makkah. Teks keputusan tersebut adalah:
Pertama, berpijak
kepada hukum asal alat pembayaran adalah emas dan perak dan berpijak
kepada illat (sebab hukum) berlakunya hukum riba pada keduanya adalah tsamaniyah (standar alat pembayaran) menurut pendapat yang paling shahih di kalangan fuqaha syariat. Dengan dasar Kriteria tsamaniyah ini menurut para fuqaha
tidak hanya terbatas pada emas dan perak sekalipun tambang emas dan
perak ini merupakan asal. Ditambah mata uang kertas telah menjadi sebuah
alat pembayaran yang memiliki harga dan berperan layaknya emas dan
perak dalam penggunaannya. Uang kertas telah menjadi standar ukuran
nilai barang-barang di zaman ini, karena penggunaan emas dan perak telah
mundur dari peredaran dan jiwa masyarakat merasa tenang dengan
menyimpannya dan menganggapnya sebagai uang. Penunaian pembayaran yang
sah terwujud dengannya dalam skala umum. Sekalipun harganya bukan pada dzat-nya,
akan tetapi karena faktor luar, yaitu terwujudnya kepercayaan
masyarakat terhadapnya sebagai sarana pembayaran dan pertukaran. Inilah
titik pertimbangan kuat bagi sisi tsamaniyah padanya.
Karena kesimpulan tentang illat berlakunya hukum riba pada emas dan perak adalah tsamaniyah dan illat ini juga terwujud pada uang kertas. Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas seluruhnya, Majlis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami
menetapkan bahwa mata uang kertas merupakan alat pembayaran yang
berdiri sendiri dan mengambil hukum emas dan perak, sehingga zakat wajib
padanya dan berlaku riba dengan kedua macamnya pada uang kertas ini,
baik riba nasiah maupun riba fadhl. Sebagaimana hal itu berlaku pada emas dan perak secara sempurna dengan mempertimbangkan kriteria tsamaniyah pada mata uang kertas, sehingga ia diqiyaskan
kepada emas dan perak. Dengan demikian mata uang kertas mengambil
hukum-hukum uang dalam segala keterkaitan yang ditetapkan syariat.
Kedua, uang kertas
dianggap sebagai alat bayar independen sebagaimana berlaku nya fungsi
ini pada emas, perak dan benda-benda berharga lainnya. Demikian juga
uang kertas diklasifikasikan sebagai jenis-jenis yang berbeda-beda dan
beraneka-ragam sesuai dengan pihak penerbitnya di negara-negara yang
berbeda-beda pula. Artinya uang kertas Saudi Arabia adalah satu jenis
dan uang kertas Amerika adalah satu jenis. Begitulah setiap uang kertas
adalah satu jenis independen secara dzat-nya. Dengan demikian hukum riba dengan kedua macamnya, riba fadhl dan riba nasiah, berlaku padanya, sebagaimana kedua riba ini berlaku pada emas dan perak serta barang berharga lainnya.
Konsekuensinya adalah:
- Tidak boleh menjual mata uang sebagian
dengan sebagian yang lain atau dengan mata uang yang berbeda dari
jenis-jenis alat pembayaran lainnya berupa emas atau perak atau selain
keduanya secara nasiah (tunda) secara mutlak, tidak boleh
misalnya menjual 10 riyal Saudi dengan mata uang lain dengan selisih
harga secara tunda tanpa serah terima secara kontan.
- Tidak boleh menjual satu jenis mata
uang dengan jenisnya sendiri, ketika salah satunya lebih banyak dari
yang lain, baik hal itu dilakukan secara kontan maupun tunda. Tidak
boleh, contoh, menjual 10 riyal Saudi kertas dengan 11 riyal Saudi
kertas secara kontan maupun tunda.
- Boleh menjual satu jenis mata uang
dengan jenis lain yang berbeda bila hal itu dilakukan secara kontan.
Diperbolehkan menjual Lira Suriah atau Lebanon dengan riyal Saudi, baik
berupa uang kertas atau perak dalam jumlah yang sama atau lebih murah
atau lebih tinggi. Juga diperbolehkan menjual dolar Amerika dengan 3
riyal Saudi atau lebih rendah dari itu atau lebih tinggi bila hal itu
terjadi secara kontan. Seperti ini juga pembolehan menjual riyal Saudi
perak dengan 3 riyal Saudi kertas atau kurang atau lebih tinggi dari
itu, bila hal itu dilakukan secara kontan. Karena dalam kasus ini
dianggap menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang lain, sekedar
kesamaan nama tidak berpengaruh karena hakikat keduanya tidak sama.
Ketiga, kewajiban zakat pada uang kertas bila nilainya sudah mencapai nishob terendah dari nishob emas atau perak atau nishob-nya terwujud dengan menggabungkannya dengan harta berharga lainnya dan harga barang yang disiapkan untuk diperdagangkan.
Keempat, boleh menjadikan mata uang kertas sebagai modal dalam jual-beli salam dan serikat kerja sama.
Wallahu a’lam dan taufik hanya dari-Nya. Shalawat dan salam kepada Sayyidina Muhammad, keluarga dan para sahabatnya. (Keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami pada daurah-nya yang kelima No. 1/193)
Pendapat di atas juga merupakan pendapat Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami yang berafiliasi kepada Kongres Muktamar Islam. (Keputusan No. 21, 9/3 hal. 40, di antara keputusan dan nasihat Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami, sekaligus merupakan fatwa Ha`iah Kibar Ulama Kerajaan Saudi Arabia, sebagaimana dimuat majalah al-Buhuts al-Islamiyah 1/220)
Menerbitkan Mata Uang = Melakukan Transaksi Riba?
Dari penjelasan tersebut, menerbitkan
mata uang kertas tidak berarti melakukan transaksi ribawi. Uang kertas
sama dengan emas dan perak menjadi komoditi ribawi. Bila menerbitkan
mata uang kertas sama dengan melakukan transaksi riba, konsekuensinya,
menerbitkan uang emas dan perak juga melakukan transaksi ribawi.
Tentunya tidak ada seorangpun yang berani nekat menyatakan pendapat
demikian.
Oleh karena itu marilah kita telaah
kembali syariat Islam dan tidak gegabah dalam menghukum sesuatu adalah
ribawi atau tidak, karena permasalahan tidaklah mudah dan remeh.
Ingatlah dengan peringatan imam Ibnu Katsir: “Bab (pembahasan) riba
termasuk pembahasan yang paling rumit bagi banyak ulama.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/327) (PM)
Kholid Syamhudi, Lc.
(Rubrik Kontroversi Edisi 28/Juni 2012)
- See more at: http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/#sthash.hcR69bs8.dpuf
Berikut
penjelasan mengenai uang kertas menurut bahasa, definisi Ilmu Ekonomi
dan menurut ulama fikih. Bahwa uang kertas alat pembayaran independen,
berlaku padanya semua hukum alat tukar yang berlaku pada emas dan perak
adalah pendapat mayoritas sekaligus fatwa ulama di Kerajaan Saudi
Arabia.
Tidak dipungkiri,
penyebaran dan penggunaan uang kertas sudah merata dalam semua muamalat
jual-beli sekarang ini. Sebagian kaum Muslimin memandang uang kertas
sebagai penyebab kemunduran ekonomi umat sehingga harus kembali ke mata
uang emas (Dinar) dan perak (Dirham). Bahkan ada yang mengharamkan mata
uang kertas. Bagaimana sebenarnya masalah uang kertas dalam pandangan
Islam dan apa hakekat mata uang dalam Islam, bagaimana bisa membuat
orang menggunakan uang kertas dalam kehiduapan mereka. Semoga penjelasan
ini memberi wacana dan pencerahan.
Hakekat Mata Uang
Sudah dimaklumi, sumber hukum Islam
berbahasa Arab dan para ulama Islam seluruhnya selalu menyertakan
pengertian sebuah istilah kepada istilah yang berlaku dalam syariat yang
umumnya berbahasa Arab. Demikian juga mata uang yang memang sudah ada
dan berlaku di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan setelahnya.
Oleh karena itu perlu sekali melihat istilah mata uang menurut bahasa
Arab dan terminologi ulama syariat.
Mata uang dalam bahasa Arabnya adalah النقد (an-naqd). Kata an-naqd dalam
bahasa Arab memiliki beberapa pengertian. Di antaranya, petunjuk atas
menonjolnya sesuatu dan penonjolannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Faris.
Juga bermakna pembuktian, seperti dalam pernyataan orang Arab: نقد
الدراهم , yang berarti membuktikan keadaan Dirham dan membuang bagian
yang palsu di dalamnya. Kata النقد juga bermakna memberi atau menerima
secara tunai, lawan dari kata النسيئة (tunda). Anda berkata, نقدت
الدراهم , yang artinya, “Aku membayarnya dengan Dirham secara kontan.”
(Lihat Mu’jam Maqayis al-Lughah kata ن ق د. )
Adapun secara istilah, kata النقد ,
menurut pakar fikih, digunakan untuk menyebut emas, perak atau benda
lainnya yang dipakai oleh masyarakat dalam muamalat mereka. (Lihat al-Qamus al-Muhith
kata ن ق د hal. 412). Adapun menurut ahli ekonomi zaman ini,
didefinisikanc dengan, “Segala sesuatu yang diterima secara luas sebagai
perantara barter di antara masyarakat. Hal ini berarti an-naqd merupakan tolok ukur bagi harga, alat pembayaran dan bisa disimpan dan ini adalah fungsi dari uang.
Mata Uang didefinisikan sebagai setiap
alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar dapat berupa
benda apa pun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa.
Dalam Ilmu Ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang
tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian
barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lain, serta untuk
pembayaran hutang. Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
Keberadaan uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter
yang lebih kompleks, tidak efisien, dan kurang cocok digunakan dalam
sistem ekonomi modern, karena membutuhkan orang yang memiliki keinginan
yang sama untuk melakukan pertukaran dan juga kesulitan dalam penentuan
nilai. Efisiensi yang didapatkan dengan menggunakan uang pada akhirnya
mendorong perdagangan dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan
meningkatkan produktivitas dan kemakmuran.
Tidak Semua Benda Bisa Menjadi uang?
Dengan demikian dapat disimpulkan suatu
benda dapat dijadikan sebagai “mata uang” jika benda tersebut bisa
diterima secara umum (acceptability) sebagai alat tukar dan harus ada jaminan keberadaannya oleh pemerintah
yang berkuasa atau badan yang diakui dunia serta menjadi tolok ukur
harga barang dan dapat disimpan lama sehingga bahan yang dijadikan uang
harus tahan lama (durability).
Perkembangan Uang Kertas
Manusia di awal kehidupannya melakukan
jual-beli melalui barter, kemudian tidak lagi menggunakannya karena
mengandung banyak kesulitan. Mereka pun memilih sebagian barang sebagai
alat pembayaran untuk tukar-menukar terkait dengan barang yang mereka
perlukan, seperti bahan makanan pokok dan kulit. Kemudian mereka
meninggalkan cara ini karena cara ini membutuhkan pemindahan dan
dipanggul. Lalu manusia mencari sesuatu yang lebih ringan daripada
barang. Hasilnya, mereka menemukan emas dan perak. Mereka pun
menggunakan keduanya sebagai alat tukar barang-barang. Berkembang emas
dan perak dicetak sehingga ia menjadi potongan-potongan yang sama dari
sisi bentuk dan beratnya dan ditandai dengan sesuatu yang menetapkan
keasliannya.
Kemudian masyarakat – apalagi para
pedagang – mulai menitipkan uang emas dan perak mereka kepada para
bandar uang dan pembuatnya karena takut dari pencurian. Sebagai bukti
penitipan mereka menerima surat bukti penitipan. Manakala kepercayaan
masyarakat kepada para bandar uang semakin meningkat, surat bukti
penitipan berubah menjadi alat pembayaran atas transaksi jual-beli suatu
barang. Inilah awal-mula penggunaan uang kertas, sekalipun saat itu
belum memiliki bentuk resmi dan belum ada kekuasaan yang memaksa
masyarakat untuk menerimannya.
Manakala peredaran surat bukti
penitipan semakin meluas, kertas-kertas tersebut berubah menjadi bentuk
yang resmi yang dikenal dengan nama banknote yang menggantikan
peran emas secara sempurna. Bank sendiri berpegang dengan tidak
menerbitkan kertas-kertas tersebut kecuali berdasarkan emas yang
dimilikinya, sebagaimana negara-negara mulai menjadikannya sebagai harga
secara undang-undang dan memaksa masyarakat untuk menerimanya pada 1254
H (1833 M).
Kemudian, ketika negara-negara tersebut
memerlukan uang, mereka pun mencetaknya dalam jumlah besar yang
mengungguli emas yang dimiliknya. Ini pun laku keras di kalangan
manusia, karena mereka percaya sumber yang mengeluarkannya bisa
merubahnya kepada emas. Tetapi kenyataannya, kertas-kertas tersebut
semakin meningkat sehingga mengungguli emas yang dimiliki negara secara
berlipat-lipat. Pemerintah mulai menerapkan syarat-syarat yang sangat
ketat terhadap siapa yang hendak merubah kertas-kertas tersebut kepada
emas.
Pada 1325 H, bertepatan dengan 1931 M,
pemerintah Inggris melarang kertas-kertas tersebut dirubah menjadi emas
secara mutlak dan memaksa masyarakat menerima kertas-kertas tersebut
sebagai ganti emas. Langkah ini diikuti pemerintah Amerika Serikat pada
1355 H (1934 M). Sekalipun demikian, negara-negara tersebut tetap
memegang perinsip pensetaraan mata uangnya kepada emas saat ia
bertransaksi dengan negara lain. Iinilah yang dikenal dengan Qaidah at-Ta’amul bidz Dzahab
(Kaidah Muamalat dengan Emas). Kaidah ini terus dipraktikkan sampai
1392 H (1971 M), ketika Amerika Serikat terpaksa menghentikan hal itu
karena minimnya emas dalam negeri. Dengan ini matilah bentuk terakhir
dari bentuk-bentuk dukungan emas kepada mata uang kertas. (Lihat Ahkam al-Auraq an-Nuqud wal Umlat karya al-Qadhi al-Utsmani, salah satu makalah majalah Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami No. 3 juz 3 1685, Mudzakkirat fi an-Nuqud wal Bunuk hal. 18, al-Waraq an-Naqdi, Haqiqatuhu, Tarikhuhu, Qimatuhu, Hukmuhu hal. 23)
Uang Kertas menurut Ulama Fikih
Dari perkembangan perubahan fase uang
kertas, lahirlah khilaf di kalangan para fuqaha zaman ini terkait
hakikatnya dari sudut pandang fikih menjadi lima pendapat.
Pendapat pertama, uang
kertas adalah bukti utang yang ditanggung oleh penerbitnya. Utang ini
diwujudkan dalam bentuk nominal yang ditulis di secarik kertas tersebut.
Inilah pendapat Ahmad al-Husaini, Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dan
lainnya. (Lihat Bahjah al-Musytaq fi Bayan Zakati Amwalil Auraq hal. 22 dan Adhwa`ul Bayan 1/225)
Pendapat kedua, uang
kertas adalah barang perniagaan yang memiliki hukum-hukum barang
perniagaan. Uang kertas tidak memiliki kriteria sebagai alat pembayaran,
tetapi sama dengan barang perniagaan lainnya. Inilah pendapat Syaikh
Abdurrahman as-Sa’di dan Syaikh Hasan Ayyub. (Lihat Al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 315, Al-Auraq an-Naqdiyah fil Iqtishad al-Islami, Qimatuha wa Ahakmuha hal. 173, Al-Waraq an-Naqdi hal. 55)
Pendapat ketiga, uang kertas sama dengan fulus
dalam statusnya sebagai alat pembayaran. Fulus (الفلوس) adalah jamak
dari فلس. Yaitu barang tambang selain emas dan perak yang dicetak dalam
bentuk koin (keping) sebagai alat pembayaran yang digunakan dalam alat
transaksi menurut kesepakatan dan kebiasaan masyarakat. (Lihat al-Misbah al-Munir hal. 481, Mu’jam al-Mushthalahat al-Iqtishadiyah fi Lughatil Fuqaha`
hal. 270). Ini pendapat Syaikh Ahmad al-Khathib, Syaikh Ahmad az-Zarqa,
Syaikh Abdullah al-Bassam, Dr Mahmud al-Khalidi, Qadhi Muhammad Taqi
al-Utsmani dan lainnya. (simak: Al-Waraq an-Naqdi karya Ibnu Mani’ hal. 65, Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah hal. 174, Zakah an-Nuqud al-Waraqiyah al-Muashirah hal. 90 dalam majalah al-Buhuts al-Islamiyyah No. 3/3/1697, 1941, 1955)
Pendapat keempat, uang kertas adalah pengganti emas dan perak dan mengambil fungsi keduanya. Ini adalah pendapat Syaikh Abdurrazzaq Afifi. (Al-Auraq an-Naqdiyyah fil Iqtishad al-Islami hal. 204)
Pendapat kelima, uang
kertas adalah alat pembayaran independen yang berdiri sendiri, berlaku
padanya semua hukum alat tukar yang berlaku pada emas dan perak. Setiap
mata uang dianggap sebagai satu jenis yang independen. Ini adalah
pendapat mayoritas ulama sekaligus merupakan fatwa Hai`ah Kibar Ulama di
Kerajaan Saudi Arabia, Al-Majma’ al-Fiqhi di Makkah, yang berafiliasi kepada Kongres Muktamar Islam (OKI). (simak majalah al-Buhuts al-Islamiyyah no. 31 hal. 376, keputusan No. 10, majalah Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami No. 3 juz 3, keputusan keenam Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami di Makkah hal. 1893 dan keputusan No. 9 Mujamma’ al-Fiqh al-Islami dalam daurah-nya yang ketiga di Oman hal. 1965 dan lihat juga hal. 1935, 1939 dan 1955)
Dalil pendapat kelima: uang kertas
telah mengambil peranan sebagai uang (alat pembayaran), karena ia telah
menjadi standar nilai harga dan penyebab pelunasan pembayaran serta
simpanan kekayaan yang mungkin ditabung saat diperlukan. Juga tingkat
kepercayaan masyarakat kepadanya sangat kuat dalam bertransaksi
dengannya karena adanya undang-undang dan perlindungan negara. Kriteria
alat pembayaran bukan monopoli emas dan perak. Tetapi bisa dimiliki oleh
selain emas dan perak yang dijadikan oleh masyarakat sebagai uang yang
memegang peranan dan fungsi uang, termasuk dalam hal ini adalah
kertas-kertas tersebut. (Al-Waraq an-Naqdi hal. 113)
Pendapat kelima-lah yang rajih
(kuat), karena keakuratan dalilnya, ditambah bebasnya dari celah untuk
disanggah dan konsekuensi-konsekuensi (yang melemahkannya). Inilah
keputusan Al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami di Makkah. Teks keputusan tersebut adalah:
Pertama, berpijak
kepada hukum asal alat pembayaran adalah emas dan perak dan berpijak
kepada illat (sebab hukum) berlakunya hukum riba pada keduanya adalah tsamaniyah (standar alat pembayaran) menurut pendapat yang paling shahih di kalangan fuqaha syariat. Dengan dasar Kriteria tsamaniyah ini menurut para fuqaha
tidak hanya terbatas pada emas dan perak sekalipun tambang emas dan
perak ini merupakan asal. Ditambah mata uang kertas telah menjadi sebuah
alat pembayaran yang memiliki harga dan berperan layaknya emas dan
perak dalam penggunaannya. Uang kertas telah menjadi standar ukuran
nilai barang-barang di zaman ini, karena penggunaan emas dan perak telah
mundur dari peredaran dan jiwa masyarakat merasa tenang dengan
menyimpannya dan menganggapnya sebagai uang. Penunaian pembayaran yang
sah terwujud dengannya dalam skala umum. Sekalipun harganya bukan pada dzat-nya,
akan tetapi karena faktor luar, yaitu terwujudnya kepercayaan
masyarakat terhadapnya sebagai sarana pembayaran dan pertukaran. Inilah
titik pertimbangan kuat bagi sisi tsamaniyah padanya.
Karena kesimpulan tentang illat berlakunya hukum riba pada emas dan perak adalah tsamaniyah dan illat ini juga terwujud pada uang kertas. Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas seluruhnya, Majlis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami
menetapkan bahwa mata uang kertas merupakan alat pembayaran yang
berdiri sendiri dan mengambil hukum emas dan perak, sehingga zakat wajib
padanya dan berlaku riba dengan kedua macamnya pada uang kertas ini,
baik riba nasiah maupun riba fadhl. Sebagaimana hal itu berlaku pada emas dan perak secara sempurna dengan mempertimbangkan kriteria tsamaniyah pada mata uang kertas, sehingga ia diqiyaskan
kepada emas dan perak. Dengan demikian mata uang kertas mengambil
hukum-hukum uang dalam segala keterkaitan yang ditetapkan syariat.
Kedua, uang kertas
dianggap sebagai alat bayar independen sebagaimana berlaku nya fungsi
ini pada emas, perak dan benda-benda berharga lainnya. Demikian juga
uang kertas diklasifikasikan sebagai jenis-jenis yang berbeda-beda dan
beraneka-ragam sesuai dengan pihak penerbitnya di negara-negara yang
berbeda-beda pula. Artinya uang kertas Saudi Arabia adalah satu jenis
dan uang kertas Amerika adalah satu jenis. Begitulah setiap uang kertas
adalah satu jenis independen secara dzat-nya. Dengan demikian hukum riba dengan kedua macamnya, riba fadhl dan riba nasiah, berlaku padanya, sebagaimana kedua riba ini berlaku pada emas dan perak serta barang berharga lainnya.
Konsekuensinya adalah:
- Tidak boleh menjual mata uang sebagian
dengan sebagian yang lain atau dengan mata uang yang berbeda dari
jenis-jenis alat pembayaran lainnya berupa emas atau perak atau selain
keduanya secara nasiah (tunda) secara mutlak, tidak boleh
misalnya menjual 10 riyal Saudi dengan mata uang lain dengan selisih
harga secara tunda tanpa serah terima secara kontan.
- Tidak boleh menjual satu jenis mata
uang dengan jenisnya sendiri, ketika salah satunya lebih banyak dari
yang lain, baik hal itu dilakukan secara kontan maupun tunda. Tidak
boleh, contoh, menjual 10 riyal Saudi kertas dengan 11 riyal Saudi
kertas secara kontan maupun tunda.
- Boleh menjual satu jenis mata uang
dengan jenis lain yang berbeda bila hal itu dilakukan secara kontan.
Diperbolehkan menjual Lira Suriah atau Lebanon dengan riyal Saudi, baik
berupa uang kertas atau perak dalam jumlah yang sama atau lebih murah
atau lebih tinggi. Juga diperbolehkan menjual dolar Amerika dengan 3
riyal Saudi atau lebih rendah dari itu atau lebih tinggi bila hal itu
terjadi secara kontan. Seperti ini juga pembolehan menjual riyal Saudi
perak dengan 3 riyal Saudi kertas atau kurang atau lebih tinggi dari
itu, bila hal itu dilakukan secara kontan. Karena dalam kasus ini
dianggap menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang lain, sekedar
kesamaan nama tidak berpengaruh karena hakikat keduanya tidak sama.
Ketiga, kewajiban zakat pada uang kertas bila nilainya sudah mencapai nishob terendah dari nishob emas atau perak atau nishob-nya terwujud dengan menggabungkannya dengan harta berharga lainnya dan harga barang yang disiapkan untuk diperdagangkan.
Keempat, boleh menjadikan mata uang kertas sebagai modal dalam jual-beli salam dan serikat kerja sama.
Wallahu a’lam dan taufik hanya dari-Nya. Shalawat dan salam kepada Sayyidina Muhammad, keluarga dan para sahabatnya. (Keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami pada daurah-nya yang kelima No. 1/193)
Pendapat di atas juga merupakan pendapat Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami yang berafiliasi kepada Kongres Muktamar Islam. (Keputusan No. 21, 9/3 hal. 40, di antara keputusan dan nasihat Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami, sekaligus merupakan fatwa Ha`iah Kibar Ulama Kerajaan Saudi Arabia, sebagaimana dimuat majalah al-Buhuts al-Islamiyah 1/220)
Menerbitkan Mata Uang = Melakukan Transaksi Riba?
Dari penjelasan tersebut, menerbitkan
mata uang kertas tidak berarti melakukan transaksi ribawi. Uang kertas
sama dengan emas dan perak menjadi komoditi ribawi. Bila menerbitkan
mata uang kertas sama dengan melakukan transaksi riba, konsekuensinya,
menerbitkan uang emas dan perak juga melakukan transaksi ribawi.
Tentunya tidak ada seorangpun yang berani nekat menyatakan pendapat
demikian.
Oleh karena itu marilah kita telaah
kembali syariat Islam dan tidak gegabah dalam menghukum sesuatu adalah
ribawi atau tidak, karena permasalahan tidaklah mudah dan remeh.
Ingatlah dengan peringatan imam Ibnu Katsir: “Bab (pembahasan) riba
termasuk pembahasan yang paling rumit bagi banyak ulama.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/327) (PM)
Kholid Syamhudi, Lc.
(Rubrik Kontroversi Edisi 28/Juni 2012)
- See more at: http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/#sthash.hcR69bs8.dpuf
Berikut
penjelasan mengenai uang kertas menurut bahasa, definisi Ilmu Ekonomi
dan menurut ulama fikih. Bahwa uang kertas alat pembayaran independen,
berlaku padanya semua hukum alat tukar yang berlaku pada emas dan perak
adalah pendapat mayoritas sekaligus fatwa ulama di Kerajaan Saudi
Arabia.
Tidak dipungkiri, penyebaran dan penggunaan uang kertas
sudah merata dalam semua muamalat jual-beli sekarang ini. Sebagian kaum
Muslimin memandang uang kertas sebagai penyebab kemunduran ekonomi umat
sehingga harus kembali ke mata uang emas (Dinar) dan perak (Dirham).
Bahkan ada yang mengharamkan mata uang kertas. Bagaimana sebenarnya
masalah uang kertas dalam pandangan Islam dan apa hakekat mata uang
dalam Islam, bagaimana bisa membuat orang menggunakan uang kertas dalam
kehiduapan mereka. Semoga penjelasan ini memberi wacana dan pencerahan.
Hakekat Mata Uang
Sudah
dimaklumi, sumber hukum Islam berbahasa Arab dan para ulama Islam
seluruhnya selalu menyertakan pengertian sebuah istilah kepada istilah
yang berlaku dalam syariat yang umumnya berbahasa Arab. Demikian juga
mata uang yang memang sudah ada dan berlaku di zaman Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan setelahnya. Oleh karena itu perlu sekali melihat
istilah mata uang menurut bahasa Arab dan terminologi ulama syariat.
Mata
uang dalam bahasa Arabnya adalah ????? (an-naqd). Kata an-naqd dalam
bahasa Arab memiliki beberapa pengertian. Di antaranya, petunjuk atas
menonjolnya sesuatu dan penonjolannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Faris.
Juga bermakna pembuktian, seperti dalam pernyataan orang Arab: ???
??????? , yang berarti membuktikan keadaan Dirham dan membuang bagian
yang palsu di dalamnya. Kata ????? juga bermakna memberi atau menerima
secara tunai, lawan dari kata ??????? (tunda). Anda berkata, ????
??????? , yang artinya, “Aku membayarnya dengan Dirham secara kontan.”
(Lihat Mu’jam Maqayis al-Lughah kata ? ? ?. )
Adapun secara
istilah, kata ????? , menurut pakar fikih, digunakan untuk menyebut
emas, perak atau benda lainnya yang dipakai oleh masyarakat dalam
muamalat mereka. (Lihat al-Qamus al-Muhith kata ? ? ? hal. 412). Adapun
menurut ahli ekonomi zaman ini, didefinisikanc dengan, “Segala sesuatu
yang diterima secara luas sebagai perantara barter di antara masyarakat.
Hal ini berarti an-naqd merupakan tolok ukur bagi harga, alat
pembayaran dan bisa disimpan dan ini adalah fungsi dari uang.
Mata
Uang didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara
umum. Alat tukar dapat berupa benda apa pun yang dapat diterima oleh
setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa.
Dalam Ilmu Ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang
tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian
barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lain, serta untuk
pembayaran hutang. Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai
alat penunda pembayaran.
Keberadaan uang menyediakan alternatif
transaksi yang lebih mudah daripada barter yang lebih kompleks, tidak
efisien, dan kurang cocok digunakan dalam sistem ekonomi modern, karena
membutuhkan orang yang memiliki keinginan yang sama untuk melakukan
pertukaran dan juga kesulitan dalam penentuan nilai. Efisiensi yang
didapatkan dengan menggunakan uang pada akhirnya mendorong perdagangan
dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan meningkatkan produktivitas
dan kemakmuran.
Tidak Semua Benda Bisa Menjadi uang?
Dengan
demikian dapat disimpulkan suatu benda dapat dijadikan sebagai “mata
uang” jika benda tersebut bisa diterima secara umum (acceptability)
sebagai alat tukar dan harus ada jaminan keberadaannya oleh pemerintah
yang berkuasa atau badan yang diakui dunia serta menjadi tolok ukur
harga barang dan dapat disimpan lama sehingga bahan yang dijadikan uang
harus tahan lama (durability).
Perkembangan Uang Kertas
Manusia
di awal kehidupannya melakukan jual-beli melalui barter, kemudian tidak
lagi menggunakannya karena mengandung banyak kesulitan. Mereka pun
memilih sebagian barang sebagai alat pembayaran untuk tukar-menukar
terkait dengan barang yang mereka perlukan, seperti bahan makanan pokok
dan kulit. Kemudian mereka meninggalkan cara ini karena cara ini
membutuhkan pemindahan dan dipanggul. Lalu manusia mencari sesuatu yang
lebih ringan daripada barang. Hasilnya, mereka menemukan emas dan perak.
Mereka pun menggunakan keduanya sebagai alat tukar barang-barang.
Berkembang emas dan perak dicetak sehingga ia menjadi potongan-potongan
yang sama dari sisi bentuk dan beratnya dan ditandai dengan sesuatu yang
menetapkan keasliannya.
Kemudian masyarakat – apalagi para
pedagang – mulai menitipkan uang emas dan perak mereka kepada para
bandar uang dan pembuatnya karena takut dari pencurian. Sebagai bukti
penitipan mereka menerima surat bukti penitipan. Manakala kepercayaan
masyarakat kepada para bandar uang semakin meningkat, surat bukti
penitipan berubah menjadi alat pembayaran atas transaksi jual-beli suatu
barang. Inilah awal-mula penggunaan uang kertas, sekalipun saat itu
belum memiliki bentuk resmi dan belum ada kekuasaan yang memaksa
masyarakat untuk menerimannya.
Manakala peredaran surat bukti
penitipan semakin meluas, kertas-kertas tersebut berubah menjadi bentuk
yang resmi yang dikenal dengan nama banknote yang menggantikan peran
emas secara sempurna. Bank sendiri berpegang dengan tidak menerbitkan
kertas-kertas tersebut kecuali berdasarkan emas yang dimilikinya,
sebagaimana negara-negara mulai menjadikannya sebagai harga secara
undang-undang dan memaksa masyarakat untuk menerimanya pada 1254 H (1833
M).
Kemudian, ketika negara-negara tersebut memerlukan uang,
mereka pun mencetaknya dalam jumlah besar yang mengungguli emas yang
dimiliknya. Ini pun laku keras di kalangan manusia, karena mereka
percaya sumber yang mengeluarkannya bisa merubahnya kepada emas. Tetapi
kenyataannya, kertas-kertas tersebut semakin meningkat sehingga
mengungguli emas yang dimiliki negara secara berlipat-lipat. Pemerintah
mulai menerapkan syarat-syarat yang sangat ketat terhadap siapa yang
hendak merubah kertas-kertas tersebut kepada emas.
Pada 1325 H,
bertepatan dengan 1931 M, pemerintah Inggris melarang kertas-kertas
tersebut dirubah menjadi emas secara mutlak dan memaksa masyarakat
menerima kertas-kertas tersebut sebagai ganti emas. Langkah ini diikuti
pemerintah Amerika Serikat pada 1355 H (1934 M). Sekalipun demikian,
negara-negara tersebut tetap memegang perinsip pensetaraan mata uangnya
kepada emas saat ia bertransaksi dengan negara lain. Iinilah yang
dikenal dengan Qaidah at-Ta’amul bidz Dzahab (Kaidah Muamalat dengan
Emas). Kaidah ini terus dipraktikkan sampai 1392 H (1971 M), ketika
Amerika Serikat terpaksa menghentikan hal itu karena minimnya emas dalam
negeri. Dengan ini matilah bentuk terakhir dari bentuk-bentuk dukungan
emas kepada mata uang kertas. (Lihat Ahkam al-Auraq an-Nuqud wal Umlat
karya al-Qadhi al-Utsmani, salah satu makalah majalah Mujamma’ al-Fiqhi
al-Islami No. 3 juz 3 1685, Mudzakkirat fi an-Nuqud wal Bunuk hal. 18,
al-Waraq an-Naqdi, Haqiqatuhu, Tarikhuhu, Qimatuhu, Hukmuhu hal. 23)
Uang Kertas menurut Ulama Fikih
Dari
perkembangan perubahan fase uang kertas, lahirlah khilaf di kalangan
para fuqaha zaman ini terkait hakikatnya dari sudut pandang fikih
menjadi lima pendapat.
Pendapat pertama, uang kertas adalah bukti
utang yang ditanggung oleh penerbitnya. Utang ini diwujudkan dalam
bentuk nominal yang ditulis di secarik kertas tersebut. Inilah pendapat
Ahmad al-Husaini, Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dan lainnya. (Lihat
Bahjah al-Musytaq fi Bayan Zakati Amwalil Auraq hal. 22 dan Adhwa`ul
Bayan 1/225)
Pendapat kedua, uang kertas adalah barang perniagaan
yang memiliki hukum-hukum barang perniagaan. Uang kertas tidak memiliki
kriteria sebagai alat pembayaran, tetapi sama dengan barang perniagaan
lainnya. Inilah pendapat Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dan Syaikh Hasan
Ayyub. (Lihat Al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 315, Al-Auraq an-Naqdiyah fil
Iqtishad al-Islami, Qimatuha wa Ahakmuha hal. 173, Al-Waraq an-Naqdi
hal. 55)
Pendapat ketiga, uang kertas sama dengan fulus dalam
statusnya sebagai alat pembayaran. Fulus (??????) adalah jamak dari
???. Yaitu barang tambang selain emas dan perak yang dicetak dalam
bentuk koin (keping) sebagai alat pembayaran yang digunakan dalam alat
transaksi menurut kesepakatan dan kebiasaan masyarakat. (Lihat al-Misbah
al-Munir hal. 481, Mu’jam al-Mushthalahat al-Iqtishadiyah fi Lughatil
Fuqaha` hal. 270). Ini pendapat Syaikh Ahmad al-Khathib, Syaikh Ahmad
az-Zarqa, Syaikh Abdullah al-Bassam, Dr Mahmud al-Khalidi, Qadhi
Muhammad Taqi al-Utsmani dan lainnya. (simak: Al-Waraq an-Naqdi karya
Ibnu Mani’ hal. 65, Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah hal. 174, Zakah
an-Nuqud al-Waraqiyah al-Muashirah hal. 90 dalam majalah al-Buhuts
al-Islamiyyah No. 3/3/1697, 1941, 1955)
Pendapat keempat, uang
kertas adalah pengganti emas dan perak dan mengambil fungsi keduanya.
Ini adalah pendapat Syaikh Abdurrazzaq Afifi. (Al-Auraq an-Naqdiyyah fil
Iqtishad al-Islami hal. 204)
Pendapat kelima, uang kertas adalah
alat pembayaran independen yang berdiri sendiri, berlaku padanya semua
hukum alat tukar yang berlaku pada emas dan perak. Setiap mata uang
dianggap sebagai satu jenis yang independen. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama sekaligus merupakan fatwa Hai`ah Kibar Ulama di Kerajaan
Saudi Arabia, Al-Majma’ al-Fiqhi di Makkah, yang berafiliasi kepada
Kongres Muktamar Islam (OKI). (simak majalah al-Buhuts al-Islamiyyah no.
31 hal. 376, keputusan No. 10, majalah Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami No. 3
juz 3, keputusan keenam Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami di Makkah hal. 1893
dan keputusan No. 9 Mujamma’ al-Fiqh al-Islami dalam daurah-nya yang
ketiga di Oman hal. 1965 dan lihat juga hal. 1935, 1939 dan 1955)
Dalil
pendapat kelima: uang kertas telah mengambil peranan sebagai uang (alat
pembayaran), karena ia telah menjadi standar nilai harga dan penyebab
pelunasan pembayaran serta simpanan kekayaan yang mungkin ditabung saat
diperlukan. Juga tingkat kepercayaan masyarakat kepadanya sangat kuat
dalam bertransaksi dengannya karena adanya undang-undang dan
perlindungan negara. Kriteria alat pembayaran bukan monopoli emas dan
perak. Tetapi bisa dimiliki oleh selain emas dan perak yang dijadikan
oleh masyarakat sebagai uang yang memegang peranan dan fungsi uang,
termasuk dalam hal ini adalah kertas-kertas tersebut. (Al-Waraq an-Naqdi
hal. 113)
Pendapat kelima-lah yang rajih (kuat), karena
keakuratan dalilnya, ditambah bebasnya dari celah untuk disanggah dan
konsekuensi-konsekuensi (yang melemahkannya). Inilah keputusan
Al-Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami di Makkah. Teks keputusan tersebut
adalah:
Pertama, berpijak kepada hukum asal alat pembayaran
adalah emas dan perak dan berpijak kepada illat (sebab hukum) berlakunya
hukum riba pada keduanya adalah tsamaniyah (standar alat pembayaran)
menurut pendapat yang paling shahih di kalangan fuqaha syariat. Dengan
dasar Kriteria tsamaniyah ini menurut para fuqaha tidak hanya terbatas
pada emas dan perak sekalipun tambang emas dan perak ini merupakan asal.
Ditambah mata uang kertas telah menjadi sebuah alat pembayaran yang
memiliki harga dan berperan layaknya emas dan perak dalam penggunaannya.
Uang kertas telah menjadi standar ukuran nilai barang-barang di zaman
ini, karena penggunaan emas dan perak telah mundur dari peredaran dan
jiwa masyarakat merasa tenang dengan menyimpannya dan menganggapnya
sebagai uang. Penunaian pembayaran yang sah terwujud dengannya dalam
skala umum. Sekalipun harganya bukan pada dzat-nya, akan tetapi karena
faktor luar, yaitu terwujudnya kepercayaan masyarakat terhadapnya
sebagai sarana pembayaran dan pertukaran. Inilah titik pertimbangan kuat
bagi sisi tsamaniyah padanya.
Karena kesimpulan tentang illat
berlakunya hukum riba pada emas dan perak adalah tsamaniyah dan illat
ini juga terwujud pada uang kertas. Dengan pertimbangan-pertimbangan di
atas seluruhnya, Majlis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami menetapkan bahwa
mata uang kertas merupakan alat pembayaran yang berdiri sendiri dan
mengambil hukum emas dan perak, sehingga zakat wajib padanya dan berlaku
riba dengan kedua macamnya pada uang kertas ini, baik riba nasiah
maupun riba fadhl. Sebagaimana hal itu berlaku pada emas dan perak
secara sempurna dengan mempertimbangkan kriteria tsamaniyah pada mata
uang kertas, sehingga ia diqiyaskan kepada emas dan perak. Dengan
demikian mata uang kertas mengambil hukum-hukum uang dalam segala
keterkaitan yang ditetapkan syariat.
Kedua, uang kertas dianggap
sebagai alat bayar independen sebagaimana berlaku nya fungsi ini pada
emas, perak dan benda-benda berharga lainnya. Demikian juga uang kertas
diklasifikasikan sebagai jenis-jenis yang berbeda-beda dan
beraneka-ragam sesuai dengan pihak penerbitnya di negara-negara yang
berbeda-beda pula. Artinya uang kertas Saudi Arabia adalah satu jenis
dan uang kertas Amerika adalah satu jenis. Begitulah setiap uang kertas
adalah satu jenis independen secara dzat-nya. Dengan demikian hukum riba
dengan kedua macamnya, riba fadhl dan riba nasiah, berlaku padanya,
sebagaimana kedua riba ini berlaku pada emas dan perak serta barang
berharga lainnya.
Konsekuensinya adalah:
Tidak boleh
menjual mata uang sebagian dengan sebagian yang lain atau dengan mata
uang yang berbeda dari jenis-jenis alat pembayaran lainnya berupa emas
atau perak atau selain keduanya secara nasiah (tunda) secara mutlak,
tidak boleh misalnya menjual 10 riyal Saudi dengan mata uang lain dengan
selisih harga secara tunda tanpa serah terima secara kontan.
Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenisnya sendiri, ketika
salah satunya lebih banyak dari yang lain, baik hal itu dilakukan
secara kontan maupun tunda. Tidak boleh, contoh, menjual 10 riyal Saudi
kertas dengan 11 riyal Saudi kertas secara kontan maupun tunda.
Boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis lain yang berbeda bila
hal itu dilakukan secara kontan. Diperbolehkan menjual Lira Suriah atau
Lebanon dengan riyal Saudi, baik berupa uang kertas atau perak dalam
jumlah yang sama atau lebih murah atau lebih tinggi. Juga diperbolehkan
menjual dolar Amerika dengan 3 riyal Saudi atau lebih rendah dari itu
atau lebih tinggi bila hal itu terjadi secara kontan. Seperti ini juga
pembolehan menjual riyal Saudi perak dengan 3 riyal Saudi kertas atau
kurang atau lebih tinggi dari itu, bila hal itu dilakukan secara
kontan. Karena dalam kasus ini dianggap menjual satu jenis mata uang
dengan jenis yang lain, sekedar kesamaan nama tidak berpengaruh karena
hakikat keduanya tidak sama.
Ketiga, kewajiban zakat pada uang
kertas bila nilainya sudah mencapai nishob terendah dari nishob emas
atau perak atau nishob-nya terwujud dengan menggabungkannya dengan harta
berharga lainnya dan harga barang yang disiapkan untuk diperdagangkan.
Keempat, boleh menjadikan mata uang kertas sebagai modal dalam jual-beli salam dan serikat kerja sama.
Wallahu
a’lam dan taufik hanya dari-Nya. Shalawat dan salam kepada Sayyidina
Muhammad, keluarga dan para sahabatnya. (Keputusan al-Mujamma’ al-Fiqhi
al-Islami pada daurah-nya yang kelima No. 1/193)
Pendapat di atas
juga merupakan pendapat Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami yang berafiliasi
kepada Kongres Muktamar Islam. (Keputusan No. 21, 9/3 hal. 40, di antara
keputusan dan nasihat Mujamma’ al-Fiqhi al-Islami, sekaligus merupakan
fatwa Ha`iah Kibar Ulama Kerajaan Saudi Arabia, sebagaimana dimuat
majalah al-Buhuts al-Islamiyah 1/220)
Menerbitkan Mata Uang = Melakukan Transaksi Riba?
Dari
penjelasan tersebut, menerbitkan mata uang kertas tidak berarti
melakukan transaksi ribawi. Uang kertas sama dengan emas dan perak
menjadi komoditi ribawi. Bila menerbitkan mata uang kertas sama dengan
melakukan transaksi riba, konsekuensinya, menerbitkan uang emas dan
perak juga melakukan transaksi ribawi. Tentunya tidak ada seorangpun
yang berani nekat menyatakan pendapat demikian.
Oleh karena itu
marilah kita telaah kembali syariat Islam dan tidak gegabah dalam
menghukum sesuatu adalah ribawi atau tidak, karena permasalahan tidaklah
mudah dan remeh. Ingatlah dengan peringatan imam Ibnu Katsir: “Bab
(pembahasan) riba termasuk pembahasan yang paling rumit bagi banyak
ulama.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/327) (PM)
Kholid Syamhudi, Lc.
(Rubrik Kontroversi Edisi 28/Juni 2012)
- See more at: http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/#sthash.hcR69bs8.dpuf
at tukar yang berlaku pada emas dan perak adalah pendapat mayoritas sekaligus fatwa ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
Tidak dipungkiri,
penyebaran dan penggunaan uang kertas sudah merata dalam semua muamalat
jual-beli sekarang ini. Sebagian kaum Muslimin memandang uang kertas
sebagai penyebab kemunduran ekonomi umat sehingga harus kembali ke mata
uang emas (Dinar) dan perak (Dirham). Bahkan ada yang mengharamkan mata
uang kertas. Bagaimana sebenarnya masalah uang kertas dalam pandangan
Islam dan apa hakekat mata uang dalam Islam, bagaimana bisa membuat
orang menggunakan uang kertas dalam kehiduapan mereka. Semoga penjelasan
ini memberi wacana dan pencerahan.
Hakekat Mata Uang
- See more at: http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/#sthash.hcR69bs8.dpuf
at tukar yang berlaku pada emas dan perak adalah pendapat mayoritas sekaligus fatwa ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
Tidak dipungkiri,
penyebaran dan penggunaan uang kertas sudah merata dalam semua muamalat
jual-beli sekarang ini. Sebagian kaum Muslimin memandang uang kertas
sebagai penyebab kemunduran ekonomi umat sehingga harus kembali ke mata
uang emas (Dinar) dan perak (Dirham). Bahkan ada yang mengharamkan mata
uang kertas. Bagaimana sebenarnya masalah uang kertas dalam pandangan
Islam dan apa hakekat mata uang dalam Islam, bagaimana bisa membuat
orang menggunakan uang kertas dalam kehiduapan mereka. Semoga penjelasan
ini memberi wacana dan pencerahan.
Hakekat Mata Uang
- See more at: http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/#sthash.hcR69bs8.dpuf
at tukar yang berlaku pada emas dan perak adalah pendapat mayoritas sekaligus fatwa ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
Tidak dipungkiri,
penyebaran dan penggunaan uang kertas sudah merata dalam semua muamalat
jual-beli sekarang ini. Sebagian kaum Muslimin memandang uang kertas
sebagai penyebab kemunduran ekonomi umat sehingga harus kembali ke mata
uang emas (Dinar) dan perak (Dirham). Bahkan ada yang mengharamkan mata
uang kertas. Bagaimana sebenarnya masalah uang kertas dalam pandangan
Islam dan apa hakekat mata uang dalam Islam, bagaimana bisa membuat
orang menggunakan uang kertas dalam kehiduapan mereka. Semoga penjelasan
ini memberi wacana dan pencerahan.
Hakekat Mata Uang
- See more at: http://majalah.pengusahamuslim.com/uang-kertas-menurut-islam/#sthash.hcR69bs8.dpuf